Jakarta -
Pada era digital sekarang ini, apakah kutipan "buku adalah jendela dunia" bisa diganti dengan podcast adalah jendela dunia, YouTube adalah jendela dunia, atau barangkali TikTok adalah jendela dunia?
Pertanyaan itu terlintas dalam pikiran saya pada suatu Minggu pagi ketika menjumpai perdebatan netizen di platform Threads. Di satu pihak berpendapat bahwa membaca buku, apalagi buku cetak, pada era sekarang tidak lagi relevan. Sementara di pihak lain berpendapat sebaliknya.
Perkembangan teknologi digital memang menyediakan ruang informasi dan pengetahuan yang semakin luas. Informasi dan pengetahuan bisa didapatkan dengan lebih mudah melalui aktivitas mendengarkan podcast, menonton YouTube, TikTok, dan media digital lain. Namun, apakah hal itu berarti dapat menggeser eksistensi aktivitas membaca buku sepenuhnya?
Kredibilitas vs Viralitas
Kutipan "buku adalah jendela dunia" dapat dimaknai bahwa buku adalah medium berkumpulnya pengetahuan. Pengetahuan berisikan penjelasan mengenai dunia. Dengan demikian, semakin banyak buku yang dibaca oleh seseorang, maka akan semakin banyak pula penjelasan mengenai dunia yang ia dapatkan.
Pemaknaan tersebut tidak berlebihan apabila kita menilik proses hadirnya sebuah buku. Sebelum menelurkan sebuah buku, si penulis perlu terlebih dahulu membuat rancangan dan mengumpulkan berbagai sumber. Berbagai sumber tersebut dianalisis, diinterpretasikan, dan disintesiskan. Tak cukup sampai di situ, draf tulisan pun perlu ditinjau ulang dan di edit sana-sini sebelum akhirnya diterbitkan.
Proses panjang hadirnya buku sekaligus memberikan jaminan kedalaman pengetahuan. Di dalam buku, pemaparan dan pembahasan suatu topik lebih terstruktur dan komprehensif. Terlebih lagi jika penulisnya adalah seorang pakar. Hal tersebut menjadikan buku sebagai sumber rujukan pengetahuan yang kredibel.
Kredibilitas pengetahuan itulah yang sulit untuk didapat apabila kita hanya mengandalkan pengetahuan dari rimba digital. Kita perlu ingat bahwa basis dari rimba digital adalah viralitas. Mana yang lebih viral, itulah yang mendominasi publik.
Lonceng peringatan bahaya perlu dibunyikan. Basis viralitas dalam rimba digital memungkinkan siapa pun menanggapi persoalan apa pun. Seseorang dapat lebih mendengarkan influencer dan konten kreator daripada pakar sehingga terjadi bias pengetahuan. Akibatnya, seperti judul bukunya Tom Nichols yaitu The Death of Expertise (Matinya Kepakaran).
Sebagai contoh adalah isu tentang kesehatan mental. Penelitian Wijaya dkk (2024) mengenai fenomena self diagnose mengungkapkan bahwa konten-konten kesehatan mental di TikTok mempengaruhi pemikiran seseorang terhadap kesehatan mental dirinya bahkan orang lain. Mereka terdorong untuk melakukan self diagnose. Positifnya, mereka dapat mengetahui lebih dini kondisi kesehatan mentalnya. Negatifnya, hal tersebut berpotensi menghalangi seseorang untuk meminta bantuan profesional karena telah merasa tahu kondisi mentalnya, membeli obat-obatan tanpa resep, dan salah diagnosis.
Selain viralitas, rimba digital juga mengandalkan kecepatan. Iming-iming kecepatan inilah yang justru menjadi jebakan. Seolah-olah menawarkan efisiensi padahal sebenarnya menyodorkan kedangkalan informasi dan pengetahuan. Sebagai contoh adalah maraknya konten-konten video pendek. Melalui medium semacam itu informasi dan pengetahuan rentan terfragmentasi. Akibatnya, informasi maupun pengetahuan yang diperoleh hanya sepintas belaka.
Kembali ke Buku
Secanggih apa pun teknologi digital menyediakan akses informasi dan pengetahuan, kita tetap perlu kembali ke buku. Sebagaimana pernyataan Karlina Supelli, seorang filsuf dan astronom Indonesia. Dalam sebuah wawancara dia menyatakan bahwa membaca buku tidak tergantikan karena kerja otak hanya bisa dilatih menjadi tajam kala otak itu berdialog.
Aktivitas membaca buku melibatkan interaksi otak dengan teks. Pada saat membaca otak terlibat untuk mencerna dan memahami kalimat demi kalimat. Hal ini dapat memperkaya perbendaharaan kata dan melatih otak untuk terbiasa dengan alur berpikir yang terstruktur. Alhasil juga mempengaruhi keterampilan kita untuk mengungkapkan gagasan baik secara lisan maupun tulisan.
Membaca buku juga dapat melatih imajinasi. Imajinasi penting bahkan sejak anak-anak karena menjadi dasar daya kreatif. Selain itu, berdasarkan penelitian Hattarina dkk (2020) anak-anak yang terbiasa membaca buku keterampilan berpikir kritisnya lebih terasah daripada anak-anak yang hanya terlibat aktivitas menonton.
Saya tidak hendak menyatakan bahwa informasi dan pengetahuan di rimba digital adalah sampah. Kemudahan yang disodorkan tetap perlu kita manfaatkan. Namun, beragam manfaat dari aktivitas membaca buku sangat sayang jika dilewatkan begitu saja.
Argumen yang menyatakan bahwa membaca buku tidak lagi relevan adalah argumen yang dangkal. Terlalu cepat untuk menarik kesimpulan bahwa buku telah menjadi barang kuno. Padahal, pada masa kini buku juga tersedia secara digital (e-book). Hal ini justru memperluas ruang kita untuk tetap menjalankan aktivitas membaca buku.
Membaca buku tetap relevan sebagai penyeimbang informasi dan pengetahuan yang kita dapatkan dari platform digital lain. Kedalaman dan kestrukturan pengetahuan di dalamnya dapat menjadi sarana untuk verifikasi lebih lanjut. Tujuannya agar tidak terjadi bias pengetahuan. Hemat saya, begitu naif apabila kita menganggap bahwa aktivitas membaca buku tidak lagi relevan di era sekarang. Buku telah membersamai peradaban kita selama berabad-abad. Bahkan telah menjadi simbol peradaban itu sendiri.
Buku adalah jendela dunia. Kutipan itu akan senantiasa bergema hingga di masa depan.
Femas Anggit Wahyu Nugroho pembaca buku
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu