Tabur Meme, Tuai Jeruji

7 hours ago 4

Jakarta -

Saat layar ponsel kita menjadi kanvas ekspresi, dan media sosial menjadi panggung yang bebas dan tanpa pagar, kita sering lupa bahwa di dunia maya pun, hukum tetap mengintai. Kasus SSS, mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kini menjadi tersangka dan ditahan setelah mengunggah meme bergambar Prabowo Subianto dan Joko Widodo berciuman, adalah satu dari sekian pengingat getir bahwa tidak semua yang kita anggap lucu, kreatif, atau satir, terbebas dari jeratan hukum. Meme yang awalnya mungkin dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi artistik atau kritik sosial, justru berujung pada kriminalisasi. Pertanyaannya, apakah yang ia tuai sepadan dengan apa yang ia tabur? Di sinilah kita perlu mengurai simpul antara hukum, adab, dan moral, yang kerap tidak sejalan dalam praktiknya.

Dalam tradisi Islam dikenal konsep "hukum tabur tuai" — bahwa siapa menanam, ia akan memetik hasilnya, baik atau buruk. Tapi di tengah kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi, prinsip ini menantang kita untuk merenung: apakah menanam sebuah gambar yang ditafsir menyinggung wibawa pemimpin pantas dipanen sebagai jeruji penjara? Apakah narasi digital harus dibalas dengan represi literal? Atau, apakah masyarakat kita masih punya ruang untuk menampung selisih pandangan tanpa serta merta mencabut kebebasan individu?

Mahasiswi SSS, yang berasal dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, tentu terbiasa bermain dalam ranah simbol, metafora, dan bahasa visual yang tidak selalu mudah dimaknai tunggal. Dalam konteks seni dan kritik politik, meme seringkali adalah bentuk kontestasi — semacam 'senjata' lelucon untuk membuka mata terhadap ironi atau absurditas politik. Tapi di negeri yang kadang gagap menghadapi kritik, karya semacam itu bisa dianggap subversif, melecehkan, bahkan kriminal. Maka ketika aparat menjawab ekspresi dengan penangkapan, di situlah muncul benturan: antara hak untuk berekspresi dan kewajiban untuk menjaga etika; antara hukum negara dan nilai sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun dalam Islam, hukum tabur tuai tidak serta merta dimaknai sebagai hukuman langsung yang dilaksanakan atas nama kekuasaan. Ia lebih sering bekerja diam-diam, bersifat eskatologis, menjadi pengingat bahwa Allah akan membalas setiap amal perbuatan — yang baik maupun yang buruk — di waktu yang telah ditentukan. Allah berfirman dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7-8 bahwa bahkan perbuatan sekecil zarrah pun akan dibalas. Tapi kita juga diajarkan bahwa Allah Maha Pengampun dan memberi waktu bagi manusia untuk bertobat, untuk kembali ke jalan-Nya. Maka benarkah menanggapi unggahan meme — betapapun satir atau tidak etis — dengan penjara, adalah cerminan dari prinsip itu? Ataukah kita sedang menyulap hukum tabur tuai menjadi pembalasan instan atas nama harga diri negara?

Dalam sistem hukum kita, terutama UU ITE, wilayah abu-abu sangat luas. Pasal-pasal karet yang bisa ditafsirkan sesuai selera kekuasaan atau tekanan publik membuat ruang kebebasan berekspresi terasa sempit dan menyesakkan. Kasus SSS ini hanyalah satu contoh bagaimana "penegakan hukum" kadang lebih terasa sebagai reaksi daripada refleksi. Padahal, yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan restoratif, bukan represif. Daripada memenjarakan seorang mahasiswi yang masih belajar memahami dunia dan menyampaikan gagasannya, tidakkah lebih bijak jika ia diajak berdialog, diberi ruang edukasi, atau bahkan dihadapkan pada forum etik? Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali adab, akhlak, etika, dan moral — bukan hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam praktik penegakan hukum.

Adab, akhlak, etika, dan moral bukan sekadar wacana mulia dalam ruang kelas atau khutbah Jumat. Mereka adalah fondasi hidup beradab, tempat kita bisa hidup bersama tanpa saling menyakiti, saling menghakimi, atau saling merendahkan. Dalam kasus SSS, yang menjadi persoalan bukan hanya hukum yang dijadikan tameng, tetapi hilangnya adab dalam menyikapi perbedaan, terutama dalam konteks kebebasan berekspresi. Kita seolah lupa bahwa akhlak Rasulullah bahkan terhadap musuhnya adalah kasih, bukan keras. Etika Nabi dalam berdakwah penuh kelembutan, bukan paksaan. Moral ajaran Islam mengajarkan ampunan lebih tinggi daripada balas dendam. Maka dari mana kita belajar bahwa meme harus dibalas dengan kurungan?

Perlu kita garis bawahi pula bahwa adab, moral, dan etika bisa berubah sesuai zaman dan budaya. Yang hari ini dianggap ofensif, bisa jadi esok diterima sebagai bagian dari satire politik. Tapi akhlak — dalam pengertian Islam — adalah standar universal yang tak lekang waktu. Ia melampaui konteks sosial dan menyentuh kedalaman hati manusia. Dalam kasus SSS, pertanyaan moralnya bukan hanya apakah dia bersalah karena membuat meme, tetapi juga: apakah aparat, masyarakat, dan pemerintah bersikap sesuai akhlak mulia dalam menyikapi kasus ini?

Kita bisa tidak sepakat dengan tindakan SSS, bisa menganggapnya tidak etis, bahkan bisa marah jika merasa pemimpin dipermalukan. Tapi akankah itu membenarkan penahanan? Di mana ruang diskusi, kritik, dan pengampunan dalam masyarakat kita? Apakah semua bentuk perbedaan harus dilenyapkan dengan stempel pidana?

Sebaliknya, jika kita setia pada prinsip "tabur tuai", maka kita pun harus bertanya kepada negara: apa yang telah ditabur oleh sistem hukum kita dalam merespons ekspresi warga? Apakah negara telah menanam rasa aman dalam kebebasan berpendapat? Atau justru menabur ketakutan bahwa setiap kata dan gambar bisa menyeret ke penjara? Jika demikian, maka buah yang dituai adalah masyarakat bisu dan paranoia digital — di mana setiap jempol yang bergerak di layar bisa berubah jadi jerat hukum yang mencekik.

Pendidikan tinggi seperti ITB pun ikut terdampak dalam citra publik akibat kasus ini. Padahal universitas seharusnya menjadi taman subur bagi kebebasan berpikir, berekspresi, dan mengkritik. Bila mahasiswi seni rupa tidak bisa berekspresi dalam medium visual yang kritis, lantas di mana lagi ruang kreasi itu bisa hidup? Kita tidak sedang membenarkan perbuatannya, tetapi bertanya: apakah ekspresi itu layak ditanggapi dengan hukum pidana, atau cukup dengan pendekatan etik dan edukasi?

Kasus SSS adalah cermin dari kondisi masyarakat kita: antara hukum yang galak, publik yang emosional, dan ruang diskusi yang makin mengerut. Kita lupa bahwa setiap tindakan — termasuk menyebarkan meme — punya konsekuensi, namun konsekuensi itu seharusnya mendidik, bukan menghukum secara membabi buta. Dalam Islam, seseorang yang bersalah diberi kesempatan bertobat. Bahkan pelacur yang memberi minum anjing pun dijanjikan surga karena kasih sayangnya. Maka bagaimana dengan seorang mahasiswi yang keliru mengunggah gambar? Apakah ia tidak pantas mendapat maaf dan bimbingan?

Pada akhirnya, kita tidak sedang bicara hanya tentang seorang perempuan muda bernama SSS, tapi tentang arah bangsa ini dalam menyikapi kebebasan, seni, hukum, dan peradaban. Kita harus memilih: apakah ingin menjadi bangsa yang membalas meme dengan jeruji, atau bangsa yang merangkul perbedaan dengan diskusi? Apakah kita ingin terus menabur ketakutan di antara anak-anak muda yang berpikir kritis, atau menanam harapan bahwa negeri ini masih punya ruang bagi ekspresi yang sehat dan bertanggung jawab?

Karena jika kita terus menabur represivitas, maka jangan heran jika kelak kita menuai masyarakat yang apatis, takut berpikir, dan kehilangan keberanian untuk bicara. Maka sebelum hukum tabur tuai bekerja lebih jauh, sebelum kita semua menuai badai dari benih ketidakadilan yang ditanam, mungkin sudah saatnya kita kembali pada adab, akhlak, etika, dan moral — tidak hanya dalam teori, tapi dalam setiap langkah kita sebagai warga, penegak hukum, dan manusia beradab.

(jat/jat)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial