Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 17 Desember 2025
November dua tahun yang lalu menjadi bagian yang sulit dilupakan Desi—bukan nama sebenarnya. Pengemudi transportasi online melakukan pelecehan terhadap pekerja di Jakarta ini. Desi mengaku tidak berani melaporkan kejadian tersebut karena takut potensi ancaman dari pelaku dan jejaring ojek daring lainnya.
Peristiwa itu terjadi pada dini hari saat Desi harus berangkat sekitar pukul 04.30 WIB dari daerah Jakarta Barat menuju Tangerang. Ia memesan layanan transportasi daring seperti biasanya tanpa rasa curiga. Pengemudinya seorang pria paruh baya, awalnya tampak ramah. Namun suasana berubah menjadi mencekam ketika pengemudi mulai mengeluarkan komentar seksis dan menunjukkan gelagat mencurigakan.
"Awalnya bapaknya cerita biasa saja, tapi lama-lama dia mulai ngomong soal gaya seks, yang menurutku nggak pantas. Dia juga ngelirik aku lewat spion sambil ngomongin tubuhku," ungkap Desi kepada detikX.
Komentar-komentar pelecehan seksual dari pengemudi membuat Desi makin tidak nyaman, terutama ketika dia menyadari jalur yang dilalui bukanlah rute biasa menuju Serpong. Desi pun memutuskan menghubungi temannya, berpura-pura ditelepon dan dimarahi karena terlambat, dengan harapan bisa memberikan sinyal ia dalam pengawasan seseorang.
“Aku share live location ke temanku dan minta dia telepon driver itu langsung. Untungnya, temanku sangat tegas dan bilang ke pengemudi kalau live location-ku aktif dan dia bisa melapor kalau ada hal mencurigakan. Setelah itu, pengemudi akhirnya menghentikan mobil di pinggir jalan dan menurunkan aku,” ceritanya.
Namun kejadian tersebut tidak berakhir di situ. Desi memilih tidak melaporkan kejahatan seksual ini ke platform transportasi online.
“Aku takut. Pengemudi itu tahu alamat kosku. Kalau aku kasih rating jelek atau komentar buruk, bisa saja aku digeruduk, apalagi solidaritas mereka kan sering kuat,” katanya.
Selain itu, Desi merasa fitur darurat dalam aplikasi kurang meyakinkan karena responsnya dinilai tidak cukup cepat untuk situasi seperti yang ia alami.
Ketakutan seperti yang dirasakan Desi adalah hal yang umum dialami oleh korban pelecehan. Dalam banyak kasus, korban lebih memilih diam daripada melaporkan karena khawatir dengan konsekuensi yang mungkin mereka hadapi: mulai intimidasi pelaku hingga response system yang kurang memadai.
Sementara itu, Desi berharap kisahnya menjadi pengingat pentingnya untuk meningkatkan keamanan dalam layanan transportasi online, baik bagi pengguna maupun pengemudi.
“Aku beruntung ada teman-teman yang sigap menolongku. Kalau tidak, aku nggak tahu apa yang akan terjadi,” tutupnya.
Korban lainnya, Christie, menyoroti lemahnya mitigasi dan penanganan laporan oleh perusahaan penyedia layanan transportasi tersebut. Christie menceritakan insiden pelecehan seksual yang dialaminya pada 9 Juli 2024 oleh seorang pengemudi taksi online. Meskipun telah melaporkan kejadian tersebut, respons yang diterimanya dari pihak manajemen terkesan formalitas dan kurang empati. Ia menyatakan tanggapan yang diberikan hanya berupa 'bahasa komputer' tanpa solusi konkret.
Christie juga membandingkan pengalamannya dengan insiden yang terjadi pada 2019 dengan perusahaan taksi konvensional. Saat itu manajemen menunjukkan kepedulian dengan datang langsung untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam penanganan kasus oleh perusahaan.
Salah satu masalah utama yang disoroti adalah lemahnya penerapan sanksi terhadap pelaku. Christie mengungkapkan, meskipun laporan sudah diterima dan bukti cukup jelas, pelaku hanya dikenai sanksi suspend (penangguhan sementara) tanpa diputus kemitraannya secara permanen. Langkah itu menunjukkan perusahaan tidak menerapkan aturan secara ketat untuk melindungi korban atau mencegah terulangnya kasus serupa.
Selain itu, Christie mengungkapkan dilema yang dihadapinya dalam memutuskan apakah akan melaporkan kasus tersebut ke polisi atau tidak. Ia mempertimbangkan dampak psikologis dan proses hukum yang mungkin panjang, serta kurangnya dukungan dari pihak perusahaan.
Pengalaman serupa juga dialami korban lain yang minta identitasnya dirahasiakan. Ia diabaikan oleh perusahaan operator ojol saat menggunakan tombol bantuan darurat di aplikasi dan mengirim aduan. Baru, setelah kasusnya viral, perusahaan tersebut tergopoh-gopoh menghubungi korban.
"Pas kejadian, aku langsung cas ponsel, terus pencet darurat berkali-kali, sampai aku (kirimi) direct message nggak bales," ucapnya kepada detikX pekan lalu.
Sementara itu, saat lapor ke kepolisian, korban diminta datang kembali di lain hari dan dijanjikan akan ditemui polwan. Sayangnya, saat datang kembali, korban diminta menghadap polisi laki-laki.
"Waktu itu yang piket pak polisi (laki-laki). Pas aku cerita kronologi, dia bilang proses ini bakal lama loh, makan waktu setengah bulan. (Kata polisi) mau 10 atau 20 pengacara sekalipun, prosesnya tetap sama karena antre. Terus sampai sekarang aku masih belum dapat kejelasan dari pihak kepolisian atas kasus aku," ucap korban.
Pengalaman para korban mencerminkan perlunya perbaikan sistem mitigasi dan penanganan laporan kekerasan seksual oleh perusahaan penyedia layanan transportasi online. Ruang aman untuk melapor, respons yang cepat, empati, dan tindakan tegas terhadap pelaku sangat diperlukan untuk memastikan keselamatan serta kenyamanan penumpang.
Kasus ini juga menekankan pentingnya edukasi dan pelatihan bagi pengemudi mengenai perilaku yang pantas serta prosedur penanganan keluhan yang efektif. Tanpa adanya langkah konkret, kepercayaan publik terhadap layanan transportasi online dapat terus menurun, dan kasus serupa mungkin akan terus berulang.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad atau yang akrab disapa Cak Fu mengatakan pihaknya mendukung adanya sikap dan sanksi tegas kepada para pelaku yang melakukan kekerasan di ojek maupun taksi online.
“Ketika korban mengalami pelecehan seksual, perusahaan (seharusnya) tanpa ragu akan mem-banned mitra atau driver yang terlibat, sehingga mereka tidak lagi bisa beroperasi sebagai driver,” kata Bahrul kepada detikX pekan lalu.
Tindakan tegas seperti ini, menurut Cak Fu, penting untuk memastikan tidak ada toleransi terhadap kekerasan seksual. Jika dibiarkan, pelecehan verbal atau tindakan lain berpotensi berkembang menjadi bentuk kekerasan seksual yang lebih parah.
“Prinsip kami jelas, tidak ada negosiasi terhadap kekerasan seksual. Korban harus dilindungi dan dihargai sebagai manusia yang merdeka,” tegasnya.
Di sisi lain, menurut Cak Fu, transportasi online sebagai ruang publik masih menjadi area rawan bagi kekerasan seksual. Data dari kasus di lapangan dan media sosial menunjukkan ancaman tersebut tetap tinggi. Untuk itu, penting bagi konsumen untuk memanfaatkan fitur berbagi perjalanan (share trip) dengan keluarga atau teman, membatalkan pesanan jika ada tanda-tanda mencurigakan sebelum naik, atau segera meminta turun jika merasa tidak nyaman saat perjalanan. Langkah-langkah tersebut dianggap dapat membantu mengurangi potensi risiko kekerasan.
Meski langkah pencegahan terus diupayakan, Cak Fu mengungkapkan, masih ada kendala dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama di tingkat aparat penegak hukum. Banyak korban yang merasa laporan mereka tidak ditanggapi serius.
“Beberapa aparat masih kurang sensitif terhadap kasus pelecehan seksual. Mereka sering menganggap remeh laporan korban, misalnya dengan mengatakan bahwa korban terlalu sensitif atau mengada-ada,” kata Cak Fu.
Jika menghadapi respons seperti ini, ia menyarankan korban melapor ke Komnas Perempuan. “Kami akan memberikan rekomendasi kepada kepolisian agar kasus diproses secara adil dan menggunakan perspektif gender yang berpihak pada korban,” tegasnya.
“Komnas Perempuan selalu siap memberikan dukungan. Jangan takut melapor, karena perlindungan terhadap korban adalah prioritas utama,” sambungnya.
Director of Trust & Safety and Grab Support Radhi Juniantino mengeklaim pihaknya telah mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai pedoman utama dalam menangani kasus-kasus semacam ini.
"Kami tidak menoleransi tindak kekerasan dalam bentuk apa pun," tegas Radhi kepada detikX secara tertulis pada Senin, 16 Desember 2024.
Grab mengklaim memiliki tim khusus bernama Incident Response Team yang dilatih menangani kasus kekerasan seksual. Setelah laporan diterima, tim ini menjangkau pelapor atau pihak ketiga yang mengirimkan laporan maksimal dalam 30 menit.
Jika ada mitra pengemudi yang terbukti melakukan kekerasan seksual, Grab tidak segan memberikan sanksi tegas, termasuk penonaktifan akun, pemutusan hubungan kemitraan, hingga masuk daftar hitam. Konsumen yang melakukan pelanggaran serupa juga akan dikenai sanksi yang sepadan.
Sementara itu, pihak Gojek secara tertulis mengatakan kepada detikX bahwa pihaknya mengeklaim akan menindak laporan kekerasan seksual baik bersifat fisik maupun nonfisik. Pelaporan dapat dilakukan melalui halaman bantuan di aplikasi Gojek atau driver Gojek ataupun melalui tombol darurat yang ada di aplikasi.
Gojek juga mengklaim pelaku kekerasan seksual di ekosistem Gojek (baik driver ataupun pelanggan), apabila terbukti, akan mendapatkan sanksi berupa pemblokiran akun secara permanen. Sedangkan bagi korban, Gojek menawarkan bantuan yang dibutuhkan mencakup pemulihan medis, psikologis, hingga pendampingan hukum apabila korban ingin memproses ke pihak berwajib.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Natasya Oktavia Raymond (magang)
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim