Hana, Maori, dan Teladan Politik Representasi

1 month ago 52

Jakarta -

Hana Rawhiti Maipi Clarke menghentak dunia. Sang legislator muda, bersama beberapa anggota parlemen dari Suku Maori, menarikan Haka di ruang parlemen Selandia Baru. Hana dan rekan-rekannya menari dengan sangat ekspresif dan memikat. Gerak ritmisnya berirama sangat kuat.

Tarian Haka tersebut adalah sebentuk respons penolakan. Sebuah ekspresi kultural, yang menjadi fondasi sikap politik mereka. Para legislator tersebut menentang sebuah rancangan undang-undang yang dianggap akan mengancam hak-hak suku Maori. Sebuah sikap yang kuat dan tegas, senapas dengan konstituen yang mereka wakili.

Potongan video yang memperlihatkan respons penolakan tersebut viral di dunia maya. Semangat Hana menjalar dan merambat, menumbuhkan semangat perlawanan yang begitu kental. Sikap politik yang mereka tampilkan,mendatangkan efek kejut. Termasuk bagi kita di Indonesia.

Sikap politik Suku Maori tersebut sejatinya bertolak dari keresahan yang sama dengan kita yang ada di Indonesia. Keresahan tentang bagaimana negara memposisikan Masyarakat Adat. Keresahan yang berujung kepada sebuah pertanyaan politis: apakah kerja-kerja politik legislasi yang dilakukan oleh representasi politik kita di parlemen sudah semakin mendekatkan pada pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat oleh negara?

Pertanyaan tersebut relevan untuk diajukan. Mengapa? Karena, hingga hari ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Masyarakat Adat. Padahal, keberadaan undang-undang ini amat penting guna melindungi Masyarakat Adat dari berbagai bentuk kekerasan, baik yang bersifat struktural, maupun berbagai bentuk eksploitasi yang datang dari korporasi.

Keberadaan Undang-Undang Masyarakat Adat kian mendesak ketika dihadapkan pada satu situasi, di mana menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam 10 tahun terakhir, telah terjadi 687 konflik agraria yang merampas 11,7 juta Ha wilayah adat, dan mengakibatkan 925 warga Masyarakat Adat dikriminalisasi. Enam puluh orang warga Masyarakat Adat mengalami kekerasan dan luka-luka, bahkan ada yang meninggal dunia karena mempertahankan tanah air-wilayah adatnya (AMAN, 2024).

Terkait perampasan wilayah adat, sepanjang 2023, AMAN juga mencatat, sebagian besar tindakan perampasan wilayah adat, disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban dengan 204 orang di antaranya luka-luka, satu orang ditembak sampai meninggal dunia, dan kurang lebih 100 rumah warga Masyarakat Adat dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara (AMAN, 2024).

Ketiadaan UU Masyarakat Adat adalah cermin dari alpanya kerja-kerja legislasi yang berpihak pada Masyarakat Adat. Nyatanya, Masyarakat Adat tidak memiliki saluran politik formal yang dapat dipercaya dan andalkan untuk dapat melahirkan kebijakan publik yang berpihak pada mereka.

Mangkraknya RUU Masyarakat Adat lebih dari satu dekade menunjukkan ketidakberpihakan negara pada isu Masyarakat Adat. Situasi ini diperparah dengan problem sektoral di berbagai kementerian/lembaga. Ketika terdapat persoalan yang menyangkut Masyarakat Adat, upaya penyelesaiannya kerap dihadapkan pada tembok tebal bernama birokrasi negara. Oleh karenanya, gagasan untuk masuk dan terlibat secara langsung dalam politik praktis adalah sebuah pilihan yang layak ditempuh oleh komponen Masyarakat Adat.

Keterlibatan secara praktis dalam politik, tentu dengan tujuan menghadirkan keterwakilan Masyarakat Adat di parlemen nasional maupun lokal, telah dilakukan AMAN pada Pemilu 2024. AMAN mengutus 32 utusan politik Masyarakat Adat untuk bertarung di Pileg 2024: 3 calon anggota DPD RI, satu calon anggota legislatif DPR RI, 5 calon anggota legislatif DPRD Provinsi, dan 23 calon anggota legislatif DPRD kabupaten/kota (AMAN, 2024).

Aleta Kornelia Baun, caleg DPR RI yang bertarung di Dapil NTT II adalah sebagai contoh keikutsertaan Masyarakat Adat dalam pemilu. Mama Aleta diutus masyarakat adat Tiga Batu Tungku di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk maju dalam palagan elektoral menuju Senayan.

Kendati sudah berpengalaman menjadi anggota DPRD Provinsi NTT pada periode 2014-2019, maju menjadi caleg di level nasional adalah sebuah pengalaman yang jelas berbeda. Berbagai keterbatasan menjadi tantangan yang dihadapi Mama Aleta dalam melakukan kerja-kerja politiknya setiap hari.

Kendati Mama Aleta mendapatkan kesempatan diusung oleh salah satu partai peserta pemilu, namun, pertanyaan struktural yang dapat diajukan dalam konteks demokrasi elektoral Indonesia secara umum adalah: apakah partai politik kita benar-benar memiliki komitmen yang nyata dalam menjalankan fungsi intermediarinya? Apakah partai politik kita sudah benar-benar menyerap, mengagregasi, dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan Masyarakat Adat di parlemen?

Jika kembali pada fakta belum hadirnya Undang-Undang Masyarakat Adat di Indonesia, kondisi tersebut jelas menunjukkan belum adanya keberpihakan representasi politik formal di parlemen, guna mendesak negara untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak Masyarakat Adat seutuhnya.

Tatkala video Hana Rawhiti Maipi Clarke tiba di layar gawai kita, di satu sisi memang menjadi semacam pemantik bagi tumbuhnya optimisme. Pijar harapan seakan masih sangat mungkin diupayakan menyala di Indonesia. Namun, di sisi yang lain, berkaca pada berbagai catatan buruk dalam sistem pemilu dan kepartaian kita, harapan tersebut seakan terus digelayuti oleh pesimisme yang sangat beralasan. Sebuah pesimisme yang menghantarkan kita pada keyakinan, apa yang terjadi di Maori adalah utopia yang seakan tidak akan mungkin hadir di Indonesia.

Perjuangan bagi hadirnya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat oleh negara sepenuhnya adalah sebuah pekerjaan yang panjang dan entah berujung kapan. Masih begitu banyak energi yang dibutuhkan untuk terus mengupayakan itu semua. Kita mungkin masih belum sepenuhnya percaya pada politik representasi yang kini eksis. Namun, bagaimanapun, visi menjadikan Masyarakat Adat berdaulat secara politik harus dilakukan dengan keterlibatan langsung mereka secara praktis. Masyarakat Adat harus menjadi juru bicara bagi kebenaran di kamar perwakilan. Semua prosesnya, mau tidak mau, harus dimulai sejak sekarang.

Nanang Suryana dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Unpad

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial