Jakarta - Salah satu hal yang menarik yang ditawarkan oleh Gereja Katolik pada Natal tahun ini adalah ajakan untuk melihat tempat kelahiran Yesus di Betlehem. Hal ini diperlambangkan dalam sebuah patung bayi Yesus yang terbuat dari kayu Zaitun yang dipajang di aula Paulus VI di Vatican. Patung itu terbaring di atas buaian selimut Keffiyeh, kain motif kotak-kotak warna hitam putih yang identik dengan perjuangan masyarakat Palestina.
Adegan ini diberi judul "Nativity of Bethlehem 2024" yang merupakan karya dua orang seniman Palestina asal Bethlehem, Johny Andonia dan Faten Nastas Mitwasi. Adegan ini seakan melengkapi hal yang senada yang dilakukan di Palestina tahun lalu saat warga Kristen Palestina membuat ornament Yesus yang lahir di atas reruntuhan di Gaza. Tidak ada domba, sinterklas, apalagi pohon natal di sana. Mereka mengatakan bahwa jika Yesus lahir kembali hari ini, dia akan dilahirkan di bawah reruntuhan di Gaza.
Tuhan bersolidaritas dengan mereka yang menderita. Jadi ide Palungan ini muncul terutama ketika dunia terus membenarkan pembunuhan dan dehumanisasi terhadap anak-anak. Sementara Paus mengatakan bahwa, "Pemandangan adegan kelahiran Yesus ini mengingatkan kita pada orang-orang, di tanah tempat Anak Allah dilahirkan, yang terus mengalami penderitaan akibat tragedi perang." (detikcom 9/12).
Satu pesan penting yang tersirat dari apa yang ditampilkan baik di Bethlehem maupun di Vatikan adalah kesediaan untuk melihat realitas kehancuran sebagai bagian dari Natal. Natal tidak selalu tampil di dalam gemerlap romantis, dan pesta pora kebahagiaan orang-orang yang berbagi makanan, memakai topi santa dan mendirikan pohon natal. Natal juga perlu dipandang dari kesediaan untuk melihat hidup kita yang dibangun di atas reruntuhan. Orang-orang harus berani melihat sisi-sisi runtuh, hancur dan gelap dari hidupnya agar bisa benar-benar mengalami Natal.
Hakikat Natal
Natal hari ini memang tampak romantis terutama karena kehadiran pernak-pernik Natal yang membawa suasana bahagia bagi semua orang. Namun, kalau mau ditelusuri dalam sejarah, perubahan pemaknaan Natal sebagai pesta dan suasana romantis belumlah lama. Kisah Santo Nicolaus yang kemudian menjadi ikon Natal dalam diri Santa Klaus. Dalam sejarahnya sendiri, Santo Nikolaus adalah santo pada abad ke-3, seorang pribadi yang suka berbagi.
Dia sempat menyelamatkan dua orang gadis yang akan dijual oleh keluarganya untuk menjadi pelacur dengan memberikan uang dan membantu mereka menemukan jodoh. Peringatannya dirayakan tiap 6 Desember sehingga hari itu di beberapa abad menjadi hari yang dianggap istimewa untuk menikah. Kisah santo ini begitu populer bahkan setelah terjadinya Reformasi Kristen yang memang memilih untuk tidak memberikan penghormatan berlebih kepada Santo maupun Santa seperti halnya yang masih dilakukan di dalam tradisi Gereja Katolik.
Popularitas Santo Nikolaus berkembang terutama di Belanda. Sinter Klaas sendiri adalah bentuk pendek dari Sint Nikolaas (bahasa Belanda untuk Santo Nicholas). Di Amerika, kepopuleran nama ini dibawa oleh kelompok keluarga Belanda yang memperingati kematiannya pada 1773 dan 1774. Baru pada 1804, seorang anggota Masyarakat Sejarah New York membagikan cetakan kayu dari Santo Nikolaus. Mulai saat itu Sinter Klaas makin terkenal, apalagi ketika didukung oleh keberadaan mall yang kemudian dengan berbagai cara mencari keuntungan dengan menggunakan kepopuleran Sinter Klaas dan tradisi berbagi hadiah.
Namun, kalau ditanya tentang hubungan Sinter Klaas dan Natal, orang harus berpikir dua-tiga kali karena memang tidak ada hubungan langsung antara Natal dengan kelahiran Yesus di Betlehem. Kemeriahan Natal dengan tradisi Sinter Klaas dan hadiah Natal sebenarnya sudah menjauhkan banyak orang dari tradisi Natal yang sesungguhnya. Hal ini menjadi rasional mengingat pada abad ke-16 hingga saat ini gelombang sekularisme yang ingin memisahkan agama dan urusan masyarakat semakin deras. Orang tidak ingin kehilangan perayaan Natal di satu sisi, tetapi di sisi lain tidak lagi peduli akan kisah Yesus dan tradisi kekristenan.
Maka, muncullah tradisi Natal keluarga yang sangat didukung oleh tradisi Sinter Klaas, seorang yang mengirimkan hadiah natal di dalam kaus kaki yang digantung di pohon natal. Sebenarnya bukan Sinter Klaas yang memberikan hadiah, melainkan orang tua yang memang ingin memberikan hadiah khusus bagi anak-anaknya di hari Natal. Natal bergeser dari tradisi keagamaan menjadi budaya keluarga yang romantis.
Tentu kita yang hidup pada zaman ini adalah bagian dari sejarah Natal populer yang mewarnai perayaan Natal dengan tradisi modern. Tidak jarang bahkan tokoh utama Natal tidak lagi pada diri Yesus tetapi pada Sinter Klaas. Kelahiran Yesus yang terutama untuk menunjukkan teladan tentang bagaimana berjuang demi dunia yang lebih baik, berubah menjadi pesta kebahagiaan. Perayaan ini kemudian dimaknai pertama-tama tentang saling berbagi kado secara simbolik, padahal Yesus memberikan teladan bahwa hidupnya adalah kado secara nyata bagi dunia yang lebih baik.
Saat orang suka menyingkirkan mereka yang miskin, dan dianggap sebagai sampah masyarakat, Yesus mendekati dan merangkul mereka. Ketika orang-orang saat itu suka sekali dilayani dan dihormati, Yesus mengatakan dan menunjukkan bahwa dirinya hadir bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Ketika banyak orang suka mengorbankan orang lain untuk kepentingan dan kenyamanan dirinya sendiri, Yesus menjadi orang yang mengorbankan diri bagi orang-orang yang dikasihinya. Yesus menunjukkan bahwa Dia membangun di atas puing-puing kehancuran peradaban waktu itu. Hal yang sama masih disampaikan kepada kita hari ini.
Membangun di Atas Puing
Salah satu pesan penting yang dinyatakan dalam Natal kali ini, seperti disampaikan di muka, adalah kehendak untuk membangun di atas puing-puing peradaban. Seperti halnya Yesus yang hadir di dunia bukan untuk sekadar menikmati apa yang diberikan oleh dunia tetapi berjuang untuk melayani dunia, Natal adalah panggilan bagi kita untuk memperjuangkan kehidupan.
Ada di antara kita yang hidup di dalam puing-puing keluarga yang tidak sempurna. Ada di antara kita yang hidup di antara puing-puing mimpi dan cita-cita yang tak kesampaian seluruhnya. Yang lain hidup di atas puing-puing ketidakstabilan ekonomi akibat berbagai masalah yang menerpa. Tak jarang juga ada yang sedang membangun di atas bangunan iman yang tidak kuat yang membuatnya jatuh ke dalam dari kesalahan yang satu menuju kesalahan yang lain.
Maka, saat ini adalah saat untuk kembali merayakan Natal, kelahiran baru di dalam diri setiap pribadi. Natal tidak sekedar romantis dan melankolis, tetapi natal juga tentang keberanian dan kegagahan menghadapi kehidupan. Orang tidak boleh hanya sekedar mendapatkan suasana hati yang tenang dan mendayu-dayu di hari natal. Natal perlulah membawa kita kepada semangat baru untuk memperjuangkan kehidupan. Singkatnya, Natal adalah hari lahirnya jiwa pejuang.
Di setiap keluarga, pekerjaan, masyarakat, Gereja dan berbagai tempat lain diperlukanlah seorang pahlawan. Yesus bukan pahlawan untuk semua hal. Dia adalah pribadi yang menginspirasi banyak orang untuk menjadi pahlawan, termasuk di dalam diri Anda dan di dalam diri saya. Maka, tidak layaklah kita hanya memandang Yesus sebagai penyelamat yang hadir dan menyelesaikan segala perkara.
Kita perlu melihat Yesus sebagai teladan yang menginspirasi kita untuk bersedia menjadi pahlawan bagi permasalahan kita masing-masing. Dengan cara ini, kita bisa memaknai Natal sebagai pemberian diri bagi dunia yang lebih baik. Semoga Natal tahun ini menjadi Natal yang melahirkan para pahlawan dan pejuang kehidupan, bukan sekadar menjadi tempat bagi mereka yang terus menerus mengharapkan hadiah dan pemberian.
Martinus Joko Lelono pastor Katolik dan pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (mmu/mmu)