Jakarta -
Setelah hampir 19 bulan berkonflik, warga Gaza mulai kehabisan cara untuk bertahan hidup dan khawatir dengan kondisi masa depan. Blokade Israel atas semua pasokan bantuan kemanusiaan dan komersial telah berlangsung selama dua bulan. Namun, pengeboman Israel di seluruh Gaza masih terus berlanjut.
"Kenyataan di Gaza tidak bisa digambarkan," kata Ahmad Qattawi kepada DW melalui sambungan telepon dari Kota Gaza. "Kami hidup dalam tragedi, mencoba bertahan hidup tanpa mengetahui keselamatan kami nantinya. Kami mungkin bisa bertahan hidup, tapi jiwa kami sudah lama mati. Ketakutan akan serangan bom adalah salah satu penyebabnya, dan menemukan makanan yang cukup adalah masalah lainnya."
"Kami sibuk mencari makan setiap hari, menyimpan makanan untuk beberapa hari ke depan," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami makan dengan hemat, dan cukup."
Sejumlah lembaga bantuan secara konsisten memperingatkan tentang meningkatnya risiko malnutrisi dan kelaparan akibat penutupan toko-toko roti, melambungnya harga bahan makanan pokok, dan penutupan perbatasan yang terus berlanjut.
Sejumlah kecil sayuran masih tersedia di pasaran, tapi sekarang harganya tidak terjangkau bagi kebanyakan orang. Harga-harga melambung tinggi dan banyak warga Gaza yang tidak memiliki penghasilan. Satu kilogram tomat, bahan pokok di dapur-dapur Palestina, sekarang harganya sekitar 30 shekel (sekitar Rp137 ribu). Padahal sebelum perang harganya hanya 1-3 shekel (sekitar Rp4-13.000). Saat ini, satu kilogram gula bisa mencapai lebih dari 60 shekel (sekitar Rp274 ribu).
'Tak ada tempat aman'
"Sepanjang sejarah Gaza, kami tidak pernah mengalami situasi seperti ini," kata Direktur Jaringan Organisasi Nonpemerintah Palestina (Palestinian Non-Govermental Organizations Network/PNGO), Amjad Shawa, kepada DW lewat sambungan telepon. "Ini adalah bencana."
"Ada serangan udara, artileri, serangan ke tenda-tenda, dan ke tempat perlindungan," ujar Shawa. "Tidak ada tempat aman. Ditambah lagi, semua orang kelaparan. Bahkan, secara pribadi, kami tidak tahu harus makan apa. Hampir tidak ada apa-apa."
Shawa menyatakan bahwa warga merasa terus terdesak dan disudutkan tanpa ada tanda-tanda situasi akan berakhir. "Hal terburuk bagi kami sebagai pekerja kemanusiaan adalah kami tidak bisa berbuat apa-apa, tidak punya apa-apa untuk diberikan," jelasnya. "Kami berusaha sekuat tenaga memberi harapan di sana-sini, tapi di sisi lain, kami adalah bagian dari masyarakat dan tidak bisa memisahkan diri dari keadaan ini."
Kemudian, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Office for the Coordination of Humanitarian/OCHA) menyatakan bahwa sistem layanan kesehatan Gaza "berada di ambang kehancuran, kewalahan menangani korban massal dan sangat terhambat oleh pemblokiran total yang memutus pasokan obat-obatan penting, vaksin, hingga peralatan medis."
Badan Pangan Dunia (WFP) baru-baru ini mengumumkan bahwa stok makanan mereka untuk Gaza telah habis, dan sisa persediaan terakhir dikirimkan ke dapur umum yang menyediakan makanan dasar bagi kelompok paling rentan, serta sisa tepung terigu ke para tukang roti.
"Pada 31 Maret, semua 25 tukang roti yang didukung WFP tutup karena stok tepung terigu dan bahan bakar memasak habis," kata WFP dalam sebuah pernyataan. "Di minggu yang sama, paket makanan WFP yang dibagikan ke keluarga, yang isinya stok makanan untuk dua minggu, juga telah habis. WFP sangat prihatin dengan kekurangan air bersih dan bahan bakar untuk memasak sehingga memaksa warga mencari barang apa saja yang bisa dibakar untuk memasak."
Hidup dalam rasa takut
Saat persediaan menipis, kekhawatiran tentang cara menghidupi keluarga mengalahkan segalanya, kata Mahmoud Hassouna, warga Kota Khan Younis di Gaza selatan, kepada DW melalui telepon. Pemuda 24 tahun ini mengungsi di awal perang 2023, saat rumah keluarganya hancur akibat serangan bom Israel.
Dia menghabiskan hari dengan beraktivitas di sekitar rumah darurat keluarganya dan membantu ibunya menyiapkan makanan. "Kami kembali bergantung pada makanan kaleng," ungkapnya. "Kami tak punya cukup uang untuk membeli sayuran, yang harganya melambung tinggi di pasaran."
Tugas Hassouna adalah mencari kayu bakar, yang sekarang menjadi sangat sulit karena sebagian besar pohon telah ditebang atau hancur oleh bom. Banyak warga nekat memasuki rumah-rumah yang hancur untuk menyelamatkan pintu atau barang kayu.
"Hampir dua tahun hidupku dihabiskan di bawah bom, pembunuhan, dan kematian. Aku bahkan tak lagi mengenali diriku sendiri."
Gencatan senjata yang dimulai Januari 2025 dan berlangsung hingga awal Maret 2025 sempat memberi sedikit kelegaan bagi warga Gaza, sekaligus waktu untuk mengisi pasokan gudang organisasi bantuan. Namun, situasi kembali memburuk ketika Israel melanggar gencatan senjata dan melanjutkan serangan pada 18 Maret 2025, setelah fase pertama kesepakatan gencatan dan pembebasan sandera berakhir, sementara negosiasi fase kedua gagal.
Sebelum melanggar gencatan senjata, pemerintah Israel telah memerintahkan penutupan semua perlintasan perbatasan dan menghentikan seluruh pengiriman bantuan kemanusiaan serta komersial ke Gaza.
Strategi 'tekanan penuh' Israel
Blokade ini merupakan bagian dari strategi yang disebut pihak Israel sebagai "tekanan maksimum" untuk memaksa Hamas membebaskan sisa sandera di bawah kesepakatan baru gencatan senjata sementara, sekaligus bertujuan menggulingkan kelompok militan Palestina tersebut. Pejabat Israel menuduh Hamas mencuri bantuan kemanusiaan dan menggunakannya untuk pasukan mereka sendiri.
Media Israel melaporkan bahwa dewan keamanan sedang menyiapkan persetujuan rencana operasional untuk memperluas serangan militer, termasuk memanggil pulang puluhan ribu pasukan cadangan. Hanya saja, belum dijelaskan waktu pelaksanaan ekspansi tersebut.
Hamas menolak semua tuntutan pelucutan senjata dan bersikeras pada kesepakatan yang menjamin berakhirnya perang.
Sejak penyerangan Hamas pada 7 Oktober 2023, pejabat Israel menyatakan 59 sandera masih berada di Gaza, dengan kurang dari separuhnya diperkirakan masih hidup.
Pekan lalu, jumlah korban tewas di Gaza telah melampaui 52.000, menurut data Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas. Sementara, ribuan lainnya diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan.
Bantuan kemanusiaan jadi alat politik Israel?
Sejumlah lembaga bantuan hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuduh Israel menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat politik. Tindakan ini berpotensi menjadi kejahatan perang karena berdampak pada seluruh populasi Gaza yang berjumlah 2,2 juta jiwa.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB bidang Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Tom Fletcher, mengingatkan Israel dalam sebuah pernyataan: "Hukum internasional cukup jelas: Sebagai kekuatan pendudukan, Israel wajib mengizinkan akses bantuan kemanusiaan. Bantuan, dan nyawa sipil yang diselamatkannya, tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar."
Sepanjang perang, populasi Gaza hampir sepenuhnya bergantung pada bantuan dan pasokan komersial dari luar. Militer Israel secara terus menerus membuat warga mengungsi hingga membentuk zona penyangga besar di utara, perbatasan timur, serta selatan, yang berakibat pada hilangnya akses warga Palestina ke lahan pertanian paling subur di Gaza.
"Secara sederhana, Israel tidak hanya menghalangi makanan masuk ke Gaza, tetapi juga menciptakan keadaan yang membuat warga Palestina tidak bisa menanam atau memproduksi makanannya sendiri," ujar Gavin Kelleher, pekerja kemanusiaan Dewan Pengungsi Norwegia yang baru kembali dari Gaza, dalam konferensi pers.
Warga Gaza juga melaporkan adanya insiden penjarahan gudang serta suasana mencekam dan keamanan internal yang rapuh selama serangan Israel.
Berdasarkan laporan OCHA pada hari Kamis (01/05): "Serangan baru-baru ini dilaporkan menghantam gedung permukiman dan tenda pengungsian, terutama di Rafah dan Gaza Timur. Hingga Selasa (29/04), lembaga kemanusiaan memperkirakan lebih dari 423.000 orang di Gaza kembali mengungsi tanpa adanya tempat aman."
Ini menjadi mimpi buruk bagi Mahmoud Hassouna. "Harapanku satu-satunya adalah tidak lagi mengungsi," katanya. "Setelah itu, aku ingin perang mengerikan ini berakhir."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Penulis adaptasi: Muhammad Hanafi
Editor: Hani Anggraini
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini