Jakarta - Kisruh pesohor dan pemengaruh (influencer) Nikita Mirzani hingga masuk penjara (lagi) memantik perhatian banyak pihak. Kejadian masuk penjaranya melengkapi identitasnya sebagai pembuat sensasi di ranah hiburan Tanah Air. Jika melihat pengikutnya (follower) di akun media sosialnya, kita melihat jumlah yang cukup fantastis dan bilamana mengikuti siaran live-nya, jumlah orang yang mengikutinya dapat dikatakan mencengangkan untuk seukuran pemengaruh.
Itulah mengapa DPR sampai menyempatkan agenda bertemu dengan para pemengaruh ini dalam beberapa hari terakhir demi menimbang pengaruh dan agenda setting mereka di masyarakat. Dari realitas ini, tergambar bahwa sekian juta pengikutnya, dalam hal tertentu, dapat saja terpengaruh oleh informasi yang berkembang seputar Nikita Mirzani dan para pemengaruh lainnya. Kita selaku konsumen, atas seliweran informasi di berbagai platform tersebut, repotnya, harus berkompromi dengan berbagai waktu luang yang tersedia untuk memberi kesempatan luas menjumpai beragam informasi tersebut di depan layar gawai.
Orang sepertinya terbuai oleh suguhan live-nya. Hanya untuk menjelaskan hal remeh temeh seputar kegiatan sehari-harinya, jutaan penyimaknya menonton dengan sabar. Lebih lagi saat berlangsung kasus yang menimpa putrinya, beragam drama yang mengitarinya sangat "ditunggu" orang. Gaya ceplas-ceplosnya seperti ditunggu, seolah ia mewakili emosi massa yang geram pada kondisi sosial sekitar namun tidak mampu bersuara. Dia adalah impersona banyak orang dengan kerap berlaku sangat mengesalkan, misal menantang banyak pihak yang berperkara dengannya, tapi juga memiliki jiwa dermawan sekaligus.
Masalah nyata kemudian datang saat perkara permintaan endorsement produk skincare menghampiri dan kemudian berkembang menjadi perkara dugaan pemerasan. Kasus ini mengantarnya ke penjara dalam waktu yang relatif cepat. Terlepas dari sengkarut masalah hukum yang mengitari endorsement skincare tersebut, Nikita Mirzani memberi cambuk pada masyarakat akan pentingnya pemahaman terhadap literasi media dan kerja kreatif.
Kompetensi yang sepatutnya dikuasai banyak orang tentang literasi media menempatkan masyarakat sebagai pihak yang tidak serta merta menelan mentah-mentah apa yang disuarakan dan kerja kreatif mendorong sikap yang tidak hanya mencari jalan pintas mencari cuan.
Pemahaman baru
Ia memberi kesadaran baru dalam beberapa hal yang mungkin luput menjadi perhatian. Pertama, pada dasarnya perihal bermedsos tidak sekadar cuap-cuap di depan kamera, namun juga ada aspek hukum yang bisa berbuntut panjang. Pelibatannya sebagai pemengaruh yang mampu menarik perhatian banyak orang dapat menjadi pisau bermata dua.
Atas nama popularitas, namanya menjadi jaminan ketertarikan banyak pihak untuk mengamini meski untuk itu batas privasi menjadi kabur. Namun begitu, ruang publik yang cenderung sekenanya dimanfaatkan dengan komentar agresif jelas menabrak rambu-rambu hukum. Ia hanya menunggu pihak-pihak yang tidak suka menemukan sisi hukum yang bisa menjeratnya.
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 2 Januari 2024. Perubahan signifikan dalam regulasi ini di antaranya terdapat pada penambahan pasal yang sebelumnya tidak terdapat dalam regulasi yang diubah. Pasal tersebut adalah Pasal 27A yang berbunyi:
Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik. Meskipun Nikita Mirzani tidak terutama berurusan dengan pasal ini sehingga masuk penjara, namun gaya dan celotehannya kadung mewarnai pemberitaan di Tanah Air.
Ekonomi perhatian
Kedua, pada era ketika pemanfaatan media sosial dan inisiatif jurnalisme warga (citizen journalism) demikian kuat, kita harus sadar bahwa berpikir kritis atas narasi yang berkembang dari produksi jalan alternatif seperti itu adalah sebuah keharusan demi tegaknya akal sehat. Endorsement skincare (perawatan kulit) Nikita Mirzani dan pemengaruh lainnya berada dalam lanskap ini.
Jauh hari (pada 1971), peraih Nobel Herbert A. Simon mengingatkan semua orang akan bangkitnya jenis ekonomi baru bernama ekonomi perhatian (attention economy). Simon meyakini, orang akan cenderung membuat informasi berharga sebagai aset penting bahkan menjadi mata uang yang memaksa orang untuk bertransaksi. Dalam kasus Nikita Mirzani dan para pemengaruh itu, mereka mempraktikkan dengan baik kebutuhan sorot lampu media pada mereka sekaligus menjadi produsen informasi.
Dalam relasi tersebut, mereka menjadi "komoditas" yang dicari sebagaimana yang disinyalir Simon. Dalam pemahaman jenis ekonomi ini, pelibatan studi budaya menjadi penting karena pada dasarnya perhatian adalah keterlibatan mental yang terfokus pada suatu informasi tertentu (decoding). Informasi-informasi tersebut masuk ke dalam kesadaran kita. Saat kita memperhatikan informasi tersebut, kita kemudian akan cenderung memutuskan tindakan berdasar framing informasi yang diberikan (encoding).
Pada titik ini, mau tidak mau ingatan tentang teori resepsi Stuart Hall mengemuka. Decoding dan encoding memberi kesadaran untuk memahami proses transformasi informasi dari produsen ke konsumen. Dari Hall pula kita berkesempatan menegakkan pemahaman untuk memahami fenomena tersebut secara kritis. Kita perlu memiliki literasi media yang memadai yang mampu menempatkan masyarakat sebagai pihak yang harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi yang disampaikan oleh media.
Salah satu aspek penting dalam literasi media adalah kemampuan untuk mengidentifikasi siapa yang membuat berita dan pesan yang disampaikan, serta menganalisis pesan yang disampaikan, dan bagaimana cara penyampaiannya. Lebih dari itu, literasi media juga mengajak masyarakat untuk mencari tahu nilai-nilai dan sudut pandang yang terkandung dalam media, serta memahami motif ekonomi atau kekuasaan yang mungkin ada di balik pesan tersebut.
Publik harus berani mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kritis yang relevan, semisal "siapa yang membuat berita ini?", "apa pesan yang ingin disampaikan?", dan "nilai apa yang ditekankan atau dikesampingkan?" saat menerima gelontoran informasi, termasuk endorsement dan live streaming. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi alat yang penting untuk membaca dan menelaah media secara kritis.
Melalui sikap bertanya seperti itu, publik dapat mengembangkan perspektif lebih mendalam mengenai pesan yang sampai di hadapannya dan menguji kemungkinan adanya berbagai pengaruh yang membentuk informasi tersebut. Bagi publik, jelas literasi media memberi kesempatan untuk tidak hanya meningkatkan kompetensi dalam menyaring informasi, namun juga mendorong mereka untuk menjadi konsumen media yang bijak, cerdas, dan beradab.
Kerja kreatif mestinya dimaknai sebagai upaya konstruktif, orisinal, dan menginspirasi. Endorsement skincare yang banyak terjadi sayangnya hanya berupa marketing dan dampak budaya Hallyu atau Korean wave. Merebaknya budaya Korea bukan hanya dapat dengan mudah dilihat pada pengaruh musik, fashion, dan gaya hidup. Dimulai pada 1990-an, Hallyu mulai dikenalkan. Kini, sadar atau tidak sadar mereka tengah menjajah kita dengan produk perawatan wajah dan pemahaman tentang kecantikan.
Kita mulai terbiasa dengan idiom-idiom mereka (sebut misalnya salam cinta ala Korea), makanan, iklan, film, hingga standar "kecantikan" pria –bukan hanya perempuan. Para pemengaruh itu tidak segan menyampaikan beragam hal yang ada di kepala mereka melalui live streaming, podcast, vlog, dan platform lainnya.
Ribut ribut seputar endorsement skincare patutnya dikritisi hanya sebagai kepanjangan tangan industri yang mengharap perhatian, bukan merupakan kerja keras untuk mewujudkan skincare itu sendiri. Memang tidak semua dalam relasi seperti itu, karena produk perawatan kulit juga banyak dari lokal, namun kita menyaksikannya hampir tiap saat berseliweran kini.
Saiful Maarif pegiat Birokrat Menulis
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu