Jakarta - Kebijakan perihal jabatan akademik dosen senantiasa mendapat perhatian masyarakat khususnya para dosen atau guru besar (GB). Jumlah dosen di Indonesia yang tercatat sebanyak 344.4 ribu orang (https://pddikti.kemdikbud.go.id/statistik). Para dosen itu akan terus berproses mengembangkan karier hingga mencapai jabatan akademik tertinggi guru besar, melalui proses penilaian kinerja dari angka kredit yang telah dikumpulkan sepanjang kariernya.
Namun demikian menghasilkan dosen atau GB yang berkualitas adalah tugas berat; pemerintah dapat berperan yang signifikan. Ada beberapa variabel penting yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, jumlah perguruan tinggi (PT) mencapai 6516, dengan kualitas yang beragam, mulai level kecamatan hingga klas dunia. Manajemen PT (dan mutunya) juga bervariasi; gaji dosennya ada yang di bawah UMR hingga menyamai corporate. Setiap PT beragam cara mengelola karier dosennya, meski sudah ada Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) 2019 yang mengatur dan mengelolanya. Hal ini membuat energi pemerintah harus ekstra sepanjang waktu untuk melakukan asah asih dan asuh dalam rangka melindungi profesi dosen.
Kedua, prosedur pengusulan jabatan akademik tersentralisasi khususnya usulan ke Lektor Kepala (LK) dan GB. Proses kenaikan jabatan akademik, secara administratif sudah menggunakan aplikasi Sister, yang sangat membantu sebagian masalah usulan dosen. Namun masalah lainnya adalah penilaian reviewer terhadap usulan masih membuka peluang subjektivitas sehingga berbeda dari standar penilaian. Titik kritikalnya adalah pada penilaian syarat khusus yakni satu jurnal internasional bereputasi untuk usulan GB dan satu jurnal terakreditasi (peringkat 1 atau 2) untuk usulan LK.
Untuk penilaian usulan GB, sering menimbulkan beda penafsiran. Bagi pengusul GB, mengusulkan satu jurnal internasional bereputasi sudah dianggap cukup dan sesuai aturan. Namun, bagi reviewer mungkin itu belum cukup, jurnal tersebut harus benar-benar berkualitas sesuai dengan kompetensi, rumpun ilmu, dan rekam jejak publikasi sebelumnya. Artinya, pengusul harus dapat menunjukkan jurnal internasional bereputasi lainnya untuk mendukung syarat khusus, atau sebagai cadangan bila syarat khusus dinilai tidak memenuhi syarat. Prinsipnya, calon GB hendaknya benar-benar berkualitas dengan konsistensi publikasi sepanjang kariernya, yang dibuktikan dengan jumlah sitasi dan H-indeks. Bukan calon GB yang tiba-tiba rajin publikasi menjelang saat pengusulan.
Ketiga, kualitas pengusul jabatan akademik secara umum belum sesuai harapan. Data hasil penilaian angka kredit Agustus 2024 (seluruh Indonesia), dari total 2244 usulan ke LK hanya 602 usulan direkomendasikan (lolos), sementara 1642 usulan tidak lolos. Sementara untuk 1623 usulan ke profesor hanya 180 orang direkomendasikan, atau 1443 usulan tidak lolos. Artinya, hanya 27 persen usulan ke LK dan 12 persen usulan GB yang direkomendasikan. Kecilnya angka tersebut menunjukkan bahwa dosen pengusul belum siap dan cermat memenuhi standar PAK, atau mereka memang tidak memenuhi syarat naik jabatan akademik.
Pertanyaannya, bagaimanakah kebijakan baru menghadapi masalah tersebut? Kita semua khususnya insan akademik sedang menunggu arahan dan sinyal yang mencerahkan terkait penilaian jabatan akademik dosen.
Aturan perihal kenaikan jabatan akademik masih berdasarkan PO PAK 2019. Aturan ini hidup dan menjadi nilai yang mendasari budaya akademik kehidupan PT dalam pembinaan karier dosen. Yang terbaru adalah Permendikbud Ristek 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen (tertanggal 10 September 2024), yang merinci tentang hak dan kewajiban dosen dan PT untuk memenuhi persyaratan dan kebutuhan kehidupan karier profesional dosen.
Membutuhkan Penyesuaian
Permendikbud Ristek 44 Tahun 2024 ditetapkan Menteri Nadiem Makarim, yang tentu membutuhkan penyesuaian dengan visi-misi kabinet yang baru. Menteri Satrio diyakini memiliki pandangan dan pikiran yang baru bagaimana seorang dosen mengembangkan kompetensi hingga jabatan akademik profesor. Menteri Satrio tampaknya perlu memberi argumentasi yang lebih kuat perihal Permendikbud Ristek 44 Tahun 2024, dan menyusun petunjuk teknis pelaksanaannya agar dapat dilaksanakan dengan baik oleh PT, dan tentu tidak terbatas hanya itu saja. Berikut ini beberapa celah kritikal untuk menghasilkan jabatan akademik dosen yang bermutu.
Pertama, penegasan kedudukan seorang profesor. Permendikbud 44 tahun 2024 (Pasal 3 ayat 5) menyatakan seorang profesor memiliki kepakaran, otoritas, dan wibawa ilmiah; memimpin pengembangan keilmuan; dan membina Asisten Ahli, Lektor, dan/atau Lektor Kepala. Posisi ini menempatkan profesor sangat kompeten dalam pengembangan keilmuan. Hal ini bukan hal mudah untuk dicapai, kecuali oleh dosen dengan kinerja yang konsisten dan berkelanjutan menekuni kompetensi keilmuan sepanjang kariernya.
Profesor juga harus 'dekat' dengan prodi atau laboratorium dimana ia memberi manfaat dan dampak keilmuan dan profesional bagi institusi. Hal ini menjadi ironi ketika berkaitan dengan posisi profesor kehormatan, dimana umumnya posisinya tidak dekat dengan PT. Profesor kehormatan biasanya berasal dari institusi lain, yang biasanya memiliki jarak fisik atau psikologis dengan PT.
Kedua, Permendikbud 44 tahun 2024 memberi otonomi PT untuk mengangkat (menggunakan istilah promosi dan demosi) jabatan akademik dosen hingga profesor, dengan persyaratan tertentu; dan ditetapkan oleh Kementerian. Secara konsepsional hal ini sangat positif, namun bisa menimbulkan implikasi negatif bagi PT, seperti birokrasi kampus dalam penilian jabatan akademik dosen, subjektivitas dan variasi penilaian usulan antar PT, serta ada kesan jeruk makan jeruk karena menilai teman sejawat sendiri (non blind review), dan lemahnya kontrol kualitas penilaian.
Bukan hal yang rahasia menilai teman sendiri akan sangat subjektif, cenderung permisif, dan membuka peluang pelanggaran etika akademik. Fungsi promosi dan demosi tetaplah di dalam kerangka manajemen SDM kampus, bukan ranah akademik. Sebenarnya, tim PAK PT yang ada selama ini sudah berfungsi dengan baik, terlebih diperkuat oleh tim pakta integritas untuk menilai syarat khusus publikasi artikel. Tugas penilai usulan jabatan akademik di tingkat nasional (blind review) juga berfungsi dengan baik, lebih objektif, dan lebih mudah pengendaliannya oleh kementerian.
Ketiga, Permendikbud 44 tahun 2024 memberi kesan adanya pembatasan (kuota) kenaikan jabatan khususnya ke profesor. Pasal 57 ayat 4 menyatakan "Apabila jumlah dosen dengan jabatan akademik Profesor pada Perguruan Tinggi lebih tinggi dari jumlah yang ditetapkan oleh Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka pembayaran tunjangan kehormatan di atas jumlah yang diberikan oleh Kementerian merupakan tanggung jawab Perguruan Tinggi." Ayat ini sangat tidak nyaman bagi PT dan dosen. Profesor terkesan terdiskriminasi dalam hal tunjangan. Sebanyak 6516 PT pasti memiliki keragaman manajemen dan kemampuan keuangan. Jangan sampai terjadi, PT menggunakan alasan keuangan untuk membatasi atau menghambat seseorang menjadi profesor.
Keempat, menteri baru hendaknya lebih memfokuskan kepada upaya peningkatan mutu dosen bukan kepada birokratisasi. Negara atau pemerintah sebaiknya hadir untuk motivasi dosen meningkatkan kualitas dan jabatan akademiknya. PT yang besar dan bermutu telah memiliki budaya akademik yang baik dan mendekati klas dunia, tinggal di-support saja. Kebijakan afirmasi sangat diperlukan untuk PT (termasuk PTS) di daerah yang memiliki sumberdaya terbatas, dapat berupa beasiswa studi S3 luar negeri, beasiswa post doctoral, insentif magang, insentif riset dan pengabdian masyarakat, insentif publikasi, hingga bantuan operasional kesejahteraan dosen.
Permendikbud 44 tahun 2024 juga sudah mengidentifikasi dosen-dosen dengan gaji di bawah UMR (upah minimum regional), dan menyandarkan hanya kepada aturan ketenagakerjaan tanpa tuntas solusinya. Dengan kabar terbaru, upaya Menteri Satrio untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya gaji dosen ASN maupun non ASN (termasuk di PTS), pasti akan menggembirakan semua dosen. Para dosen itu perlu diberi semangat untuk mengembangkan profesinya.
Iwan Nugroho Guru Besar, Ketua Tim PAK Universitas Widyagama Malang
(mmu/mmu)