Jakarta -
Masalah jembatan timbang di Indonesia terus menjadi sorotan. Ketua Majelis Profesi dan Etik Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono, menilai bahwa persoalan ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak era Orde Baru, dan hingga kini masih menjadi masalah krusial yang belum terselesaikan.
"Sejak zaman Orde Baru sampai pemerintahan sekarang, jembatan timbang terus menjadi persoalan," ujar Agus, di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Agus menjelaskan ada tiga faktor utama yang menyebabkan jembatan timbang di Indonesia tidak memiliki wibawa. Pertama, penempatan lokasi jembatan timbang yang tidak tepat. Menurutnya, jembatan timbang yang ada saat ini tidak mempertimbangkan pemetaan yang memadai, seperti roadmap perdagangan, logistik, dan angkutan barang. Lokasi jembatan timbang, katanya, harusnya ditempatkan berdasarkan jalur distribusi barang yang jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lokasi jembatan timbang saat ini tidak mempertimbangkan pemetaan yang baik, seperti dari mana asal barang itu dan ke mana tujuannya. Ini yang menyebabkan penempatan jembatan timbang jadi tidak efektif," kata Agus.
Masalah lainnya, menurut Agus, adalah jembatan timbang yang ada kini sering berada di jalan dengan kelas yang berbeda-beda, yang membuat pengawasan kendaraan berat menjadi kurang optimal. "Satu ruas jalan panjang dengan kelas berbeda-beda ini sangat berbahaya, karena kendaraan yang melanggar aturan bisa lolos begitu saja," tegasnya.
Persoalan kedua yang dinilai menghambat efektivitas jembatan timbang adalah masalah pungutan liar (pungli). Agus menegaskan, selama praktik pungli tidak bisa diatasi, maka keberadaan jembatan timbang tidak akan berfungsi dengan baik.
"Jika pungli tidak diselesaikan, maka jembatan timbang tidak akan efektif. Itu sudah pasti," ujarnya.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menambahkan bahwa infrastruktur jembatan timbang di Indonesia masih sangat terbatas dan teknologinya belum mengalami pembaruan. "Selain infrastruktur yang kurang memadai, pengawasan yang minim juga menyebabkan banyaknya praktik korupsi dan tidak ada penindakan yang jelas," kata Trubus.
Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik lainnya, sependapat dengan pendapat tersebut. Menurutnya, masalah jembatan timbang di Indonesia tidak lepas dari persoalan korupsi dan pungli yang merajalela. "Selama korupsi dan pungli masih ada, kebijakan apapun untuk memperbaiki jembatan timbang tidak akan berhasil," ujar Agus.
Bambang Haryo Soekartono, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, sebelumnya juga menyuarakan pentingnya pembenahan jembatan timbang. Menurut Bambang, masalah terbesar adalah kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang mengelola jembatan timbang dan peralatan yang sudah banyak yang rusak.
"Dari 141 jembatan timbang yang ada di seluruh Indonesia, hanya 25 yang beroperasi, itupun tidak 24 jam. Jadi, bagaimana kita bisa serius menerapkan Zero Odol (Over Dimension Over Load) jika operasionalnya saja terbatas?" tandas Bambang.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2020 juga mengungkapkan sejumlah masalah terkait jembatan timbang. Di antaranya adalah desain geometrik akses jembatan dan kapasitas alat timbang yang terbatas.
Selain itu, banyak jembatan timbang yang tidak memiliki area penampungan yang memadai untuk menampung barang-barang hasil pemeriksaan dari truk-truk dengan muatan berlebih (overloading). Ini bisa menjadi masalah besar, terutama jika barang yang diturunkan adalah barang mudah rusak atau memiliki umur simpan terbatas.
"Jika barang tersebut mudah busuk, misalnya sayuran atau makanan, tidak ada tempat penyimpanan yang memadai, sehingga bisa merugikan pemilik barang. Jika barang tersebut berumur panjang, masalah kapasitas gudang tetap menjadi kendala," jelas Trubus.
Belum lagi, fenomena pungli di area jembatan timbang yang merugikan sopir truk dan pelaku logistik lainnya.
Dengan berbagai masalah tersebut, sektor transportasi dan logistik Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam membenahi sistem jembatan timbang. Jika tidak segera diatasi, masalah ini akan terus menghambat pergerakan barang dan logistik, yang pada gilirannya berdampak pada efisiensi ekonomi nasional.
Penyelesaian atas persoalan-persoalan struktural, korupsi, dan infrastruktur yang memadai menjadi kunci utama agar jembatan timbang di Indonesia dapat berfungsi dengan optimal dan mendukung kelancaran logistik di seluruh negeri.
(rrd/rir)