Kisah Kapten Nakamura Jarah Emas Pegadaian

4 weeks ago 19

Ilustrasi : Louise Brunsveld van Hulten

Jumat, 20 Desember 2024

Beberapa hari setelah militer Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, atau setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, dua truk besar berhenti di Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta. Truk tersebut masuk ke halaman kantor pusat Pandhuisdients (Jawatan Pegadaian), atau, dalam bahasa Jepangnya, Sitji Eigeikyuku.

Tak lama berselang, perwira Jepang (Kempetei) bernama Kapten Hiroshi Nakamura, ditemani Shinoda, Kepala Pandhuisdients dari Gunseikanbu (staf pemerintahan militer di Jakarta) datang. Keduanya berbicara kepada Direktur Jawatan Pegadaian. Beberapa saat kemudian sejumlah staf mengeluarkan barang-barang berharga dari gudang penyimpanan.

Berkilo-kilo emas, perak, permata, berlian, baik berupa batangan atau perhiasan, dimasukan ke dalam 20-25 koper. Termasuk bundelan uang kertas terbitan dari Javasche Bank ikut diangkut. Setelah beres, semua koper tersebut digotong dan dimasukan ke dalam dua truk yang terparkir di pelataran kantor Jawatan Pegadaian oleh orang suruhan Nakamura.

Aksi Nakamura bisa dibilang perampokan dengan dalih mengambil harta rampasan perang milik Jepang. Memang, Nakamura telah mendapat perintah langsung dari komandannya, Letnan Kolonel Akira Nomura, selaku Direktur Badan Perencanaan Jawa-Jepang di Gunseikanbu, untuk mengambil semuanya.

Rampasan itu akan digunakan untuk membiayai tentara Jepang yang tinggal di sejumlah kamp-kamp di Indonesia. Sebelumnya, pimpinan pasukan Sekutu di Asia Tenggara atau South East Asia Command (SEAC), Laksamana Lord Louis Mountbatten, mengultimatum para pemimpin militer Jepang di Hindia Timur untuk tetap tinggal di kamp sebelum mereka diadili dan dipulangkan ke negerinya.

Nakamura sudah merencanakan perampokan harta berharga di semua kantor Pegadaian daerah, saat dirinya menjabat Komandan Distrik di Cirebon. Tapi aksinya baru terealisasikan sejak tugasnya dipindahkan ke Jakarta. Hasil rampokannya sedianya akan langsung diserahkan ke kantor Letkol Akira Nomura di Koningsplein (sekarang Lapangan Merdeka/Monas).

Dikutip dari koran Kengpo edisi 3 Agustus 1948 dan buku ‘Een Bende op Java: Juwelenroof en Corruptie in het Naoorlogse Nederlands-Indie’ karya Peter Schumacher pada 2005, koper-koper itu malah dibawa ke rumah gula-gula (istri simpanan) Nakamura, yaitu Carla Wolff de Jong di Villalaan (sekarang Jalan Cendana, Menteng). Di rumah perempuan berdarah Eurasia, campuran Eropa-Asia, isi koper dibuka dan disortir isinya.

Nakamura meminta kepada istri simpanannya dicarikan orang untuk membantu menyortir dan menghitung jumlah harta tersebut. Carla lalu mengajak kenalannya, seorang pemuda Belanda berusia 16 tahun bernama Bram Roukens, untuk membantu. Sementara Nakamura kembali ke tempat tinggalnya di kamp tentara di Tanah Abang.

Dikutip koran De Locomotif, edisi 1 Agustus 1948, total jumlah perhiasan beratnya mencapai 960 kilogram yang ditaksir nilainya mencapai 86 juta gulden. Itu belum termasuk bundel uang kertas terbitan Javasche Bank yang nilainya mencapai 150.000 gulden. Nilai yang cukup besar dan fantastis di zaman itu.

Gambar wajah Hiroshi Nakamura.
Foto: Louise Brunsveld van Hulten_Televizier Magazine 

Keesokan harinya, Nakamura kembali dan melihat semua perhiasan sudah selesai disortir. Carla dan Bram bekerja siang hingga subuh untuk melakukan penyortiran itu. Semua perhiasan dipisah-pisahkan dan dikumpulkan ke dalam delapan tumpukan di atas meja makan di ruang tengah. Satu tumpukan lagi dipisahkan di pojokan kamar Carla.

Kemudian Nakamura dibujuk oleh Carla agar satu tumpukan perhiasan mahal itu diserahkan kepadanya. Hati Nakamura luluh melihat air mata istrinya yang tengah memohon. Satu tumpukan perhiasan itu bisa untuk membiayai anak-anak Carla, yang terdiri dari delapan anak dari pernikahannya dengan suami pertama, Gerard Wolff, dan dua anak dari hubungan Carla dan Nakamura.

Akhirnya disepakati delapan tumpukan harta yang sudah disortir itu yang akan dibawa ke kantor Nomura di Gunseikanbu. Sebelum barang-barang itu dibawa, Nakamura menghubungi komandannya tersebut. Nomura meminta hanya enam tumpukan harta tersebut dibawa dan disimpan di gudang yang biasa menyimpan senjata di kantornya.

Nakamura diperintahkan Nomura untuk segera menghubungi Kapten Morimoto, komandan tentara Legiun Korea. Nantinya keenam tumpukan harta akan dibagi-bagikan Morimoto kepada beberapa kamp tentara Jepang lainnya. Setelah itu tak diketahui lagi rimba tumpukan harta berharga tersebut.

Dua tumpukan harta disimpan oleh Nakamura. Selama berbulan-bulan, aksi perampokan Nakamura di kantor pegadaian tidak terendus. Pasalnya, pihak Sekutu, bahkan Jepang dan pemerintah Indonesia, masing-masing tengah sibuk dengan situasi keamanan pasca kemerdekaan di Indonesia.

Merasa khawatir dengan banyaknya harta berlimpah di rumah Carla, apalagi banyak pemuda revolusioner Indonesia dan geng kriminal berkeliaran, Nakamura memindahkan semuanya ke tempat yang dirasanya aman. Oleh asistennya Ong Wie Soen, Nakamura dikenalkan kepada pengusaha bernama Tio We Koen yang tinggal di Jalan Pintu Besi (Jakarta Barat).

Tio Wie Koen dikenal sebagai pengusaha yang memiliki brankas besi yang besar dan aman. Sebagian besar batangan emas, perak, dan uang kertas disimpan di brankas milik Tio Wie Koen. Harta itu disimpan bersama setumpukan suku cadang mobil. Sementara Carla menyimpan sebagian kecil permata itu untuk ditawarkan kepada teman-temannya.

Praktis, harta hasil rampokan tersebut membuat Nakamura dan Carla bisa hidup tenang dan kaya raya di Indonesia. Gaya hidup Carla pun berubah. Dia menjadi hedon, suka pamer, dan sering menghambur-hamburkan harta tersebut.

Carla sama sekali tidak merahasiakan kekayaan luar biasa yang diperolehnya secara tiba-tiba. Dia secara terbuka berfantasi tentang ranjang emas tempat dia akan segera tidur dan piring emas tempat dia akan makan. Dia tak sadar dengan sikapnya akan berdampak pada konsekuensi jeratan hukum.

Carla Wolff, teman hidup Hiroshi Nakamura.
Foto : Foto Repro Buku Een bende op Java Juwelenroof en corruptie in het naoorlogse Nederlands-Indie

“Saya lebih kaya dari Ratu Belanda. Saya akan tidur di ranjang emas dan para tamu akan makan di piring emas,” ucap Carla yang jumawa, seperti dikutip dari buku ‘Rampok’ karya Musa Dahlan pada 2012.

Sikap Carla itu akhirnya membuat perwakilan intelijen Inggris dan Belanda curiga. Lebih-lebih melihat posisi Carla sebagai anggota Organisasi Gerilya Hindia Belanda atau Nederlandsh Indies Guerilla (NIGO). Akhirnya, Kapten Nakamura ditangkap oleh personel British Field Security Service (FSS) di Jakarta, pada Februari 1946.

Peter Schumaher dalam bukunya menyebutkan, penangkapan Nakamura mulanya tak terkait kasus perampokan harta benda di kantor pegadaian bernilai jutaan gulden itu. Tetapi personel FSS mencurigai peran Nakamura di kamp Tanah Abang yang bisa keluar-masuk tanpa ijin pihak Angkatan Daratnya.

Selain memiliki akses terhadap kepemilikan uang cash yang banyak, Nakamura dicurigai terlibat dalam jaringan organisasi rahasia bawah tanah bersama para pejuang gerilya Indonesia dan Jepang, yang dikenal dengan sebutan Black Fan. Pasukan bawah tanah ini diperkirakan sedang bersiap untuk melawan pasukan Sekutu.

Beberapa minggu setelah penangkapan Nakamura, muncul kecurigaan pertama bahwa dia berperan penting dalam perampokan pegadaian di Jakarta. Dan ketika para interogatornya memasang sekrup padanya, Nakamura segera membuat pengakuan penuh. Tidak ada bukti yang ditemukan untuk menghubungkan Nakamura dengan Black Fan.

Dari serangkaian interogasi terhadap Nakamura dan pemimpinnya Nomura, muncul rekonstruksi kasar peristiwa tersebut. Nakamura tidak memberi tahu atasannya bahwa dia telah memberikan sebagian dari harta itu kepada istri simpanannya, Carla Wolff. Nomura memerintahkan agar hasil jarahan pegadaian dibawa ke kantornya.

Di sini perhiasan itu akan dibagi rata ke dalam lima koper. Seorang ahli setempat memperkirakan nilai setiap koper adalah 100.000 gulden Hindia Belanda. Nakamura menuliskan nama lima kamp yang akan mendapatkan harta. Setiap komandan kamp datang untuk mengambil bagian mereka.

Baik Nakamura maupun Nomura tidak dapat mengatakan apakah isi koper tersebut benar-benar digunakan untuk mendanai kamp atau tidak. Seandainya hal ini benar terjadi, wilayah Bogor (tempat empat dari lima kamp berada) akan menjadi tempat ramainya perdagangan permata dan emas pada musim gugur tahun 1945. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Pada tahun 1946 dan 1947, ada beberapa cerita yang beredar tentang perdagangan perhiasan di antara tawanan perang Jepang dan mantan tawanan perang Belanda. Tetapi cerita ini datang dari Bandung, ibu kota Jawa Barat, lebih dari 100 km jauhnya dari Bogor di atas pegunungan.

Kapten Hiroshi Nakamura dan Letkol Akira Nomura dalam sidang Dewan Kejahatan Perang di Jakarta pada 1947. 
Foto: British Empire & Commonwealth Forces in the Far East-SE Asia 1937-1946

Dan, bagaimana pun, penyelidikan militer terhadap masalah ini tidak menghasilkan apa-apa, dan tentu saja tidak ada yang mengarah pada kesimpulan bahwa emas dan batu yang ditemukan di pasar gelap Bandung berasal dari sebuah pegadaian di Batavia.

Dalam kasus ini ternyata melibatkan pejabat intelijen militer Belanda atau Nethreland Forces Intelligence Service (NEFIS), yaitu Maurits Noach dan Renee Georgette Ulrich. Juga melibatkan tiga pejabat intelijen keamanan Inggris di FSS di Jakarta, yaitu Mayor B Williams, Kapten John Raz Hazel Morton dan Sersan Mayor Kent Dawson.

Saat melakukan penyelidikan kepada Carla, ketiga personel FSS ini malah menggelapkan barang bukti berupa berbagai macam perhiasan emas, perak, permata dan uang hasil rampokan tersebut. Kelimanya membagi-bagikan harta tersebut. Malah Morton dan Dawson sempat melebur perhiasan emas sebelum dijual kepada orang lain.

Berita keterlibatan mereka diberitakan koran The Times di London (23 Agustus 1946), The Straits Times di Singapura (22 Agustus 1946), Nieuwsgier (5 November 1946) dan Majalah The Sphere di London (30 November 1946). Williams, Morton dan Dawson oleh pengadilan militer di Singapura dijatuhi vonis 10-12 tahun penjara. Selain mereka dipecat dari dinas kemiliteran, mereka mendapat hukuman kerja paksa di Burma (kini Myanmar).

Sementara, Kapten Hirsohi Nakamuda dan Letnan Akira Nomura diadili di Pengadilan Militer Khusus di Jakarta. Sementara pelaku lainnya yang terlibat dalam perampokan harta tersebut diadili secara terpisah, yaitu Carla Wolff, Renee G Ulrich, Maurits Noach, Ong Who Soen, Tio Wie Koen dan JBP Kroon (Direktur Pegadaian di Jakarta).

Perjalanan persidangan menjadi headline berita yang menghiasi koran lokal, seperti Indische Courant, Het Dagblad, kantor berita ANETA, De Locomotif dan Kengpo. Sidang pengadilan kepada para pelaku ini dipimpin oleh Hakim Ketua LF de Groot. Jaksa penuntut umum sekaligus penyelidik kasus ini adalah Eduard Brunsveld van Haulten dibantu J. Diephuis.

Akhirnya Pengadilan Militer Khusus, yang sebenarnya merupakan Pengadilan Perang yang dipimpin hakim De Groot menjatuhi vonis 10 tahun penjara kepada Kapten Hiroshi Nakamura pada Februari 1949. Sementara, Letkol Akira Nomura divonis 5 tahun penjara. Sedangkan Carla dan Ulrich masing-masing divonis 8 bulan penjara. Maurits Noach divonis 14 tahun penjara.

Setelah beberapa bulan menjalani masa tahanan di Jakarta, Nakamura dan Nomura bersama penjahat perang lainnya dipulangkan ke Jepang pada Desember 1949. Nakamura dikabarkan dibebaskan pada 1956. Carla yang setelah bebas menjalani hukuman, dikabarkan menjalin asmara dengan seorang kopral tentara Belanda, Siem Berman, pada Januari 1949.

Hingga kini sebagian besar harta karun hasil rampasan dari kantor Jawatan Pegadaian di Jakarta tidak diketahui rimbanya.

Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial