Mengelola Krisis Kepercayaan terhadap Pertamina

8 hours ago 3

Jakarta -

Kasus isu Pertamax oplosan mencuat dan mengalir begitu derasnya ke publik, seakan Pertamina secara keseluruhan telah melakukan penipuan kepada khalayak konsumennya dengan mengganti Ron 92 Pertamax dengan Pertalite yang memiliki Ron 90. Namun publik juga tidak salah, karena informasi tersebut bukan muncul dari investigasi media atau NGO, melainkan muncul dari konstruksi kasus penegakan hukum di Kejaksaan Agung atas tersangka Riva Siahaan, dkk.

Mereka yang menjadi tersangka tidak lain orang nomor satu yang paling bertanggung jawab di industri hilir migas, khususnya Pertamina Patra Niaga dan Pertamina Kilang Internasional dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 193 triliun, atau bahkan disebut berpotensi mencapai Rp 965 Triliun dalam periode 2018-2023.

Bagi publik asumsi kerugian negara sangat mudah diestimasi; bila dalam satu tahun kerugian mencapai Rp 193 Triliun maka nilainya setara harga 14,8 juta kilo liter Pertamax dengan asumsi harga Rp 13.000. Kalau yang diperhitungkan hanya selisih harga jual Pertalite dan Pertamax, maka angkanya menjadi 64,3 juta kilo liter Pertamax. Jika rata-rata konsumsi Pertamax per hari di kisaran 21,7 juta liter, maka kerugian dalam satu tahun saja setara dengan 8,1 tahun konsumsi Pertamax keseluruhan.

Apa yang bisa dilihat dari hitung-hitungan awam ini? Jawabannya, wajar kalau masyarakat awam frustrasi. Meskipun beberapa sumber mengatakan angka 193 triliun tersebut muncul dalam konstruksi kasus berupa kerugian berlapis yang mencakup Rp 35 triliun dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, Rp 2,7 triliun dari impor minyak mentah dalam negeri, Rp 9 triliun dari impor BBM, Rp 126 triliun dari pemberian kompensasi (selisih beban korporasi yang ditanggung negara sebagai konsekuensi penetapan harga), dan Rp 21 triliun dari nilai pemberian subsidi; total kerugian pada 2023 saja mencapai Rp 193,7 Triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kasus ini begitu fantastis, masuk rekor korupsi terbesar sepanjang sejarah (Rp 965 triliun), melampaui kerugian dari PT Timah yang heboh sebelumnya hingga Rp 271 triliun.

Konstruksi Kasus

Uniknya, dalam kasus Pertamax, Pertamina tidak menerima subsidi apapun dari harga Pertamax, lalu dari mana kerugian negara muncul? Sedangkan untuk kompensasi, Pertamina hanya menerima Rp 43 triliun pada 2023, terkait dengan selisih harga pasar pasca subsidi dan juga penerapan BBM satu harga, lalu dari mana nilai kompensasi Rp 126 Triliun muncul?

Beda halnya dengan kerugian ekspor-impor minyak mentah, yang sangat mungkin nilai tersebut didapatkan, mengingat impor 2023 tercatat mencapai 4,67 juta kilo liter untuk Ron 92, atau jika dihitung dengan harga kasar eceran sebesar Rp 13.000/liter maka nilainya mencapai Rp 60,7 triliun. Mengingat Pertamax bukan komoditas subsidi maka artinya harga jual masih memberikan marjin kepada Pertamina.

Manajemen Krisis

Lalu, bagaimana Pertamina seharusnya menjelaskan masalah ini ke masyarakat? Apakah cukup dengan menguji kualitas bensin di SPBU?

Pertama, Pertamina tak bisa membantah kasusnya, tanpa adanya proses hukum tetap, dalam posisi ini Pertamina juga tidak dalam posisi membela diri sehingga tidak mungkin mengajukan pra peradilan. Namun bukan tidak mungkin Pertamina meminta Kejaksaan Agung untuk melakukan konferensi pers bersama atau gelar perkara menjabarkan ke publik duduk perkara yang disangkakan kepada beberapa pejabat Pertamina tersebut.

Kedua, Pertamina bisa menjelaskan ke publik bagaimana proses produksi BBM, serta tata niaganya secara keseluruhan, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik sebagai institusi tunggal yang mengelola distribusi BBM nasional hingga 96%.

Ketiga, Pertamina perlu melakukan pembenahan manajemen, bukan mengecek kualitas BBM yang notabene tidak diketahui masyarakat parameternya. Fokus pada pembentukan tim independen untuk melakukan audit rantai suplai BBM yang dianggap kredibel di mata publik, misalkan melibatkan pakar perminyakan dan ekonom terkemuka.

Keempat, Pertamina bisa mengeluarkan asuransi/garansi bagi kerugian konsumen yang mengalami kerusakan mobil akibat dugaan BBM oplosan yang dibeli dari outlet SPBU Pertamina. Skemanya bisa penunjukan bengkel resmi mitra Pertamina untuk melakukan pengecekan dan reparasi yang biayanya ditanggung penuh Pertamina.

Dengan demikian diharapkan muncul trust pembenahan dari hulu ke hilir, sekaligus ada jaminan konsumen untuk tetap nyaman mengonsumsi BBM Pertamina, khususnya Pertamax. Pertamina tak bisa berjemawa; meski konsumen tak punya banyak pilihan karena eksistensi SPBU non Pertamina masih terbatas khususnya di luar kota-kota besar, tetapi kredibilitas bisnis perlu dibangun dan dibangkitkan kembali.

Hafidz Arfandi peneliti Sustainability Learning Center

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial