Jakarta -
Pendiri Zero Net Waste Management Ahmad Safrudin menyoroti banyaknya sampah plastik berukuran kecil yang dihasilkan produsen air minum dalam kemasan (AMDK). Padahal, pemerintah telah mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Peraturan ini mendorong produsen untuk menghentikan penggunaan kemasan berukuran kecil dan beralih kepada kemasan berukuran besar (upsizing) sebagai upaya pengurangan timbulan sampah hingga 30% pada 2030.
Meski aturan tersebut telah berlaku selama enam tahun, sayangnya masih ada produsen AMDK tak aturan. Mereka masih mengandalkan kemasan berukuran gelas sehingga masalah sampah plastik kian menumpuk. Safrudin pun mengatakan ada dua bentuk perlawanan dari pihak produsen terhadap regulasi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Faktanya, terjadi dua perlawanan korporasi terhadap regulasi, yakni pertama dengan tetap memproduksi kemasan berukuran kecil dan kedua dengan tidak mendaftar untuk mengikuti peta jalan pengurangan sampah," jelas Safrudin dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2025).
Berdasarkan survei yang dilakukan Zero Net Waste dan Litbang Kompas di enam kota besar pada 2022, disebutkan sampah plastik kecil, seperti saset, kantong kresek, bungkus mi instan, dan gelas plastik AMDK, masih mendominasi berbagai lokasi penemuan sampah.
Adapun lima jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan, yakni serpihan plastik berbagai merek (59.300 item), plastik kresek (43.597 item), bungkus mi instan (37.548 item), gelas plastik milik salah satu produsen AMDK multinasional (33.789 item), dan botol plastik minuman bersoda milik salah satu perusahaan multinasional (30.171 item).
Hasil survei ini sejalan dengan temuan Sungai Watch dalam audit merek di Bali dan Banyuwangi pada 2024. Dari sekitar 600 ribu item sampah yang dikumpulkan dari badan sungai, salah satu produsen AMDK multinasional tercatat sebagai penyumbang terbesar dengan 36.826 item atau 17 persen dari total sampah. Sedangkan, sepertiganya berupa gelas plastik ukuran 220 ml.
Dalam laporannya, Sungai Watch menyebut produsen AMDK multinasional masih sangat mengandalkan kemasan-kemasan kecil seperti gelas plastik. Sekalipun produsen air minum kemasan terbesar di Indonesia itu telah menghapus produk gelas plastik ukuran 220 ml dari situs web resminya.
Namun pada kenyataannya, gelas-gelas plastik air minum produsen market leader AMDK tersebut masih banyak ditemuan di toko, pasar, dan supermarket.
"Klaim keberlanjutan perusahaan ini tidak selaras dengan strategi pemasarannya," tulis Sungai Watch dalam laporannya.
Pentingnya Regulasi Lebih Tegas
Sementara itu CEO Kita Bumi Global Hadiyan Fariz Azhar menjelaskan kemasan kecil memiliki nilai ekonomi rendah dan sulit untuk dikumpulkan dan didaur ulang.
"Mengumpulkan sampah berukuran kecil itu sulit, dan belum lagi kita harus membersihkan berbagai kontaminan di dalamnya, sehingga nilai jualnya pasti akan menyusut," jelas Hadiyan.
Terkait hal ini, Hadiyan menilai pentingnya regulasi yang lebih tegas untuk mendorong produsen beralih ke kemasan besar.
"Produsen selalu bicara soal profit. Kalau hitungan mereka tidak masuk, mereka tidak akan mau mendesain ulang kemasan," tambahnya.
Safrudin juga sependapat aturan yang lebih ketat diperlukan dalam menekan jumlah sampah plastik kemasan kecil di Indonesia.
"Memang harus dipaksa, harus bisa mengurangi kemasan kecil sampai 30 persen. Karena survei kami justru tidak menemukan sampah kemasan besar, yang jadi masalah adalah sampah plastik kemasan kecil," pungkasnya.
(akn/ega)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu