Jakarta - Di persimpangan transformasi BUMN, Danantara berdiri dengan dua kemungkinan, menjadi katalis perubahan yang mematahkan tradisi kegagalan holding BUMN, atau sekadar menambah daftar panjang eksperimen gagal BUMN, yang mungkin saja malah menjadi alat legitimasi untuk menyetir dana publik dengan kemasan yang lebih legitimate? Tampaknya kegalauan memilih tujuan kelembagaan inilah yang menjadi alasan mandeknya peluncuran Danantara hingga hari ini.
Sejak awal diperbincangkan, Danantara digadang-gadang sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui pengelolaan secara profesional terhadap beberapa aset BUMN potensial yang berada di bawah payung Indonesia Investment Authority (INA). Danantara pada tahap awal diproyeksikan akan menghimpun aset yang tersebar di tujuh BUMN, yakni Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, dan Mind Id dengan akumulasi aset mencapai Rp 9.085 triliun.
Pemerintah optimistis Danantara akan bertransformasi menjadi sovereign wealth funds (SWF) terbesar ke-4 di dunia dengan target kapitalisasi aset yang cukup ambisius mencapai Rp 15.000 triliun. Namun, gemerlap peluncuran Danantara sebagai 'Temasek ala Indonesia' tampaknya perlu dibenturkan dengan fakta empiris bahwa pemerintah sejauh ini gagal dalam mencapai restrukturisasi BUMN melalui konsolidasi perusahaan holding.
Holding perkebunan PTPN III menjadi bukti nyata: laba yang terpuruk di angka 8,7%, aset yang terus menyusut, dan likuiditas yang kian menipis sejak didirikan 2014. Kondisi serupa juga dialami BUMN Karya, holding raksasa yang terdiri atas beberapa BUMN di bidang infrastruktur, yang konsisten menabung beban utang dengan nilai ratusan triliun sejak didirikan. Sebuah warning keras bahwa struktur holding saja tak cukup untuk menyulap BUMN menjadi korporasi yang sehat dan bonafide.
Riset terbaru Bennedsen & Curtis (2023) mengenai The Impact of Institutions on the Performance of State-Owned Enterprises mengungkap bahwa keberhasilan SWF seperti Temasek Holdings (yang menjadi role model Danantara) dalam mereformasi perusahaan yang didanainya tidak semata-mata terletak pada struktur holding ataupun kapitalisasi aset.
Temasek mampu memberikan impresi positif pada perusahaan yang didanainya salah satunya dengan menerapkan triple lockdown governance secara konsisten. Strategi ini terdiri atas independensi kepengurusan, mekanisme pelaporan yang bertanggung jawab, serta komitmen mengisolasi kepentingan elite dan politik dari ekosistem bisnis.
Sayangnya, kondisi yang bertolak belakang terjadi dalam pengelolaan BUMN di Indonesia saat ini. Dalam hal kepengurusan, tradisi pengangkatan komisaris dan direksi BUMN Indonesia cenderung berkelindan dengan intervensi politik dan kepentingan. Pengisian jabatan pimpinan BUMN lebih ditentukan oleh portofolio koneksi politik yang dimiliki ketimbang kompetensi dan rekam jejak profesional.
Dalam hal transparansi, gap-nya bahkan lebih menganga. Terbukti dengan IHPS BPK 2023 bahkan menunjukkan lebih dari 50% BUMN kita masih resisten dalam mempertanggungjawabkan aktivitas korporasinya melalui suatu laporan perusahaan yang terukur dan komprehensif.
Optimisme Bersyarat
Di tengah permasalahan dan ambivalensi yang telah terpapar jelas, masihkah relevankah menginisiasi Danantara untuk 'menyelamatkan' BUMN Indonesia? Jawabannya tergantung pada iktikad di balik inisiatif ini: transformasi sungguhan atau sekadar memberikan packaging baru pada praktik lama?
Kalau sasarannya adalah komitmen transformasi total, maka kehadiran Danantara berpotensi menjadi tipping point dalam lanskap BUMN Indonesia. Berkaca dari sepak terjang Temasek, eksistensinya sebagai pemegang saham dominan di beberapa perusahaan besar seperti Schneider Electric dan AS Watson terbukti memberikan transisi signifikan pada kepatuhan alokasi modal serta akuntabilitas pengelolaannya.
Peran yang sama dapat dimainkan oleh Danantara dalam menggembleng BUMN Indonesia yang masih pesakitan. Namun, tentu optimisme ini harus dibarengi dengan komitmen implementasi corporate governance secara serius. Pertama, dalam konteks kepengurusan, pemilihan Muliaman Darmansyah Hadad dan Kaharuddin Djenod menjadi ujung tombak Danantara adalah keputusan yang tepat sasaran mengingat rekam jejak keduanya di dunia perencanaan strategis dan transformasi institusi.
Namun, pemerintah perlu memastikan bahwa Danantara dapat beroperasi secara independen tanpa keterlibatan Kementerian BUMN dan Kementerian Investasi dan Hilirisasi selain dalam hal pengaturan dan pengawasan. Tujuannya adalah memutus intervensi politik dan dualisme pengelolaan BUMN dengan kementerian/lembaga lain.
Kedua, dalam konteks akuntabilitas, Danantara perlu memberi perhatian serius pada penguatan transparansi, melalui sistem pelaporan dan business plan yang memenuhi standard global seperti SDGs dan prinsip-prinsip Environment, Social, and Governance (ESG). Kedua elemen ini perlu diimplementasikan baik terhadap internal Danantara maupun BUMN yang akan diakuisisi asetnya.
Now, the ball is on our court. Dengan leadership yang kredibel, framework governance yang jelas, dan independensi total dari kepentingan politik, Danantara punya peluang signifikan menjadi game changer dalam ekosistem ekonomi Indonesia.
Muhammad Ikhsan Alia dosen Universitas Andalas
(mmu/mmu)