Jakarta -
Akhir-akhir ini perhatian publik berpaling ke Boyolali, Jawa Tengah. Kota yang tenang ini menyedot atensi masyarakat lantaran Pramono, 67 tahun, seorang pengepul susu dari Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, berurusan dengan pajak. Menurut pemberitaan di media massa dan media sosial, rekeningnya diblokir Kantor Pelayanan Pajak Pratama Boyolali karena menunggak pajak sekitar Rp 670 juta.
Pak Pramono dikabarkan cekatan membantu para peternak sapi. Dia bersedia membeli susu dari sekurangnya 1.300 peternak sapi sekaligus menjual pakan ternak kepada mereka. Akibat rekening yang ia gunakan untuk bermitra dengan para peternak itu tengah dibekukan, Pak Pramono pun berniat tutup usaha. Hal ini dapat mengancam keberlangsungan bisnis ribuan peternak sapi partner Pak Pramono. Apalagi, Pak Pramono menawarkan harga beli yang tinggi bagi mereka, yakni Rp 7.600 per liter, dibandingkan harga beli rata-rata Rp 7.000 seliter.
Kendati demikian, Pak Pranomo memahami bahwa pembekuan rekening ini semata-mata demi menjalankan tugas sesuai ketentuan yang berlaku. Dia tidak menyalahkan petugas pajak. Dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali hingga Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) pun turut memberi perhatian. Berkaca pada peristiwa ini, hati nurani kita wajar bertanya: adilkah peraturan pajak?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keadilan Pajak
Kita acap mendengar pendapat sebagian khalayak bahwa pajak sangat memberatkan, sekaligus pula mengamini bahwa pajak amat penting demi pembangunan negara. Tolok ukur kemandirian bangsa juga tercermin dari dominannya peran pajak dalam menyokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Faktanya, selama lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan cenderung semakin signifikan terhadap total penerimaan negara. Menurut Undang-Undang APBN (2021-2025, data diolah), pada 2021, dari total Rp 1.743,65 triliun target penerimaan negara, Rp 1.444,54 triliun berasal dari penerimaan perpajakan (pajak, bea, dan cukai). Artinya, penerimaan perpajakan berkontribusi 82,85% atas penerimaan negara.
Pada 2022, kita mematok penerimaan perpajakan Rp 1.510,00 triliun dari Rp 1.846,14 triliun penerimaan negara (81,79%). Tahun lalu, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp 2.021,22 triliun dari Rp 2.463,02 triliun penerimaan negara (82,06%). Tahun ini, penerimaan perpajakan diharapkan terkumpul Rp 2.309,86 triliun dari target penerimaan negara Rp 2.802,29 triliun (82,43%). Lantas, tahun depan penerimaan perpajakan digadang terhimpun Rp 2.490,91 triliun dari penerimaan negara yang diharapkan terkumpul Rp 3.005,13 triliun (82,89%).
Sejarah juga mencatat bahwa pemberontakan atau pergolakan sosial meletus akibat pajak yang dipaksakan oleh penguasa yang sewenang-wenang. Raja memungut upeti yang sangat tinggi, atau penjajah mematok pajak yang mencekik rakyat koloninya. Dalam konteks ini, memanglah benar bahwa pajak menjadi alat penindasan. Namun, di alam demokrasi pasca-kemerdekaan saat ini, kita tidak bisa serta-merta membuat analogi seperti itu lagi karena sangat menyesatkan, anakronis, dan fatalnya ahistoris.
Agar terhindar dari "anemia sejarah", kita perlu mengingat pepatah no taxation without representation yang mengemuka pada era Revolusi Amerika pada abad ke-18. Sebelum memajaki rakyat, negara harus mendapatkan persetujuan dari rakyatnya sendiri.
Semangat tersebut ditangkap dan diramu dengan jenius oleh para founding fathers kita. Dicetuskan oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), KRT Radjiman Wedyodiningrat, lalu diperkaya dengan gagasan berbagai tokoh, lahirlah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang."
Belakangan, sesuai amandemen ketiga, ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 23A, yang berbunyi: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Mengapa harus undang-undang? Karena ia adalah payung hukum yang lahir dari kesepakatan antara pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) yang mewakili rakyat. Oleh karena itu, segala pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan diatur dengan undang-undang.
Bagaikan sekeping mata uang, di balik kewajiban perpajakan, selalu ada hak perpajakan yang mengiringinya. Selain itu, kalau pun telah disahkan, warga negara masih punya hak untuk mengajukan uji materi (judicial review) terhadap sebuah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, ke Mahkamah Konstitusi. Di sinilah letak keadilannya.
Kepercayaan dari Negara: Asas Self Assessment
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kita menganut sistem administrasi perpajakan self assessment. Artinya, negara memberi kepercayaan penuh kepada warganya untuk mendaftar, menghitung, memotong/memungut, membayar, dan melaporkan pajaknya secara mandiri, tanpa harus menunggu terbitnya ketetapan pajak.
Namun, di balik kepercayaan tersebut, wajib pajak harus melaporkannya secara jelas, benar, dan lengkap. Jika terdapat data lain dari pihak ketiga yang belum dilaporkan, petugas pajak akan meminta keterangan atau klarifikasi. Di sini pun, wajib pajak tetap dijamin haknya. Yakni, memberikan keterangan dengan dokumen pendukung yang sah. Jika wajib pajak mengakui masih ada data yang belum dilaporkan, mereka pun masih diberi kesempatan untuk membetulkan laporan pajaknya atau surat pemberitahuan (SPT). Pembetulan SPT ini pun masih dalam ranah self assessment.
Barulah, jika wajib pajak tidak merespons permintaan klarifikasi, atau mengakui adanya kekurangan pembayaran tetapi tidak memenuhi komitmen pembetulan SPT, petugas pajak dapat mengusulkan pemeriksaan pajak. Di sinilah official assessment mulai masuk. Itu pun wajib pajak tetap dijamin haknya untuk memberikan keterangan saat pemeriksaan hingga pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Setelah terbitnya ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan, wajib pajak masih berhak mengajukan upaya hukum, mulai dari keberatan hingga banding bahkan peninjauan kembali. Jika upaya hukum tuntas sehingga berkekuatan hukum tetap (inkrah), dan wajib pajak masih tidak melunasi ketetapan pajak setelah jatuh tempo, dimulailah upaya penagihan pajak.
Alternatif Solusi
Saking pentingnya upaya penagihan pajak, tindakan ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP). Menurut beleid ini, penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU PPSP, surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dibandingkan dengan undang-undang perpajakan lainnya yang mengalami sejumlah revisi, UU PPSP selama 24 tahun terakhir ini tidak berubah. Masih relevankah? Jawabannya, iya.
Aturan pelaksananya yang terkini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. Dibandingkan dengan sejumlah PMK pendahulunya, PMK 61/2023 lebih fleksibel dan mewadahi hak-hak penanggung pajak. Inilah yang dapat menjadi beberapa alternatif solusi atas pemblokiran rekening Pak Pramono, antara lain sebagai berikut.
Pertama, ketentuan sebelumnya mengatur pemblokiran rekening hanya bisa dibuka jika utang pajak telah dilunasi. PMK 61/2023 menawarkan pencabutan blokir dengan cara penanggung pajak menjaminkan aset lain yang nilainya paling sedikit setara dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak. Jika tak kunjung dilunasi, aset jaminan tersebut dapat dilelang sesuai ketentuan guna menutup utang pajak beserta biaya penagihannya.
Kedua, penanggung pajak dengan jaminan aset itu tadi, dapat mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pelunasan utang pajak, sesuai ketentuan. Tentu hal ini dapat meringankan cash flow wajib pajak pengusaha yang menunggak pajak.
Ketiga, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP jo. UU HPP. Tentu saja, dengan syarat wajib pajak melunasi terlebih dahulu pokok ketetapan pajaknya.
Serangkaian alternatif solusi di atas menunjukkan bahwa negara senantiasa menjamin keadilan pajak. Semoga polemik yang menimpa Pak Pramono segera usai dan tidak berlarut-larut. Kita juga perlu memberi apresiasi kepada petugas pajak yang menjalankan amanah dengan baik, demi kesejahteraan rakyat. Sehat dan berkah selalu nggih, Pak!
Yacob Yahya pegawai Direktorat Jenderal Pajak; tulisan ini pendapat pribadi
(mmu/mmu)