Jakarta -
Kehebohan sektor finansial global di awal tahun 2025, disumbangkan oleh Deepseek. Chatbot dengan sebutan DeepSeek-R1 mengguncang pasar modal, tak lama setelah diluncurkan. Guncangan terutama menyasar saham industri teknologi. NVIDIA misalnya--perusahaan Amerika yang memproduksi microchip-- nilai perusahaannnya mengalami penurunan yang signifikan, hingga mencapai US$ 600 miliar. Nilainya yang semula US$ 3,49 triliun, menjadi US$ 2,9 triliun. Sedangkan harga sahamnya turut tergerus. Turun 17%, menjadi US $ 118,58 saat pasar ditutup. Dikabarkan, nilai itu merupakan harga saham terendah NVIDIA sejak Maret 2020.
Menanggapi kehebohan yang melanda industri teknologi itu, jurnalis Kate Ainsworth dan Rachel Clayton, 2025, lewat tulisannya berjudul "How DeepSeek Caused a Financial Market Frenzy that Changed AI Forever", menyebut 2 faktor utama penyebab guncangan pasar. Pertama, DeepSeek mendominasi jumlah aplikasi yang diunduh, sejak peluncurannya. Dihitung dari awalnya, kemunculan model pertama DeepSeek terjadi pada tahun 2023. Ini kemudian diikuti dengan pengembangannya sebagai DeepSeek-R1 pada November 2024. Versi baru ini diluncurkan secara resmi di tengah Perhelatan World Economic Forum (WEF), di Davos, 24-25 Januari 2025.
DeepSeek menjadi aplikasi yang yang paling banyak diunduh di 140 pasar software global. Pengunduh terbesarnya adalah penduduk India. Seluruhnya itu menempatkan DeepSeek naik ke posisi pertama di App Store Apple Inc. pada 26 Januari. Posisi yang terus bertahan sejak saat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab pertama yang ditengarai Ainsworth dan Clayton itu, senada dengan hasil analisis Vlad Savov, 2025. Yang dikemukakannnya dalam "DeepSeek App Holds Top Global Spot in Downloads, Led by India". Sedangkan penyebab kedua, akibat pasar yang bereaksi terhadap analisa yang dikemukakan Jeffery Emmanuel. Emmanuel adalah analis dan investor di bidang teknologi, khususnya artificial intelligence (AI).
Ia menguraikan tentang penjualan jangka pendek saham NVIDIA. Juga membedah lansekap bisnis AI. Disebutkannya, NVIDIA menghadapi agregat ancaman persaingan yang belum pernah dialaminya.
Posisi dominannya di pasar, maupun penjualan dengan margin kotor yang mencapai 75 persen tak bisa dipertahankan lagi. DeepSeek berhasil melakukan efisiensi biaya --hanya 1/45nya dibanding chatbot sejenis-- namun kinerjanya tak berbeda. Ini menyadarkan, realitas yang direpresentasikan NVIDIA maupun perusahaan sejenisnya di industri teknologi Amerika serikat, telah berproduksi dengan sumber daya komputasi yang berlebihan. Karenanya pencapaian yang diraih DeepSeek menjadi harapan baru pasar investasi global, dengan beralih ke Deepseek. Pasar guncang.
Hal lain yang menyebabkan peluncuran DeepSeek menarik diperbincangkan, dikemukakan Anders Indset, 2025. Ini termuat dalam "DeepSeek and the Race to Surpass Human Intelligence". Indset adalah pendiri Njordis Group, perusahaan di bidang pembiayaan ventura dan konsultasi investasi di bidang teknologi. Ia juga seorang Filsuf dan Penulis.
Menurutnya, perlombaan melampaui kecerdasan manusia yang dipicu DeepSeek, bukanlah sebatas lompatan pengembangan tunggal. Pencapaiannya berupa lintasan eksponensial: kemajuan yang lebih cepat, pengaruh yang lebih luas. Maka dengan investasi yang lebih besar, juga teknisi yang lebih banyak, akan melahirkan persaingan baru.
Namun dalam realitasnya DeepSeek tak menggunakan komputasi yang tak terbatas, untuk menyelesaikan berbagai masalah. Masih terlampau jauh memahami aspek inti penalaran, kesadaran, maupun model operasi pikiran manusia.
Yang dicapai DeepSeek adalah lompatan di tengah situasi keterbatasan. Pasokan microchip antar negara yang dibatasi negara produsennya, Amerika Serikat. Berikut dengan ketersediaan teknisinya --dengan penghasilan delapan hingga sepuluh kali lebih rendah-- dibanding penghasilan teknisi di Silicon Valley. Deepseek adalah soal ketekunan dan kreativitas yang menciptakan efisiensi. Karenanya perlombaan melampaui kecerdasan manusia itu, dapat dimaknai sebagai: perlombaan antar manusia cerdas itu sendiri, menghasilkan terobosan baru. Juga perlombaan melampaui kecerdasan manusia, diwujudkan sebagai AI.
Bagaimanakah keunggulan kecerdasan DeepSeek itu bekerja mengesankan dan tampak berbeda dibanding chatbot sejenisnya? Jerry A. Smith, 2025, dalam "DeepSeek and the Dilemma of Thinking Machines", menguraikannya secara analitik. Smith dikenal sebagai visioner di bidang artificial intelligence mapun machine learning (ML), pembuat agentic system berbasis large languange model (LLM) dan neuroscience. Juga pengembang arsitektur AI yang berpusat pada manusia.
Smith melakukan uji coba proses penalaran yang dilakukan DeepSeek dengan mengetikkan prompt pada aplikasi. Demikian bunyi prompt-nya: "Pikirkan angka yang tak terlalu menonjol antara 1 hingga 100, untuk ditebak. Jangan terlalu rumit, namun tetap punya tantangan. Dan jawabannya dalam bentuk daftar angka". Proses berkecerdasan DeepSeek diamatinya. Utamanya akibat perintah yang mengandung pertentangan, "angka yang tak terlalu rumit" dan "tetap punya tantangan". Ini menghasilkan ambiguitas.
Selama proses menunggu jawaban, Smith menyaksikan aksi DeepSeek melangsungkan pertunjukan. Pertunjukan penalaran yang menepis ambiguitas. Berlangsung dengan pertimbangan yang mendalam. Demikian mendalamnya proses yang dilangsungkan, hinggga Smith menilainya sebagai berlebihan. Respons penuh pertimbangan, teliti tetapi ragu-ragu. Namun darinya diperoleh kesan kuat: yang dilakukan DeepSeek, tak lain adalah proses simultan menghasilkan jawaban berikut pelatihan yang dilakukan ML menyempurnakan dirinya sendiri. Ini disebutnya di awal tulisannya, DeepSeek melampui ambiguitas, dengan kecerdasan yang mampu mengungkap kompleksitas dari pertanyaan sederhana.
Evaluasi--terhadap jawaban yang tersusun secara bertahap ini-- dapat dimaknai sebagai hasil kontemplasi perangkat dengan dirinya sendiri. Sementara kontemplasi terhadap produk yang dihasilnya sendiri, merupakan ciri adanya kesadaran. Apa berarti kecerdasan 'kontemplatif' DeepSeek, jadi pintu masuk tercapainya AI yang berkesadaran? Tak mudah menjawabnya. Namun layak terus dikaji.
Ketakmudahan itu dapat disebabkan oleh pertanyaan mendasar: apa itu kesadaran? Pertanyaan yang bersifat ontologis. Mempertanyakan hakikat realitas. Christof Koch, 2018, dalam "What is Consciouness?" menyebut, kesadaran adalah segala sesuatu yang dialami. Ini termasuk mampu mengalami nikmat pahitnya kopi, perihnya teriris pisau, takut memasuki ruang operasi, bahagia oleh pemberian hadiah. Juga pada hal yang tak kongkrit namun nyata: kosongnya diri akibat kehilangan, penuhnya perasaan oleh pujian. Seluruhnya adalah manifestasi kesadaran.
Ilustrasi yang diajukan Koch, sebagian besarnya dapat diterima secara luas. Namun penerimaaan itu jadi tertunda, manakala menghadapi gangguan lain: apakah kecemasan adalah kesadaran? Sebab cemas berarti menyadari adanya yang tak disadari. Cemas itu sadar terhadap apa? Karenanya, Danniel C. Dennett, 1996, dalam "Kinds of Minds" menyebut, kesadaran sebagai realitas yang tak mudah dipahami. Bahkan bersifat ilutif. Diandaikannya sedang mencari "flurb" pada diri manusia --manakala tak jelas yang dimaksud dengan flurb-- tak mudah menentukan flurb sudah ditemukan atau belum.
Itulah kesadaran. Jelas sekaligus simpang siur. Simpang siur pula menemukan jawaban, bagaimana membangkitkan kesadaran, mengelola dan memanfaatkannya? Bagaimana cara kerja kesadaran? Juga, tergantung pada apakah kesadaran itu? Jika pun seluruhnya dapat dijawab, apakah jawaban itu tepat menjelaskan ontologi kesadaran?
Persoalan ontologi diikuti persoalan epistemologi, keabsahan jawaban: apakah seluruh jawabannya memang menyangkut kesadaran pada dirinya sendiri? Saat persoalan ontologi dan epistemologi tuntas terjawab, persoalan pengembangan cara menirukan kesadaran dibahas selanjutnya. Pintunya telah dibuka. Tak butuh waktu lama, AI berkesadaran bakal terwujud.
Namun ketika persoalan filosofis kesadaran itu tak kunjung terungkap, alih-alih membuat tiruannya, menentukan yang harus ditiru juga tak bisa. Sementara dalam relasinya --banyak kalangan lewat aneka perbahasan--AI yang berkesadaran adalah puncak pencapaian ciptaan manusia. Manusia menjadi Sang Maha Kuasa ketika mampu menciptakan artefak yang berkedudukan sama dengan kealamiahan manusia.
Sehingga terhadap kemungkinan AI yang berkesadaran, pertanyaannya bukan mampukah manusia menciptakan AI berkesadaran? Namun sudahkah unsur enabler, pemungkinnya dipahami dengan tuntas? Juga diterima secara universal? Produksi tiruan jadi mungkin, saat yang hendak ditiru telah dipahami. Juga seluruh aspek cara kerjanya dimengerti. Tanpa ada di tahap itu proses peniruan tak bakal terwujud. Posisi ini berbeda, jika 'hanya' kecerdasan yang dibicarakan. Dalam realitasnya, unsur kecerdasan, berikut cara membentuknya telah dipahami luas. Perangkat berkecerdasan buatan dapat diproduksi hingga batas terjauhnya.
Misteri dapatkah AI berkesadaran alamiah dapat diwujudkan? Jawabannnya tak bersifat teknis komputasional. Namun tergantung pada jawaban filosofis terhadap pemahaman kesadaran yang terformulasi universal. Begitu pula cara kerjanya. Keduanya jadi syarat pemungkin, produksi tiruannya. Hari ini tentang keduanya, belum mungkin. Tampaknya harus menunggu jika itu yang dinantikan jawabannya.
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu