Jakarta - Dunia hari ini sedang bergerak cepat memerangi praktik illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF). Negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, hingga negara tetangga kita seperti Thailand dan Vietnam telah mewajibkan kapal-kapal perikanannya dipantau ketat melalui sistem vessel monitoring system (VMS). Sebab tanpa teknologi pelacakan, siapa pun bisa mengklaim ikannya legal, padahal bisa jadi hasil dari pencurian sumber daya laut. Indonesia tentu tak ingin tertinggal. Di tengah ancaman degradasi ekosistem laut, meningkatnya kejadian cuaca ekstrem akibat krisis iklim, dan semakin ketatnya standar perdagangan produk perikanan dunia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkuat komitmen tata kelola laut yang transparan dan bertanggung jawab. Salah satu caranya memastikan kapal-kapal perikanan yang beroperasi di wilayah tangkapan luas, dipantau melalui VMS. Aturan penggunaan VMS sudah sejak 2003, dan bagi kapal perikanan yang bermigrasi izin dari daerah ke pusat (KKP) harusnya diberlakukan sejak 2024. Aturan penggunaan VMS makin diperkuat dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Namun sampai hari ini masih ada ribuan kapal perikanan yang belum mematuhi aturan tersebut. Padahal KKP telah memberikan relaksasi waktu sampai tiga kali sejak tahun lalu. Relaksasi pertama bagi kapal yang bermigrasi ke izin pusat dari awal tahun 2024 menjadi akhir 2024. Kemudian dimundurkan lagi sampai akhir tahun ini. Bagi sebagian pihak, mungkin saja ini terlihat tidak tegas. Namun langkah itu diambil KKP sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada produktivitas masyarakat perikanan, khususnya bagi para pemilik kapal yang bermigrasi dari perizinan daerah ke pusat. Sedangkan kapal yang memang dari awal berizin pusat, sejak puluhan tahun lalu sudah memakai VMS, mengikuti amanat UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009. KKP tengah menggiatkan edukasi tentang manfaat adopsi VMS agar masa relaksasi sampai akhir tahun 2025 menjadi yang terakhir kalinya. Di sisi lain, para pemilik kapal bermigrasi izin diimbau menyisihkan penghasilan untuk membeli perangkat VMS. VMS merupakan perangkat teknologi berbasis satelit yang digunakan untuk memonitoring pergerakan kapal perikanan di laut secara real time. Karena tingkat akurasinya tinggi, alat ini diakui secara global untuk memastikan bahwa kapal tidak melakukan praktik IUUF. Akurasi yang dimaksud mencakup arah kapal, posisi, aktivitas, tujuan, serta identitas kapal itu sendiri. Penggunaan VMS bukan hanya berlaku di Indonesia melainkan di banyak negara. Bahkan kapal-kapal perikanan di negara maju, seperti Britania Raya, Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia menggunakan perangkat VMS sejak tahun 90-an. Disusul Jepang, Kanada, Rusia dan Argentina di awal tahun 2000-an. Negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, serta Viet Nam pun telah menerapkan kebijakan VMS di kapal-kapal perikanannya. VMS memang menjadi keharusan, apalagi mengingat persaingan produk perikanan di pasar global yang kian ketat. Lebih lagi, semakin gencarnya kampanye mengenai pemberantasan praktik IUUF. Produk perikanan yang tidak dapat ditelusuri metode hingga lokasi penangkapannya, akan sulit bersaing khususnya di pasar Uni Eropa karena disinyalir penangkapannya ilegal. Dengan adanya data monitoring yang dihasilkan perangkat VMS, menjadi kunci bahwa aktivitas penangkapan ikan Indonesia dilakukan secara legal dan termonitoring. Rasanya di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan saat ini, memastikan daya saing produk perikanan pada level tertinggi menjadi langkah terbaik untuk menjaga bahkan menyasar pasar perikanan baru. Kegunaan lain perangkat VMS dapat menjadi upaya perlindungan diri bagi awak kapal perikanan. Saya mendapat informasi langsung dari tim Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan (PSDKP) mengenai banyaknya awak kapal perikanan yang berhasil diselamatkan dari berbagai peristiwa karena lokasi kapal mereka terlacak berkat VMS. Peristiwanya beragam, seperti kerusakan kapal, kapal hanyut akibat badai, bahkan peristiwa pembajakan seperti yang terjadi di Dobo, Maluku. Jadi, VMS juga berfungsi melindungi para awak kapal karena bekerja di laut punya risiko tinggi. Kegunaan lain tentu masih ada, termasuk bagi pemilik kapal itu sendiri. Meski tidak ikut melaut, pemilik dapat memantau seluruh aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh awak kapal sehingga meminimalisir terjadinya kecurangan yang merugikan. Ibarat memiliki mobil, tentu harus disertai dengan asuransi untuk berjaga-jaga jika terjadi insiden yang tidak diinginkan. Demikian pula halnya dengan kapal perikanan, VMS menjadi bentuk perlindungan sekaligus kendali atas aset bernilai tinggi yang beroperasi jauh di tengah laut. Sedangkan bagi pemerintah, khususnya KKP, aturan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan untuk memastikan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara lestari dan bertanggung jawab, sesuai komitmen Indonesia mengurangi serta mencegah IUUF. KKP juga mendapatkan data atau informasi tentang tracking kapal yang dapat dipakai untuk validasi data hasil tangkapan ikan dan data area penangkapan ikan. Kemudian yang tak kalah penting, data atau informasi yang dihasilkan perangkat VMS dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Suka tidak suka, mau tidak mau, VMS sebenarnya keharusan. Apalagi organisasi pengelolaan perikanan tuna Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) telah mewajibkan pemasangan VMS pada kapal-kapal penangkap tuna yang beroperasi di wilayah Samudera Hindia, untuk memastikan kepatuhan dari praktik IUUF. Ini menandakan bahwa regulasi penggunaan VMS pada kapal perikanan Indonesia yang berizin pemerintah pusat bukan untuk menyulitkan apalagi menakut-nakuti pemilik kapal beserta awaknya, melainkan sesuai dengan situasi sektor kelautan perikanan saat ini dan aturan internasional. Meluruskan Kabar Kebijakan pemasangan VMS bagi kapal berizin pusat memunculkan banyak reaksi di berbagai daerah. Tak bisa dipungkuri bahwa hadirnya aksi akan diikuti oleh reaksi, termasuk dalam hal kebijakan. Namun sayangnya banyak informasi keliru terutama soal kewajiban pemasangan VMS menyasar seluruh kapal. Nyatanya tidak demikian. Pemerintah saat ini memberlakukan pemasangan VMS hanya untuk kapal-kapal perikanan berizin pusat. Baik itu kapal yang sejak awal operasionalnya berizin pusat (kapal di atas 30 GT dengan area tangkapan di atas 12 mil), maupun kapal perikanan hasil migrasi dari izin daerah menjadi izin pusat. Kapal migrasi izin meski ukurannya di bawah 30 GT, area tangkapan ikannya berubah menjadi di atas 12 mil laut. Berdasarkan catatan KKP, terdapat sekitar 5.190 kapal perikanan yang bermigrasi izin ke pusat, namun lebih dari 4.400 diantaranya belum memasang VMS. Bahkan beliau tengah mengupayakan program pemasangan VMS gratis bagi kapal-kapal nelayan tradisional. Hal lain yang perlu diluruskan dari isu penolakan pemasangan VMS adalah tentang terminologi nelayan. Tidak semua orang yang berjibaku di sektor perikanan tangkap disebut nelayan. Dan Pasal 1 angka 13 menyatakan 'Awak kapal penangkap ikan adalah setiap orang yang bekerja atau dipekerjakan dalam kapal penangkap ikan'. Jadi, siapa sebenarnya yang menolak VMS? Tentunya bukan nelayan kecil! Pihak yang menolak pastilah mereka yang tidak suka dengan semangat transparansi dalam bisnis perikanan tangkap. Padahal di era modern ini soal memastikan praktik penangkapan ikan tidak melanggar hukum menjadi perhatian utama dunia jika komoditasnya ingin diterima suatu negara. Jika Indonesia ingin sektor perikanan tangkap naik kelas, maka tak cukup hanya mengandalkan semangat dan keberanian melaut. Indonesia butuh sistem yang akuntabel, lestari, dan patuh hukum. VMS bukan penghalang, melainkan anak tangga menuju perikanan tangkap Indonesia yang lebih maju dan berdaya saing. Adopsi VMS adalah langkah besar menuju laut yang lebih aman, usaha yang lebih jujur, dan produk perikanan yang bisa dibanggakan di pasar dunia.
Manfaat VMS
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini