Jakarta -
Mungkin ini adalah tanda paling nyata bahwa manuver politik CEO Tesla, Elon Musk, telah menjadi bumerang bagi bisnisnya.
Pada Selasa (11/03) di luar Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berdiri di samping miliarder teknologi itu dan sebuah mobil Tesla Model S berwarna merah. Trump mengumumkan, ia akan membeli mobil listrik itu untuk digunakan para stafnya dengan pembayaran penuh.
Dukungan tak terduga Trump terhadap raksasa kendaraan listrik (EV) itu muncul setelah kritik berbulan-bulan atas keterlibatan Musk dalam politik AS dan luar negeri, termasuk dukungan untuk partai sayap kanan di Eropa, setelah miliaran dolar menguap dari saham Tesla.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakta bahwa Musk mencari dukungan publik melalui presiden AS mengundang aksi protes, boikot konsumen, dan bahkan serangan sabotase terhadap Tesla, stasiun pengisiannya, hingga pabrik produksinya. Perkembangan ini telah mengkhawatirkan para investornya.
Trump mengecam serangan-serangan terhadap Tesla dan mengatakan itu adalah bentuk "terorisme domestik."
Anjloknya penjualan Tesla akibat keterlibatan politik Musk?
Anjloknya penjualan Tesla semakin menambah tekanan. Di Jerman, di mana Musk menggunakan platform media sosialnya, X untuk mendukung partai sayap kanan AfD pada pemilu parlemen bulan lalu, penjualan Tesla turun 76% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara itu, penjualan EV secara keseluruhan di Jerman justru meningkat hampir sepertiga dalam periode yang sama.
Tren serupa juga muncul di Prancis, di mana penjualan Tesla turun 45% dalam dua bulan pertama tahun ini. Di Australia, penjualan Tesla bahkan turun lebih dari sepertiga dalam empat bulan sejak Trump terpilih kembali.
Sementara di pasar kendaraan listrik terbesar AS, California, penjualan Tesla turun untuk kuartal kelimanya secara berturut-turut, menurut Asosiasi Dealer Mobil Baru California CNCDA. Pada 2024, penjualan Tesla di negara bagian itu juga turun sebesar 11,6%.
Konsumen tampaknya mulai menghindari mobil listrik milik Musk itu, di tengah tuduhan keterlibatan politik dan hubungan Musk yang terlalu dekat dengan Trump. Banyak pemilik Tesla menempelkan stiker di mobil mereka sebagai bentuk protes terhadap perubahan haluan Musk, dengan slogan seperti: "Vintage Tesla – Edisi pra-Kegilaan" atau "Saya membeli mobil ini sebelum Elon kehilangan akal sehatnya."
"Musk berpikir ia bisa mengatakan apa pun yang ia inginkan tanpa konsekuensi bagi Tesla," kata analis Morningstar, Seth Goldstein, kepada Associated Press pekan lalu. "Tesla dulu berada di posisi ideal. Kini, Tesla punya banyak pesaing."
Survei terbaru oleh Strategic Vision, meminta warga AS untuk menyebutkan kendaraan favorit mereka. Meskipun banyak warga yang memilih EV dibandingkan model konvensional, tidak satu pun dari mereka memilih Tesla.
Daniel A. Crane, profesor hukum di Universitas Michigan dan penulis buku tentang Tesla, mencatat bahwa produsen mobil itu "sangat identik dengan kepeduliannya terhadap lingkungan," dan bagaimana pengemudi Tesla "cenderung berpihak ke kiri secara politik."
"Dalam dua tahun terakhir, Musk telah menghancurkan jembatannya dengan kelompok-kelompok itu. Selain itu, dengan hadirnya banyak EV lain di pasar (seperti Rivian dan Lucid, serta produsen otomotif besar lainnya), orang yang ingin punya EV demi alasan kepedulian terhadap lingkungan, kini tidak harus membeli Tesla," kata Crane kepada DW.
Crane menambahkan, meskipun Musk mungkin berpikir Tesla bisa menargetkan pendukung Trump di sayap kanan, "Kelompok MAGA justru cenderung paling skeptis terhadap EV."
Akhir dari julukan "Teflon Elon"?
Persaingan ketat antar produsen kendaraan listrik ini telah memicu penurunan besar pada saham Tesla. Dalam tiga bulan terakhir, saham Tesla milik Musk itu turun hampir setengahnya.
Jumlah kekayaan bersih Musk juga ikut turun sebesar $144 miliar (sekitar Rp2,36 triliun) dalam periode yang sama di tengah skeptisisme yang meningkat terhadap tekad Tesla untuk menghadirkan mobil otonom berbasis kecerdasan buatan.
Valuasi perusahaan sempat mencapai puncaknya di lebih dari $1,5 triliun (sekitar Rp24,5 kuadriliun) setelah pemilu presiden AS tahun lalu, tetapi pada Senin (10/3) awal pekan ini, saham Tesla anjlok 15% akibat aksi jual di pasar yang dipicu oleh kekhawatiran resesi di AS.
Musk memberikan dukungan dana sebesar $250 juta (sekitar Rp4,1 triliun) saat kampanye Trump dan sejak saat itu, Musk menjadi penasihat utama Trump dalam pemangkasan pengeluaran pemerintah melalui Departemen Efisiensi Pemerintahan DOGE.
Keterlibatan Musk itu memicu laporan harian tentang pemotongan anggaran sektor publik, yang disambut baik oleh banyak pemilih AS, tetapi dikritik oleh aktivis, akademisi, dan legislator karena kurangnya pengawasan yang memadai.
Kontroversi atas peran Musk di DOGE
Baru-baru ini, protes bertajuk "Tesla Takedown" atau "Turunkan Tesla" itu bermunculan di berbagai dealer Tesla di seluruh AS. Protes itu untuk menentang peran Musk di DOGE, yang sejauh ini telah membatalkan kontrak senilai $60 miliar (sekitar 945 triliun) yang mendanai program kemanusiaan di seluruh dunia.
Warga AS sedang menyaksikan "pemusatan kekuasaan yang luar biasa pada seseorang yang tidak memiliki izin keamanan tingkat tinggi dan tidak menjalani proses konfirmasi Senat," kata Don Moynihan, profesor di Ford School of Public Policy, Universitas Michigan, kepada Reuters bulan lalu.
Moynihan menilai, akses Musk terhadap data pemerintah yang sensitif tanpa pengawasan yang memadai itu sebagai sesuatu yang "mengkhawatirkan" dan "belum pernah terjadi sebelumnya."
Sementara itu, bisnis Musk lainnya masih berkembang. Ada SpaceX, perusahaan luar angkasa swasta pertama milik Musk. Selain itu, ada Neuralink, yang mengembangkan antarmuka yang ditanamkan pada otak. Lalu, ada xAI yang menciptakan chatbot AI Grok, serta platform media sosial X. Perusahaan infrastruktur dan konstruksi terowongan The Boring Company juga dimiliki oleh Musk. Ia juga memiliki ambisi untuk menjajah Mars.
Tidak seperti Tesla, perusahaan-perusahaan itu tidak terdaftar di bursa saham tetapi masih bisa diperdagangkan oleh investor di pasar sekunder. Bloomberg melaporkan pada Rabu (12/03), meskipun valuasi Tesla merosot, nilai gabungan dari empat perusahaan swasta milik Musk itu justru naik 45% sejak pemilu, menurut analisis dari platform perdagangan Caplight. Harga saham xAI bahkan meningkat 110% sejak 5 November 2024.
Akankah Musk mundur dari Tesla?
Bulan lalu, Brad Lander, pengawas keuangan Kota New York, yang mengelola dana pensiun karyawan dengan kepemilikan saham Tesla senilai $1,25 miliar (sekitar Rp20,5 triliun), mengatakan Musk harus mundur sebagai CEO Tesla tetapi tetap berada di dewan direksi. Menurutnya, langkah ini akan mengembalikan Tesla ke "model dasar tata kelola pemegang saham di AS."
Meskipun Musk secara terbuka mengatakan bahwa keterlibatannya dengan DOGE kemungkinan akan berlangsung selama satu tahun lagi, salah satu investor paling optimis, Dan Ives, kini berpikir Musk harus meninggalkan komitmennya dalam pemerintahan Trump.
"Waktu untuk Musk dan DOGE sudah berakhir … dia perlu kembali fokus sebagai CEO Tesla," kata Ives kepada DW. "Keseimbangan adalah kunci, dan itu yang harus dilakukan Musk untuk menghentikan anjloknya saham Tesla."
Sebuah jajak pendapat oleh bank investasi AS Morgan Stanley menunjukkan bahwa 85% investor meyakini langkah Musk ke dunia politik itu akan berdampak "negatif" atau "sangat negatif" terhadap bisnis Tesla.
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu