Jakarta -
Di tengah kehidupan modern yang penuh dengan distraksi digital dan interaksi tanpa henti, komunikasi sering dipahami sebagai sesuatu yang terjadi antara individu. Kita berbicara, mendengar, membaca, dan merespons secara terus-menerus dalam ekosistem informasi yang tak pernah berhenti. Namun, ada satu bentuk komunikasi yang kerap terabaikan, padahal sangat mendasar, yaitu komunikasi intrapersonal: berdialog dengan diri sendiri.
Dalam kajian ilmu komunikasi, komunikasi intrapersonal didefinisikan sebagai proses berpikir, merenung, dan memahami diri sendiri. Joseph A. DeVito dalam The Interpersonal Communication Book menyebutkan bahwa komunikasi intrapersonal merupakan fondasi bagi semua bentuk komunikasi lainnya, karena ia membentuk kesadaran diri dan menentukan bagaimana seseorang merespons dunia luar.
Puasa, khususnya dalam konteks spiritual seperti bulan Ramadan, menjadi salah satu cara yang unik untuk memperdalam komunikasi intrapersonal ini terkhususnya bagi umat muslim. Ketika seseorang berpuasa, ia tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari berbagai hawa nafsu atau dorongan yang mengendalikan dirinya. Ini selaras dengan konsep self regulation dalam psikologi komunikasi, di mana seseorang secara sadar mengendalikan pikiran, emosi dan perilakunya untuk mencapai tujuan tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Momentum Menyelami Pikiran
Dalam kondisi puasa, tubuh mengalami keterbatasan fisik yang secara paradoks justru membuka ruang refleksi mental. Leon Festinger dalam teori cognitive dissonance mengemukakan ketika ada ketidaksesuaian antara kebiasaan (misalnya, ingin makan ketika lapar) dan aturan yang harus diikuti (misalnya, larangan makan saat kondisi sedang berpuasa), otak manusia akan berusaha menyesuaikan dengan menciptakan makna baru terhadap pengalaman tersebut.
Maka, puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga menjadi momentum untuk menyelami pikiran, mengendalikan emosi, dan menyusun ulang prioritas hidup.
Dalam komunikasi intrapersonal, ada konsep yang disebut metacognition atau kesadaran metakognitif, yakni kemampuan untuk berpikir tentang pikiran sendiri. Ketika berpuasa, seseorang lebih mudah menyadari bagaimana pikirannya bekerja—apakah ia cenderung dikuasai oleh hawa nafsu, emosi sesaat, atau justru memiliki kendali atas dirinya sendiri. Kondisi ini berkaitan erat dengan teori self-awareness dari Duval dan Wicklund, yang menyatakan bahwa ketika seseorang dalam keadaan sadar diri yang tinggi, ia lebih cenderung mengevaluasi tindakan dan keyakinannya sendiri.
Puasa, dengan segala keterbatasannya, memaksa individu untuk menginternalisasi perasaan dan pikirannya, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang siapa dirinya.
Jeda yang Disengaja
Pada era media sosial, kita hidup dalam arus komunikasi yang tidak pernah berhenti. Pesan, notifikasi, dan berita silih berganti memenuhi pikiran kita, sering tanpa memberikan ruang untuk beristirahat.
Dalam konteks ini, puasa bisa dipandang sebagai bentuk digital detox, sebuah jeda yang disengaja dari kebisingan informasi eksternal agar seseorang dapat lebih mendengarkan dirinya sendiri. Konsep ini sejalan dengan argumen Neil Postman dalam teori media ecology bahwa lingkungan komunikasi yang kita tempati sangat mempengaruhi cara kita berpikir dan berinteraksi.
Ketika seseorang terus-menerus terpapar informasi dari luar, ia cenderung kehilangan kesempatan untuk memahami pikirannya sendiri. Oleh karena itu, puasa bisa menjadi momentum bagi seseorang untuk beristirahat dari gangguan eksternal dan membangun kembali koneksi dengan dirinya sendiri.
Memahami Diri Sendiri
Puasa bukan sekadar ritual keagamaan atau tentang tantangan fisik, tetapi juga proses komunikasi yang mendalam dengan diri sendiri. Melalui puasa, seseorang belajar mengendalikan keinginan, memahami pola pikirnya, serta menata ulang kehidupan dengan lebih sadar dan terarah.
Meskipun puasa bukan satu-satunya cara untuk membangun komunikasi interpersonal yang efektif, puasa menawarkan ruang refleksi yang unik. Berbagai aktivitas lain, seperti olahraga, seni, dan meditasi, juga dapat menjadi sarana introspeksi. Namun, dalam konteks dunia digital yang semakin bising dan penuh distraksi, puasa menghadirkan momentum untuk kembali terkoneksi dengan diri sendiri—suatu hal yang kerap terabaikan pada era sekarang.
Pada akhirnya, puasa menjadi refleksi bahwa komunikasi yang baik bukan hanya tentang penyampaian pesan, tetapi juga tentang memahami diri sendiri agar dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan penuh dengan interaksi yang serba instan, Ramadan menawarkan momentum berharga untuk kembali kepada diri sendiri—menata pikiran, menyelaraskan emosi, dan pada akhirnya, memperbaiki cara kita berkomunikasi dengan dunia.
Aditya Angga mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu