Puasa: Tirakat dari Kepalsuan

1 month ago 28

Jakarta -

Puasa pada bulan Ramadan adalah perintah Tuhan yang peruntukkan mencapai derajat takwa. Ukuran untuk mencapai derajat tersebut tidak sekadar pada kemampuan menahan lapar dan haus semata. Kedua kemampuan itu dapat dikatakan sebagai kemampuan yang paling dasar dari berpuasa. Nabi Muhammad SAW mengatakan, tidak sedikit orang yang berpuasa hanya sekadar mendapatkan lapar dan haus belaka.

Dalam berpuasa, pribadi yang ingin mencapai derajat takwa tidak lagi disibukkan dengan urusan haus dan lapar semata, tetapi lebih diarahkan untuk membangun kesucian jiwa demi mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Konsekuensinya, pribadi semacam ini mesti mampu melepaskan diri dari setiap belenggu kepalsuan, baik yang dihadirkan melalui lisan maupun perbuatan.

Kepalsuan sendiri bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kata dan perilaku yang bermuara pada hal ini kerap hinggap dalam kehidupan masyarakat bangsa. Kata dan sikap yang abai dari nilai kejujuran adalah misal nyata yang dapat disaksikan secara kasat mata. Namun yang lebih miris lagi kondisi ini terjadi pula pada para pejabat yang diberi amanah. Mulai dari yang melakukan pemalsuan BBM dengan melakukan pengoplosan antara BBM subsidi dan non-subsidi sampai pada penjualan emas "palsu" (ilegal). Tindakan-tindakan kepalsuan semacam ini tidak hanya menghilangkan kepercayaan pada masyarakat, tetapi yang lebih parah lagi adalah menyebabkan kerugian negara yang begitu besar, disinyalir kerugian itu lebih dari ratusan miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anehnya, mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut bukanlah pribadi-pribadi yang miskin secara harta; perolehan bulanannya mencapai puluhan hingga ratusan juta, bahkan sampai miliaran rupiah. Kepalsuan yang dilakukan akhirnya bermuara pada ketamakan, sebuah sikap tidak pernah merasa puas dari segala hal yang telah didapatkan.

Tidak hanya dalam bentuk kata dan perbuatan, kepalsuan pun kerap hadir dalam bentuk keimanan. Bentuk keimanan palsu terlihat ketika banyak dari masyarakat yang mengaku beriman, tetapi mengabaikan aturan-aturan dari Yang Sakral dan mengedepankan hal-hal yang bersifat profan. Dalam wilayah keseharian, hal ini terpampang jelas dari perilaku menomorduakan Tuhan. Sejatinya sebagai Dzat yang Sakral, Tuhan patut untuk diutamakan, namun hal semacam ini kerap terabaikan. Justru perlombaan di wilayah profan lebih dinomorsatukan.

Tidak sedikit dari yang mengaku beriman lebih terbuai dengan keduniawian, ambisi pada kekuasaan, popularitas juga kemewahan yang dilakukan secara serampangan adalah realitas yang jelas terlihat dalam kehidupan. Padahal segala hal yang bersifat profan adalah nisbi dan pasti akan hilang, sementara Yang Sakral akan terus abadi membersamai jiwa-jiwa yang suci.

Puasa sejatinya adalah ibadah yang ingin menuntun setiap pribadi yang melakukannya untuk memiliki jiwa yang suci. Pribadi yang memiliki jiwa tersebut, tidak akan mudah tergiur dengan segala bentuk kepalsuan yang merupakan penghalang untuk menuju pada kesucian dan berpuasa adalah jalan untuk mencapainya.

Dari Kepalsuan Menuju Keautentikan

Kepalsuan adalah jebakan untuk membentuk keautentikan diri. Diri yang autentik adalah diri yang memiliki kesadaran tentang fitrahnya yang suci. Sejak tercipta ke dunia setiap diri adalah suci. Namun dalam perjalanannya, kesucian itu terkadang tertutup oleh hasrat duniawi. Hasrat inilah yang pada akhirnya menjadikan diri kehilangan sisi keautentikannya. Konsekuensinya, yang banyak ditampilkan dalam pagelaran kehidupan adalah berbagai macam bentuk kepalsuan. Bahkan, tidak sedikit yang bangga akan bentuk kepalsuan itu.

Puasa merupakan tirakat dalam meminimalisasi segala bentuk kepalsuan. Di dalam puasa setiap diri diingatkan untuk kembali pada bentuk autentiknya. Perintah tidak makan dan minum yang ada di dalamnya adalah perintah yang dibangun untuk membangun kesadaran agar tidak serakah terhadap unsur materi, sehingga mampu merasakan derita kelompok miskin dan papa yang kesehariannya sangat jauh dari unsur tersebut. Sebuah unsur yang sering menjebak manusia kepada bentuk ketidakautentikan. Tidak sedikit dari manusia melegalkan berbagai macam tindakan keliru demi mendapatkan unsur tersebut.

Puasa pun mengajarkan untuk berlaku jujur, terutama dalam bentuk kata. Konsekuensinya, setiap pribadi yang berpuasa tidak diperkenankan untuk menyampaikan kata-kata palsu, seperti janji yang tidak direalisasikan. Hal ini menjadi pengingat bagi setiap orang, terutama mereka yang duduk di wilayah pemerintahan, untuk hati-hati dalam berjanji, jangan sampai ia janji itu hanya dijadikan hiasan lisan demi merengkuh kekuasaan. Kekuasaan yang hanya berhias janji tanpa realisasi layak dikatakan sebagai kekuasaan yang telah terjebak kepada bentuk kepalsuan.

Dalam puasa pun setiap pribadi diharuskan untuk mampu menahan amarah, karena amarah dapat menjadi penyebab pribadi tidak autentik (suci) dan dapat menjadikan puasa sia-sia. Jalan menuju pada keautentikan (kesucian) diri adalah jalan yang pasti diinginkan oleh setiap pribadi yang berpuasa. Melalui jalan ini setiap pribadi akan mampu mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Semakin seseorang mampu mendekatkan diri pada Yang Kuasa, akan semakin mampu seseorang itu keluar dari berbagai macam jeratan kepalsuan. Tepat kiranya bila dikatakan puasa adalah tirakat untuk menjauhkan diri dari kepalsuan.

Achmad Saeful Kepala Unit Litbang Pesantren Ibnu Syam Cilegon, dosen Institut Binamadani Tangerang

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial