Insinyur Indonesia dan Tantangan Iklim Global

1 month ago 24

Jakarta -

Konferensi Persatuan Insinyur Indonesia (PII) telah digelar di Yogyakarta pada 5-6 Desember 2024. Arus utama dalam pertemuan wadah profesional insinyur Indonesia ini menegaskan posisi strategis PII sebagai lembaga profesi mitra pemerintah mengawal transformasi teknologi hijau bagi bangsa. Dalam forum ini, para insinyur tidak hanya berkomitmen untuk mendorong percepatan transisi energi berkelanjutan, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai pemimpin global dalam menghadapi krisis iklim.

Tekad tersebut bukan sekadar afirmasi langkah menuju kemandirian energi nasional. Era krisis iklim saat ini menjadi sebuah kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia kemampuan dan peran strategis insinyur Indonesia dalam menghadapi tantangan iklim global. Dengan sejarah keinsinyuran yang ada, kontribusi nyata dalam menciptakan solusi berkelanjutan, wajar bila insinyur Indonesia berdiri di garis depan, memperkokoh reputasi bangsa sebagai pemain kunci dalam transformasi teknologi hijau di panggung dunia.

Pemanasan global akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) membawa dampak yang sangat luas, menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, ekosistem alam, dan dinamika ekonomi global. Bagi manusia, suhu ekstrem yang terus meningkat dapat memicu dehidrasi parah, terutama di wilayah kering yang rentan.

Fenomena cuaca ekstrem seperti gelombang panas juga diproyeksikan terjadi lebih sering dengan intensitas yang lebih ganas, menempatkan kesehatan dan keselamatan manusia dalam risiko besar. Sementara itu, di alam, pemanasan global mempercepat pencairan es di kutub. Fenomena ini menyebabkan kenaikan permukaan laut dan menjadi ancaman serius penduduk di negara-negara yang mayoritas wilayahnya pesisir.

Selain itu, pola curah hujan yang berubah drastis menimbulkan kekeringan di beberapa tempat, mengganggu sektor pertanian, dan mengurangi akses terhadap air bersih, sedangkan curah hujan berlebihan menciptakan banjir besar di daerah-daerah tertentu. Konferensi PII menegaskan kepedulian para insinyur Indonesia yang sejalan dengan arus global yang ada.

Sejak 1950 hingga 2011, para saintis menginformasikan lonjakan beban emisi GRK yang tak terbendung. Pertumbuhan akumulasi emisi polutan tercatat rata-rata mencapai 2% per tahun. Meski sepuluh tahun terakhir peningkatan sedikit melambat menjadi 1,5% per tahun, namun hal ini jauh dari kabar menggembirakan. Tren ini masih menjadi alarm bagi planet kita, mengingat pemanasan global terus merayap menuju ambang batas kritis.

Batas suhu 1,5 derajat C, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai titik balik untuk mencegah kerusakan iklim yang paling mengerikan, tampak semakin sulit dicapai. Aroma tarik ulur kepentingan tersebut semakin tercium saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-29 (COP 29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, dari 11 hingga 24 November 2024.

Salah satu isu utama yang memicu perdebatan sengit adalah penetapan target pendanaan iklim baru untuk membantu negara-negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Negara-negara berkembang mengajukan permintaan pendanaan sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun hingga 2035. Namun, negara-negara maju hanya menyetujui komitmen sebesar 300 miliar dolar AS per tahun pada periode yang sama.

Ketidakpuasan atas kesenjangan ini memuncak ketika perwakilan dari negara-negara kepulauan kecil dan kelompok negara kurang berkembang meninggalkan ruang negosiasi sebagai bentuk protes terhadap kurangnya konsultasi dan transparansi dalam proses tersebut.

Selain itu, perdebatan mengenai penghapusan subsidi bahan bakar fosil dan transisi energi juga menjadi sorotan. Beberapa negara produsen minyak dan gas menolak komitmen yang lebih tegas untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang menyebabkan kebuntuan dalam mencapai konsensus global.

Meskipun demikian, COP 29 berhasil mencapai kesepakatan dalam beberapa hal, seperti pengaturan pasar karbon internasional yang diharapkan dapat mendorong investasi hijau dan mengurangi emisi. Namun, secara keseluruhan, hasil konferensi ini dianggap tidak memadai dalam menghadapi urgensi krisis iklim saat ini, dan banyak pihak menilai bahwa upaya yang lebih ambisius dan kolaboratif diperlukan untuk mencapai tujuan iklim global.

Karenanya, perlambatan laju pertumbuhan emisi ini bagai secercah sinar kecil di tengah bayang-bayang gelap. Namun, sinar itu saja tidak cukup untuk menyelamatkan masa depan kita. Pemotongan emisi secara drastis bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan dengan langkah nyata dan keberanian kolektif. Dunia membutuhkan lebih dari sekadar komitmen; dunia membutuhkan aksi luar biasa untuk memastikan bahwa generasi mendatang tidak mewarisi sebuah planet yang kehilangan keseimbangan alaminya.

Tantangan Monumental

Untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah ambang kritis 1,5 derajat C, dunia dihadapkan pada tantangan monumental: menurunkan emisi GRK sebesar 7% setiap tahunnya hingga 2030. Ini bukan sekadar angka, melainkan misi yang menuntut perubahan besar-besaran dalam cara kita mengelola energi dan pembangunan.

Sayangnya, kenyataan saat ini justru menunjukkan tren sebaliknya—emisi global masih terus meningkat pada laju 1,5% per tahun. Angka-angka ini menggambarkan kesenjangan mencolok antara apa yang harus dilakukan dan apa yang sebenarnya terjadi. Upaya global menuju dekarbonisasi, meskipun sudah dimulai, masih jauh dari cukup untuk membalikkan keadaan. Untuk mencapai target ambisius ini, diperlukan langkah-langkah yang lebih berani dan inovatif. Dunia harus segera berinvestasi dalam energi terbarukan dan teknologi hijau, menjadikannya sebagai prioritas utama.

Perubahan kebijakan yang progresif dan berorientasi masa depan juga menjadi kunci, menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan transisi energi berjalan lebih cepat dan lebih efisien. Tidak ada waktu untuk menunda. Karenanya, kini adalah saatnya insinyur Indonesia bergerak lebih progresif dan kolektif untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan menyelamatkan bumi kita dari konsekuensi perubahan iklim yang tidak terkendali.

Dalam konteks ekonomi, dampak perubahan iklim juga tidak kalah signifikan. Banyak pemerintah mulai menerapkan pajak karbon sebagai langkah untuk menekan emisi, tetapi hal ini dapat meningkatkan biaya operasional bisnis secara keseluruhan. Selain itu, kebijakan seperti Carbon-Border Adjustment Mechanism (CBAM) berpotensi menimbulkan tantangan baru dalam perdagangan internasional, karena produk impor akan dikenai tarif tambahan berdasarkan tingkat karbon yang dihasilkan dalam produksinya.

Perubahan iklim juga merusak stabilitas rantai pasokan global, mengganggu proses produksi, distribusi, dan mempengaruhi harga barang di pasar dunia. Semua ini menunjukkan betapa mendesaknya upaya kolektif untuk menangani krisis iklim secara efektif demi melindungi masa depan planet kita.

Presiden Prabowo berulang menegaskan komitmen Indonesia menyikapi krisis iklim dengan pengembangan teknologi dalam rangka transformasi energi hijau menuju Net Zero Emissions. Misalnya, komitmen yang disampaikan Presiden Prabowo dalam Keynote Speech APEC CEO Summit, Peru, 14 November 2024 lalu.

Dengan potensi besar sumber daya yang dimiliki Indonesia, tidak berlebihan bila insinyur Indonesia tertantang mengembangkan teknologi inovatif yang relevan dan berdaya saing internasional. Posisi ini bukan hanya untuk membangun kemandirian energi nasional, tetapi juga menjadi panggung untuk menunjukkan kualitas dan peran strategis insinyur Indonesia dalam memberikan solusi nyata terhadap tantangan iklim dunia, sekaligus memperkuat reputasi bangsa di kancah global.


Dr. Ing. Suhendra
dosen, konsultan, anggota PII dan VDI (Verein Deutscher Ingenieure/ Asosiasi Insinyur Jerman)

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial