Paus Fransiskus dan Fraternitas Lintas Batas

5 hours ago 5

Jakarta -

Paus Fransiskus telah pergi, kembali ke pelukan Allah Bapa dalam keabadian. Banyak orang, pejabat hingga jelata, pemimpin agama hingga umat, memberi kesan positif tentang Paus yang berasal dari ujung dunia ini. Pemakamannya dihadiri oleh ratusan ribu orang; mulai dari pejabat negara hingga umat biasa. Kesederhanaannya menarik perhatian dunia, kepeduliannya terhadap kemanusiaan menjadi bahan perbincangan dan inspirasi.

Sejak pidato perdananya di loggia Basilika St. Pertrus, kita segera mendapat kesan bahwa Paus asal Argentina ini adalah pribadi yang amat rendah hati. Ia menyapa umat yang hadir dengan sapaan "saudara dan saudari, selamat sore." Sebuah ungkapan yang spontan, datang dari hati yang meluapkan cinta yang tulus, yang penuh kasih, seperti seorang bapa yang menyayangi anak-anaknya. Cinta itu serentak mengungkapkan tidak ada jarak antara pemimpin tertinggi Gereja dengan umat-Nya.

"Dan sekarang, mari kita memulai perjalanan ini, Uskup dan umat, perjalanan ini dari Gereja Roma, yang memimpin dalam cinta kasih atas semua Gereja, sebuah perjalanan persaudaraan dalam cinta, saling percaya. Mari kita selalu berdoa untuk satu sama lain. Mari kita berdoa untuk seluruh dunia agar tercipta rasa persaudaraan yang besar."

Pidato ini singkat, tapi begitu padat dan merangkum seluruh perjalanan kepausannya selama 12 tahun 1 bulan 1 minggu. Sepanjang itu, Paus Fransiskus selalu mendorong terciptanya persaudaraan sejati antarsesama manusia, antarmanusia dengan alam, mendorong perdamaian dunia, dan rasa saling percaya antara umat gembalaannya.

Fraternitas dengan alam

Fransiskus segera menjelma menjadi protagonis di hadapan alam yang rusak, ekonomi yang timpang, politik yang tidak adil dan memarginalkan kelompok masyarakat miskin, dan perang. Peran protagonis yang paling menghentak dunia kehidupan kita hadir lewat ensiklik "Laudato Si" (LS: 2015).

Bumi disapa sebagai ibu pertiwi. Ia memelihara dan mengasuh kita, tetapi saat ini Ia sedang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya (LS 1-2). Kerusakan ekologis, ibu pertiwi yang sedang mengeluh dalam rasa sakit bersalin itu, adalah karena mentalitas manusia modern yang bikin diri sebagai tuan dan menempatkan alam sebagai obyek untuk dikuasai, dijarah.

Relasi subjek-objek, manusia sebagai tuan dan alam sebagai objek untuk dijarah ini, membuat kita gelap mata dan tamak. "Semua hal hanya milik kita yang kita gunakan untuk diri kita sendiri saja. Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika kita tidak lagi mengakui hal yang lebih tinggi daripada diri kita sendiri, ketika kita tidak melihat apapun kecuali diri kita sendiri." (LS 7).

Data Global Forest Resourseces Assesment FAO (2020) memperlihatkan kepada kita kerusakan ekologis itu nyata. Sejak 1990 sekurang-kurangnya 420 juta hektar hutan hilang akibat deforestasi. Bagaimana bisa kita hidup berdampingan dengan kerusakan ekologis yang setiap hari berteriak keras karena sakit yang dideritanya itu?

Paus Fransiskus mengajak kita untuk melihat kehadiran alam bukan sebagai objek untuk dijarah, pemuas nafsu untuk akumulasi modal, tetapi sebagai "saudara dan saudari." Menyapa alam dan seluruh isinya dengan sapaan saudara dan saudari membawa kita kepada suatu pengalaman mistik yang amat kaya.

"Santo Fransiskus mengajak kita untuk memandang alam sebagai sebuah kitab yang sangat indah. Di dalamnya Allah berbicara kepada kita dan memberi kita sekilas pandangan tentang keindahan dan kebaikan-Nya." (LS 12).

Maka, kita semua tanpa kecuali, diajak untuk menjadi protagonis, pemeran utama, dalam upaya untuk meminimalisir jeritan ibu pertiwi yang sedang sakit itu dengan terlibat di dalam usaha bersama memperbaiki kerusakan alam. Setiap kita tanpa kecuali karena "bakat dan keterlibatan setiap orang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh manusia yang menyalahgunakan ciptaan Allah." (LS 14).

Kita semua dapat menjadi perpanjangan tangan (manus longa) Tuhan untuk bekerja bersama-sama untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri.

Andrew Dobson dalam bukunya Citizenship and the Environment (2003) menyebut ada tanggung jawab baru yang diemban oleh setiap warga negara, di samping bagian dari entitas politik negara, yaitu tanggung jawab untuk proaktif memperjuangkan perbaikan ekologis. Yang kita butuhkan adalah kewarganegaraan ekologis (ecological of citizenship): kesadaran bahwa alam sudah rusak, kita harus bertanggung jawab!

Merawat alam harus menjadi etos yang membentuk habitus. Warga negara mesti disadarkan (conscientization) melalui refleksi-aksi untuk dapat membawa transformasi nyata. Tentang ini, barangkali kita bisa belajar dari masyarakat adat Marind-Anim, Merauke, melalui konsep anim-ha (manusia luhur) yang memperlakukan alam sebagai sumber yang memberi hidup (J. Boelaars: 1986).


Fraternitas antarmanusia

Sapaan saudara-saudari yang dilontarkan Paus Fransiskus pada awal masa kepausannya merupakan sesuatu yang tidak lazim. Namun, itulah cara beliau memberikan takzim kepada umat-Nya yang dipercayakan kepadanya untuk digembalakan. Sapaan sederhana itu berdampak luas dan transformatif terutama pada wajah gereja.

Jika dahulu gereja dan umat dibatasi oleh jarak hierarkis yang cukup jauh, maka melalui Paus Fransiskus jarak itu diatasi. Relasi hierarki gereja dan umat Allah bukan lagi seperti layang-layang dengan pemainnya, yang satu jauh di antara awan-awan, yang lainnya pontang-panting di bumi, tetapi berjalan bersama. Kehadiran Kehadiran gembala dirasakan; bau domba dikenali secara akrab oleh gembalanya.

Hal ini ditandai dengan kunjungan Paus Fransiskus ke Lampedusa, berjumpa dengan para imigran dari Afrika. Paus Fransiskus tidak sekedar menyapa para imigran sebagai sesama, tetapi menempatkan dirinya sendiri sebagai sesama bagi mereka yang terpinggirkan itu (Fratelli Tutti 81). Ia menjadi saudara dan bapa bagi para persona non grata itu.

Sapaan saudara-saudari dalam terang pemikiran Santo Paulus adalah suatu bagian dari etika dasar (metanorma) korporatisme yang membentuk relasi kolegialitas di antara para jemaat perdana (Martin Harun: 2012). Semua murid Kristus itu setara sebagai bagian-bagian dari satu tubuh (corpus) yang dikepalai oleh Kristus sendiri. Bagian-bagian itu unik di dalam peranannya dan karena itu tak bisa direduksi ke dalam suatu bentuk keseragaman.

Maka, persaudaraan menjadi alat tukar utama di dalam relasi antarmanusia. Ia melampaui aneka sekat primordial. Di atas segalanya hanyalah kemanusiaan bermartabat, unik, dan menuntut suatu penghormatan tanpa kecuali dalam suatu bangunan relasional dengan yang lain. Kata Fransiskus:

"Kasih untuk orang lain, sebagaimana adanya dirinya, mendorong kita untuk mengusahakan yang terbaik bagi hidupnya. Hanya dengan mengembangkan cara berelasi seperti ini kita akan memungkinkan persahabatan sosial yang tidak mengecualikan siapa pun dan persaudaraan yang terbuka terhadap semua." (FT 94)

Saya kira itu yang mendorong Paus Fransiskus untuk gencar membangun dialog dengan semua kelompok mulai dari pemimpin agama-agama abrahamik, pemimpin politik negara-negara di dunia lintas ideologi, pemimpin politik negara-negara yang tengah berkonflik seperti Sudan Selatan atau pun Ukraina hingga Palestina.

Sikap inklusif gereja Katolik di bawah kegembalaan Paus Fransiskus dapat ditelusuri jauh ke belakang ketika ia merasa "disapa" oleh kerahiman Tuhan. Kardinal Suharyo menulis di Kompas (24/4), memberi konteks bagi gagasan transformatif yang melatari pikiran, kata-kata, dan tindakan Paus Frans selama ini. Daya dorong utama adalah pengalaman perjumpaannya dengan Allah Yang Maharahim itu.

Penggalan khotbah yang ditulis Santo Beda (abad ke-7) adalah komentar atas panggilan Matius: Vidit ergo Iesus publicanum et quia miserando atque eligendo vidit, ait illi 'Sequere me' (Yesus melihat pemungut cukai dengan mata yang memancarkan kerahiman dan memilihnya serta berkata, 'Ikutlah Aku').

Pengalaman itu amat berkesan. Ia menjadi imam, Uskup, dan akhirnya Paus dengan visi pembebasan. Allah Yang Rahim itu selalu berpihak kepada manusia, kepada mereka yang tertindas. Sama seperti Yesus membebaskan Matius dari kehidupan lamanya, Paus Frans pun demikian. Ia berupaya membebaskan manusia dari perang, membebaskan manusia dari kerusakan ekologis, membebaskan manusia dari keserakahan dan egoisme.

Kemanusiaan kita diukur dari cara kita memperlakukan yang paling rentan di antara kita. Paus Fransiskus dalam hidupnya memperlihatkan wajah gereja yang tidak pernah netral, selalu berpihak kepada mereka yang rentan, yang tertindas. Bahkan, menjelang wafatnya, Paus Fransiskus masih sempat menyerukan perdamaian di Gaza.

Ia meninggalkan legasi persaudaraan sejati dan mengharapkan agar dunia hidup di dalam suatu persaudaraan universal yang menghormati martabat kemanusiaan di atas segalanya. Yesus berkata kepada kita: "Kamu semua adalah saudara." (Mat. 23:8)

Arianto Zany Namang Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia 2018-2020

'Simak juga Video: Cerita Raniero, Siapkan 3 Jubah Ukuran Berbeda untuk Paus Terpilih'

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial