Mengantisipasi Volatilitas Arus Modal

4 weeks ago 19

Jakarta -

Dalam konferensi pers yang dilakukan pada 7 Desember lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa arah kebijakan Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump kemungkinan besar akan lebih akseleratif dibandingkan dengan masa jabatan sebelumnya, sehingga pemerintah Indonesia perlu lebih waspada terhadap dampak kebijakan ekonomi dan politik yang akan dilakukan oleh Presiden AS tersebut.

Di sisi yang lain, pasar keuangan AS cenderung merespons kebijakan Trump dengan kenaikan pasar saham yang diiringi dengan peningkatan defisit dan utang negara. Kenaikan ini sendiri akan menyebabkan imbal hasil obligasi yang tinggi yang pada akhirnya berdampak pada aliran modal keluar negara berkembang termasuk Indonesia.

Dalam konteks ekonomi global yang semakin terintegrasi, Indonesia menghadapi tantangan serius akibat fluktuasi nilai tukar yang dipicu oleh spekulasi jangka pendek. Nilai tukar rupiah yang tidak stabil dapat memberikan dampak luas pada perekonomian, mulai dari meningkatnya biaya impor, berkurangnya daya beli masyarakat, hingga terganggunya dunia usaha.

Indonesia telah beberapa kali mengalami dampak negatif dari volatilitas arus modal ini. Krisis finansial Asia 1997-1998 adalah contoh nyata bagaimana derasnya arus keluar modal secara tiba-tiba dapat menghancurkan stabilitas ekonomi. Pada saat itu, spekulasi besar-besaran terhadap mata uang rupiah menyebabkan depresiasi tajam yang memicu keruntuhan sektor keuangan dan perbankan.

Meskipun kondisi ekonomi saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan masa krisis tersebut, risiko serupa tetap ada dan dapat kembali terjadi jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat. Ada beberapa kebijakan yang dapat diambil pemerintah untuk mengantisipasi aliran modal keluar. Pertama, penerapan Tobin Tax.

Tobin Tax seringkali disebut sebagai solusi potensial untuk mengatasi volatilitas arus modal yang masuk dan keluar dari Indonesia dan menjadi langkah yang patut dipertimbangkan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Konsep Tobin Tax, yang diperkenalkan oleh ekonom James Tobin pada 1972, bertujuan untuk mengenakan pajak kecil pada setiap transaksi valuta asing.

Meskipun kecil, pajak diharapkan mampu menekan spekulasi jangka pendek yang seringkali hanya mencari keuntungan cepat tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap ekonomi negara tujuan. Spekulasi semacam ini, atau yang sering disebut "hot money", cenderung bersifat oportunistik dan mudah keluar saat kondisi ekonomi mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan. Konsekuensinya, aliran modal yang masuk dan keluar secara tiba-tiba dapat memicu gejolak pada nilai tukar rupiah dan merusak stabilitas makroekonomi.

Penerapan Tobin Tax di Indonesia dapat memberikan beberapa manfaat penting. Pertama, kebijakan ini dapat membantu menekan spekulasi jangka pendek yang menjadi sumber utama volatilitas nilai tukar. Dengan adanya hambatan berupa pajak pada transaksi valuta asing, spekulan akan berpikir dua kali sebelum melakukan transaksi besar-besaran hanya untuk mengejar keuntungan sesaat.

Kedua, Tobin Tax dapat meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah dengan mendorong arus modal yang lebih bersifat jangka panjang dan produktif. Investasi jangka panjang cenderung lebih stabil dan memberikan manfaat nyata bagi perekonomian, seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kapasitas produksi. Selain itu, Tobin Tax juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meskipun tarif pajak yang dikenakan relatif kecil, jika volume transaksi valuta asing cukup besar, hasil pajaknya dapat digunakan untuk mendanai program pembangunan atau kebijakan stabilisasi ekonomi. Pendapatan ini dapat membantu mengurangi defisit anggaran dan mendukung proyek-proyek infrastruktur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen stabilisasi, tetapi juga sebagai sumber pendanaan yang potensial.

Penguatan UMKM

Selain Tobin Tax, penerapan kebijakan yang bisa diambil pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ancaman volatilitas arus modal adalah penguatan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Pada 2023, sektor UMKM memberikan kontribusi 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau setara Rp 9.580 Triliun dan menyerap sekitar 117 juta pekerja atau 97% dari total tenaga kerja.

Salah satu strategi penguatan UMKM yang bisa diambil pemerintah adalah bagaimana memberikan kesetaraan pengenaan pajak bagi para pelaku UMKM, yang kecil membayar pajak kecil, yang besar membayar pajak yang lebih besar.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menyampaikan bahwa pemerintah berencana menurunkan ambang batas (threshold) omzet Pengusaha Kena Pajak UMKM di Indonesia yang akan dikenai PPh Final UMKM 0,5% dari sebelumnya Rp 4,8 Miliar setahun menjadi Rp 3,6 Miliar. Artinya pelaku UMKM yang mempunyai omzet melebihi Rp 3,6 Miliar setahun sudah harus menggunakan tarif PPh Normal, tidak bisa lagi menggunakan tarif PPh Final 0,5%.

Belum ada kepastian lebih lanjut apakah penurunan batas ini juga akan diterapkan di sisi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai syarat wajib pajak memungut, menyetor serta melaporkan Pajak Pertambahan Nilai.

Strategi penurunan ambang batas ini perlu dikaji ulang, karena tidak mencerminkan sebagai suatu usaha menguatkan sektor UMKM. Di satu sisi penerimaan pajak akan bertambah, karena penurunan ambang batas akan menaikkan basis pajak UMKM dan pelaku sektor UMKM akan lebih banyak yang membayar dengan tarif pajak normal (bukan tarif final 0,5%).

Namun di sisi yang lain hal ini bisa menurunkan kemampuan berusaha mereka karena akan banyak pelaku usaha UMKM yang diwajibkan membayar pajak dengan tarif normal meskipun omzet mereka masih relative kecil. Hal ini dapat mengurangi pendapatan bersih yang bisa mereka putar atau mereka investasikan untuk, misalnya pengembangan usaha.

Penambahan beban pajak ini dapat membuat UMKM sulit bersaing dengan usaha yang lebih besar atau usaha informal yang tidak membayar pajak. Ini dapat menghambat pertumbuhan sektor UMKM yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pemerintah seharusnya menyusun strategi bagaimana memberikan insentif kepada UMKM yang baru berkembang, tanpa harus memikirkan sampai sejauh mana omzet mereka di batasi untuk dikenakan tarif pajak normal, karena pada dasarnya rezim pengenaan PPh Final UMKM 0,5% adalah memberikan kemudahan bagi para pelaku sektor UMKM untuk melaksanakan kewajiban perpajakan mereka bukan untuk mengejar target penerimaan pajak dari sektor UMKM.

Batas ambang UMKM bisa diterapkan secara proporsional Contoh Omzet Tahunan di Bawah Rp 500 Juta Tidak dikenakan PPh Final (dibebaskan atau diberikan insentif), Omzet Tahunan Rp 500 Juta – Rp 2,5 Miliar dikenakan Tarif PPh Final 0,5% (mengikuti Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018) dan Omzet Tahunan Rp 2,5 Miliar – Rp 4,8 Miliar Tarif PPh Final Lebih Tinggi (misalnya 1%) atau mulai dikenakan tarif PPh normal dengan mekanisme pembukuan yang lebih sederhana.

Tepat dan Proaktif

Dalam menghadapi volatilitas arus modal global yang berpotensi merusak stabilitas ekonomi nasional, Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat dan proaktif. Penerapan Tobin Tax dapat menjadi langkah penting untuk menekan spekulasi jangka pendek yang memicu gejolak nilai tukar rupiah dan menjaga stabilitas makroekonomi di tengah ancaman volatilitas arus modal.

Di sisi lain, menjaga keseimbangan kebijakan perpajakan untuk sektor UMKM adalah kunci agar perekonomian Indonesia tetap kuat. Mengingat UMKM berkontribusi signifikan terhadap PDB dan menyerap sebagian besar tenaga kerja, kebijakan pajak yang proporsional dan berpihak kepada pelaku usaha kecil harus menjadi prioritas. Menurunkan ambang batas PPh Final tanpa mempertimbangkan dampaknya dapat melemahkan daya saing UMKM dan menghambat pertumbuhan mereka.

Oleh karena itu, strategi kebijakan harus mencerminkan semangat untuk menjaga stabilitas ekonomi sambil mendukung pertumbuhan UMKM. Pemberian insentif, penerapan ambang batas pajak yang proporsional, dan kebijakan stabilisasi seperti Tobin Tax perlu dikombinasikan untuk melindungi perekonomian dari guncangan eksternal dan Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan ekonomi global.

Rinaldi Laguesta alumni Hitotsubashi University

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial