Bukan Unggulan, Mungkinkah Paus Baru Datang dari Negara Non-Katolik?

5 hours ago 5

Peringatan artikel ini memuat akhir dari film Conclave.

Empat calon kuat dari ratusan kardinal berkumpul di ruangan yang terkunci dalam pertemuan yang rahasia yang bernama konklaf.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tengah jalan, dua nama baru yang tidak diperhitungkan sebelumnya muncul dan menguat.

Satu dari "dua kuda hitam" yang namanya bahkan hampir tak terdengar sebelum konklaf, akhirnya terpilih menjadi Paus yang baru, dan ia datang dari negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Tetapi ini hanya terjadi film fiksi produksi Hollywood Conclave yang mulai tayang tahun lalu dan memenangkan penghargaan Oscar.

Konklaf yang sebenarnya baru akan digelar pada 7 Mei mendatang untuk memilih Paus baru menggantikan Paus Fransiskus, yang meninggal 21 April lalu,

Konklaf adalah proses pertemuan para kardinal yang dilakukan secara tertutup dan rahasia di Kapel Sistina, Vatikan, untuk memilih Paus yang baru.

Konklaf yang berbeda

College of Cardinals yang tersebar di seluruh dunia saat ini berjumlah 252 orang.

Dari jumlah ini, 135 orang di antaranya berhak dipilih dan memilih karena berusia kurang dari 80 tahun.

Tapi karena dua orang sudah memberikan konfirmasi tidak akan hadir karena alasan kesehatan, angkanya menjadi 133.

Berdasarkan sebaran geografis, College of Cardinals datang dari tujuh benua, 94 negara, 71 negara di antaranya memiliki kardinal elektor atau kardinal yang berhak dipilih dan memilih dalam konklaf.

Eropa punya 53 kardinal elektor, sisanya berasal dari Asia sebayak 23 kardinal elektor dari Asia, 18 dari Afrika, 17 dari Amerika Selatan, 16 dari Amerika Utara, sementara dari kawasan Oceania dan Amerika Tengah masing-masing empat kardinal elektor.

Associate Professor Joel Hodge, National Head of the School of Theology dari Australian Catholic University, mengatakan konklaf kali ini akan berbeda karena komposisi yang dihasilkan dari proses selama 70 tahun terakhir atas upaya Pope John Paul II and Benedict XVI.

"Sekarang kita punya lebih banyak perwakilan dari luar Eropa," katanya.

"Memang perwakilan Eropa masih kuat, tapi ada juga negara-negara yang sebelumnya tidak pernah punya kardinal, misalnya Timor Leste, tetangga di Asia Tenggara, yang baru untuk pertama kalinya memiliki kardinal."

"Dia akan ikut pemilihan Paus untuk pertama kalinya. Ini peristiwa yang bersejarah," kata Profesor Hodge kepada ABC.

Bisa saja, tapi seberapa mungkin?

Para kardinal dari Asia dan luar benua Eropa, termasuk Kardinal Filipina Luis Antonio Tagle, dianggap sosok yang bukan unggulan dalam konklaf.

Meski demikian, faktanya Kardinal Tagle datang dari negara dengan mayoritas Katolik di Asia Tenggara.

Karena tidak semua kardinal elector datang dari negara dengan mayoritas Katolik, skenario film fiksi Conclave merebak kembali: apakah mungkin Paus yang terpilih berasal dari negara yang mayoritasnya non-Katolik?

Profesor Hodge menyebut kemungkinan itu selalu ada.

"Saya pikir itu tentu saja mungkin. Bisa saja [yang menjadi Paus] adalah seseorang yang datang dari negara yang mayoritas penduduknya, bukan Katolik," katanya.

"Ini sangat tergantung dari tipe orangnya, teologinya, spiritualitasnya, dan tipe kepemimpinan mereka."

Ia menambahkan masalah geopolitik tentu akan "menjadi perhatian" para kardinal dalam arti Paus yang terpilih harus mampu mengelola hubungan yang sangat kompleks di seluruh dunia.

Ia mengatakan meskipun negara dengan mayoritas Katolik umumnya menghasilkan lebih banyak panggilan, di mana para Kardinal berasal, Paus Fransiskus memilih kardinal dari negara-negara yang bukan mayoritas Katolik, seperti Mongolia, yang memiliki populasi Katolik yang sangat kecil.

"Jadi itu tentu saja mungkin, tetapi seberapa besar kemungkinannya, kita lihat saja nanti," katanya.

"Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di dalam konklaf, karena seperti kata pepatah Italia, Anda masuk ke konklaf sebagai Paus, dan keluar sebagai Kardinal."

"Kadang-kadang memang bisa saja terjadi, mereka yang difavoritkan akhirnya terpilih. Dan di lain waktu, yang terjadi adalah kejutan. Jadi, ya, kita lihat saja nanti."

Yang terlemah dari yang bukan unggulan

Faktanya, negara yang bukan mayoritas Katolik tidak melulu berarti minim aktivitas gereja, seperti yang pernah disampaikan Paus Fransiskus usai lawatan terakhirnya sebelum ia wafat.

"Di Indonesia, hanya sekitar 10 persen penduduknya Kristiani, dan hanya tiga persen di antaranya Katolik, minoritas."

"Tapi yang saya temukan adalah gereja yang hidup dan dinamis, yang mampu menghidupi dan menyebarkan kebaikan Tuhan di negara yang memiliki budaya yang sangat beragam, dan pada saat yang sama juga memiliki jumlah umat Muslim terbesar di dunia," ujar Paus Fransiskus di plaza St Pietro Basilica tahun lalu.

Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo adalah salah satu kardinal elektor yang menghadiri konklaf di Vatikan pekan depan.

Tidak seperti kardinal negara tetangganya, nama Kardinal Indonesia yang berusia 74 tahun ini nyaris tidak pernah terdengar menjelang konklaf, mungkin karena Suharyo sendiri tidak pernah ingin menjadi Paus, meskipun ia cukup lantang dan progresif di Indonesia.

Ketika pemerintah Indonesia berencana untuk memberikan izin tambang pada organisasi keagamaan, Kardinal Suharyo menolaknya.

Ia menggarisbawahi kalau Konferensi Wali Gereja adalah ormas yang dibangun di atas hukum gereja, tidak boleh mencampuradukkan urusan agama dan bisnis.

"Saya tidak akan minta izin tambang atau izin mendirikan rumah ibadah, saya hanya ingin pemerintah menjalankan perannya dengan baik," kata Kardinal Suharyo.

Ia juga dikenal membangun tim awam, beranggotakan para profesional Katolik yang ahli di berbagai bidang untuk memberikan masukan dan update, serta berdiskusi dengannya.

Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta Vincentius, Adi Prasojo, yang 12 tahun terakhir melayani dengan Romo Suharyo, mengatakan Uskup Agung Jakarta ini tidak punya ambisi.

"Saya bisa pastikan hanya ada satu yang beliau pikirkan, yaitu pelayanan pada gereja," ujarnya

"Tidak punya misi kekuasaan atau jabatan, dan hanya memikirkan pelayanan kepada umat," kata Romo Adi yang berada di Vatikan menjelang persiapan konklaf kepada ABC Indonesia.

Pada kesempatan yang lain, Kardinal Suharyo mengatakan kalau "dipilih menjadi Paus itu bukan ambisi, bukan jenjang karir yang semakin naik, tapi persis sebaliknya."

"Kalau ada orang bercita-cita jadi Paus, dia itu, maaf ya, bodoh," kata Kardinal Hardjoatmodjo kepada wartawan di Jakarta (28/04).

Namun karena apa pun bisa terjadi dalam konklaf, Romo Adi mengatakan Kardinal Suharyo akan "menerimanya sebagai bentuk ketaatan" jika terpilih.

Walau sama-sama berasal dari negara non-katolik, Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar relatif lebih dikenal dibanding Suharyo dan dianggap berpeluang dalam pemilihan Paus.

"Ia banyak dibicarakan sebagai salah satu kandidat, meskipun saya pikir itu kecil kemungkinannya, tetapi ia harus menunjukkan kepemimpinan politik, spiritual, moral dalam situasi yang sangat sulit di Myanmar dan di bawah konflik sipil dan pemerintahan militer dan semua hal semacam itu," kata Profesor Hodge.

"Jadi, ia adalah orang yang mengesankan dan seseorang yang harus mengelola dan hidup dalam situasi yang sangat sulit dan memberikan bimbingan iman dan spiritual serta bimbingan moral."

Tetapi lagi-lagi, sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi di balik pintu yang terkunci itu.

"Konklaf kali ini tampaknya akan lebih lama dari biasanya, butuh waktu karena sepertinya tidak ada calon yang dominan … yang disampaikan oleh media selama ini pun hanya prediksi," kata Romo Adi.

Dua konklaf yang terakhir berakhir dalam waktu dua hari, ketika satu calon memperoleh dua pertiga suara.

Konklaf yang terlama terjadi selama hampir tiga tahun saat memilih pengganti Paus Klementius IV, dimulai pada November 1268 dan berakhir September 1271.

Dan siapa pun yang keluar dari ruangan itu sebagai Paus yang baru, nantinya punya setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

"Tentu saja, seputar reformasi gereja, khususnya seputar reformasi keuangan dan seluruh perlindungan anak serta krisis pelecehan seksual dan investigasi kejahatan tersebut, itu adalah isu yang masih berlangsung," kata Profesor Hodge.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial