Demarkasi Petugas Partai dan Pejabat Publik

2 weeks ago 19

Jakarta -

My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins. "Kesetiaanku kepada partai berakhir, di mana kesetiaanku kepada negara dimulai". Penggalan kalimat itu adalah ungkapan monumental Manuel Luis Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina 1935-1944.

Manuel L. Quezon mendapatkan tempat khusus dalam sejarah gerakan politik dan pemerintahan negara Filipina. Oleh sebagian rakyat Filipina ia diakui sebagai presiden kedua (Second President of the Philippines), pengganti Presiden Emilio Aguinaldo. Walaupun pada era Filipina modern, Manuel L. Quezon kerap diperdebatkan. Sebagian senator Filipina dewasa ini menolak mengakuinya sebagai presiden kedua.

Terlepas dari berbagai perdebatan dan penolakan itu, loyalitas dan nasionalisme Manuel L. Quezon memberikan kontribusi besar bagi negara Filipina. Pemerintah Filipina secara resmi menempatkannya sebagai "Bapak Bahasa Nasional", menandai kontribusinya dalam sejarah reformasi gerakan politik dan pemerintahan Filipina.

Manuel L. Quezon terpilih sebagai Presiden dalam pemilihan Presiden Nasional pertama Filipina pada tahun 1935, diusung oleh Partai Nasionalista. Begitu terpilih, ia mengikrarkan mengakhiri loyalitasnya kepada partainya sehingga tidak lagi terikat dan dipasung oleh kepentingan partai. Sebagai Presiden, Manuel L. Quezon menegaskan loyalitasnya hanya pada kepentingan negara. Sikap yang terkesan naif bagi kalangan politisi dewasa ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Garis Demarkasi

Ungkapan Manuel L. Quezon itu mencerminkan adanya demarkasi antara petugas partai dan pejabat publik. Seorang kader atau anggota partai akan berakhir loyalitas kepada partainya begitu ia menjadi pejabat publik. Garis demarkasi ini memagari seorang pejabat publik agar tidak terpengaruh oleh kepentingan satu kelompok yang mengakibatkannya tidak bisa berlaku adil.

Di Indonesia, pengalaman traumatik Presiden Jokowi dan PDIP --memposisikan seorang presiden dan secara bersamaan adalah petugas partai-- telah mendapatkan kritik dan sentimen negatif. Intrik demikian juga berimbas pada pencalonan Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, yang menurut lembaga-lembaga survei menjadi salah satu penyebab merosotnya elektabiltas Ganjar-Mahfud pada Pilpres 2024 lalu.

Seorang kader partai politik memang dituntut untuk loyal kepada partainya. Namun, loyalitas kepada partai akan menjadi masalah besar jika mengikat sampai ia menjadi pejabat publik. Karena pejabat publik hanya boleh dituntun oleh nilai luhur, dalam bahasa Bung Karno, leitstar, dan visi kenegaraan yang jauh lebih khidmat dari kepentingan partai.

Itu sebabnya, seorang kader partai yang terpilih sebagai pejabat publik hanya boleh memiliki loyalitas kepada negara. Partai politik hanyalah kendaraan, bukan tujuan dari pengabdian, karena kepentingan negara berada pada tarafnya yang paling tinggi. Inilah jalan dan momentum bagi seorang politisi (kader partai) menjadi seorang negarawan.

Presiden, Menteri, Gubernur hingga Bupati/Walikota hanya terikat oleh kepentingan negara. Sejatinya, mereka adalah para negarawan yang mesti memberikan suri tauladan dan pengabdian nyata. Demikian juga dari sisi tindakan, loyalitas itu pertama kali tercermin dalam ketaatan dan kepatuhan mereka pada hukum.

Terlepas setuju atau tidak dengan metode retret untuk kepala daerah, secara normatif ketentuannya berlaku dan mengikat. Ketentuannya diatur dalam Undang-undang 24/2014, Peraturan Pemerintah 12/2017, Peraturan Presiden 98/2016, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri 9/2023. Penolakan terhadap retret memungkinkan dilakukan dengan jalan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, bukan melalui instruksi ketua partai.

Beberapa kepala daerah yang diusung PDIP yang baru dilantik mulai melakukan pembangkangan atas dasar perintah atau instruksi ketua partai. Fenomena ini adalah sinyalemen kegagalan memaknai demarkasi petugas partai dan pejabat publik, antara tuntunan negara atau tuntutan partai.

Pembangkangan semacam ini lebih dari urusan politik-administratif, tetapi menyangkut komitmen dan loyalitasnya kepada rakyat dan negara. Karena pembangkangan terhadap hukum adalah pembangkangan terhadap negara (disobedience of the law is disobedience of the state).

Merugikan Rakyat

Dalam hubungan pusat dan daerah, pemerintah daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Program daerah banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat. Acap disharmoni dan ketegangan hubungan vertikal ini berimbas pada terhambatnya pembangunan daerah.

Pembangkangan para kepala daerah yang diusung PDIP itu menandai babak baru kehadiran model oposisi vertikal (bottom-up). Berdasarkan instruksi ketua partai, para kepala daerah dari PDIP mulai dikondisikan untuk menjadi oposisi pemerintah pusat.

Barang tentu sikap semacam ini akan sangat merugikan rakyat di daerah. Karena bagaimanapun, daerah memerlukan perhatian pemerintah pusat untuk membangun dan berakselerasi. Disharmoni ini dapat mengakibatkan tidak optimalnya dukungan serta program dari pemerintah pusat terhadap daerah.

Itulah mengapa pentingnya memberi garis demarkasi antara loyalitas pada partai dan loyalitas pada negara. Jika semua pejabat publik --yang mayoritas adalah kader partai-- dipasung dan dituntun loyalitas pada partai, maka republik ini tidak lebih dari lahan tambang bagi mereka, penyakit akut yang belum lekas membaik. Bila loyalitas pada partai masih menjadi penentu, maka loyalitas pada rakyat dan negara hanyalah omong kosong.

Kembali ke Manuel L. Quezon, politisi kita perlu diingatkan untuk naik kelas. Sangat terbuka ruang bagi politisi untuk menjadi seorang negarawan. Asal syaratnya satu, jika telah terpilih sebagai pejabat publik, maka akhiri kesetiaan pada partai, dan gelorakan kesetiaan itu pada negara. Hanya tunduk pada konstitusi, bukan instruksi ketua umum.

Asrizal Nilardin Wakil Direktur Analisis Kebijakan Publik LKBHMI, alumni Magister Hukum UII

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial