Jakarta - Natal yang diperingati oleh jemaat kristiani seluruh dunia memiliki makna penting dalam sejarah keselamatan. Yesus lahir di tengah-tengah bangsa yang angkuh karena belenggu kuasa, dosa ,dan maut. Dalam diri Yesus Kristus, Allah menyatakan diri-Nya dalam wujud manusia yang sehati seperasaan dengan manusia yang menderita dan bergelimang dosa. Dalam diri Yesus Allah merasakan diri-Nya sebagai manusia hanya Ia sendiri tidak berdosa.
Kisah sejarah keselamatan selalu mengandung ketegangan antara keselamatan itu sendiri dan dosa. Kisah penciptaan diwarnai dengan kisah jatuhnya Adam dan Hawa dalam dosa. Mereka yang diciptakan hidup damai di Taman Firdaus harus mengalami penderitaan dan kesengsaraan karena manusia pertama itu jatuh dalam dosa. Dosa yang diperbuat oleh Adam dan Hawa ini menjadi dosa asal yang harus ditanggung semua keturunan Adam sepanjang zaman.
Begitu pun kisah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir yang dipimpin oleh Musa diwarnai dengan penenggelaman bangsa Mesir di Laut Merah yang mengejar bangsa Israel dan hendak menumpasnya. Pembebasan ini diwarnai dengan penumpasan bangsa Mesir yang memperbudak bangsa Israel. Begitu pula dalam Kitab Perjanjian Baru kisah kelahiran Yesus pun diwarnai dengan kejadian ironis yang saling bertolak belakang.
Betapa tidak, Allah memilih Maria seorang perempuan desa berusia kurang lebih 14 tahun yang sederhana untuk menjadi Bunda Yesus. Pilihan kepada Maria bukan tidak menimbulkan kontroversi. Dengan memilih Maria dan kemudian mengandung dari Roh Kudus bukan saja menimbulkan pergunjingan di masyarakat karena kemudian Maria dipandang masyarakat pada waktu itu sebagai perempuan hamil tanpa suami. Hukuman pada waktu itu cukup berat bagi perempuan yang melakukan perzinahan.
Berita kelahiran Yesus di kandang Betlekhem pun akhirnya terdengar oleh Herodes Raja bengis di wilayah Galilea yang tidak mau kekuasaannya ditandingi oleh Yesus Juru Selamat. Herodes pun membuat perintah agar semua bayi laki-laki ditumpas. Maka Yesus yang masih berupa bayi merah terpaksa diungsikan ke Mesir bersama kedua orangtuanya. Kisah ini bukannya tanpa rencana dan campur tangan Allah. Bangsa Israel dahulu mengungsi ke Mesir ketika terjadi kelaparan dan kemudian beranak pinak di sana.
Kisah Yesus pun seakan menggenapi kisah para nabi pendahulu-Nya. Hingga pada akhirnya Yesus pun harus mati di kayu salib sebagai puncak karya penyelamatan. Kisah-kisah perjanjian lama dan baru ini mencerminkan manakala karya penyelamatan Tuhan tidak selalu dilampaui dengan mulus. Ia mengalami ketegangan karena hadir di tengah bangsa yang angkuh dan congkak. Selalu ada ketegangan antara janji dan pemenuhan janji. Selalu ada ketegangan antara penyelamatan itu sendiri dengan tindakan manusia yang bergelimang dosa.
Munculnya penderitaan dan kesengsaraan disebabkan karena dosa manusia. Kisah sengsara Adam dan Hawa disebabkan oleh pelanggaran atas hukum Tuhan. Karena itu dalam konteks sejarah keselamatan tidak semata-mata peristiwa yang baik-baik saja. Tetapi dalam keseluruhan pengalaman manusia baik dalam keadaan dosa maupun dalam keadaan selamat. Artinya sejarah keselamatan tidak saja hadir dalam pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja tetapi juga dalam ketegangan dan dosa.
Karenanya keselamatan yang disampaikan Yesus pada hari Natal menjadi bermakna ketika manusia diajak menyelami pengalaman manusia yang bergumul dalam kedosaan. Manusia yang bergumul dengan berhala yang disebabkan oleh perbuatan setan. Kisah-kisah penderitaan manusia yang bergumul dalam dosa memperlihatkan betapa besar cinta kasih Allah yang tidak melepaskan begitu saja manusia dalam dosa. Allah begitu mengasihani manusia seutuhnya sampai mengutus Putera-Nya sendiri menjadi tebusan bagi banyak orang.
Dalam konteks sekarang ini ketika martabat manusia banyak dilecehkan oleh pembangunan kita harus kembali pada hakikat penyelamatan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri. Fakta membuktikan dalam pembangunan sering mengorbankan martabat kemanusiaan. Pembangunan hanya berpihak kepada mereka yang berkuasa. Seolah-olah nasib manusia hanya ditentukan oleh para elit. Pembangunan yang demikian justru tidak memanusiakan manusia karena melecehkan martabat dan citra Tuhan.
Natal adalah ajakan untuk kembali berkawan dengan mereka yang lemah, rapuh, dan tidak berdaya. Mereka yang miskin adalah korban keangkuhan para pemimpin. Natal adalah ajang untuk berpihak kepada yang miskin yang menjadi korban. Kisah kelahiran Yesus di kandang domba adalah kisah perkawanan dengan manusia yang mengalami kegagalan dan kehancuran. Kembali pada semangat Natal Bapa mengajak kita semua untuk kembali pada hakikat kemanusiaan yang mengasihi dan berpihak kepada mereka yang berdosa, miskin dan tidak berdaya.
Kelahiran di tengah-tengah para gembala menjadi kritik sosial atas perilaku tamak dan angkuh yang diperankan para pemimpin sepanjang sejarah. Pembangunan mestinya berpihak kepada mereka yang miskin dan rakyat kecil bukan justru rakyat dijadikan tumbal pembangunan. Yesus telah datang untuk para gembala yang miskin. Bukan pada kekuasaan yang bengis. Bukan kepada mereka yang berpangkat dan berkuasa melainkan pada mereka yang menderita.
Dalam konteks Natal yang menyelamatkan, tindak kekerasan dan pelecehan martabat manusia adalah tragedi yang melupakan Allah yang rela menjadi manusia dan tinggal di antara manusia yang berdosa. Karena itu Natal harus dikembalikan pada makna dan hakikatnya sebagai sarana Allah berbelas kasih, bersolider, dan mau berdamai dengan manusia yang berdosa. Dalam dimensi ini Natal memberi warta keselamatan. Selamat hari Natal 25 Desember 2024. Tuhan beserta kita!
Paulus Mujiran Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang (mmu/mmu)