Ambang Batas Perselisihan Hasil Pilkada

4 weeks ago 20

Jakarta -

Pesta demokrasi lokal terbesar sepanjang sejarah Indonesia baru saja digelar. Saat ini Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih berada pada tahapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara pasca pemilihan pada 27 November lalu. Banyak Kabupaten/Kota bahkan Provinsi yang telah selesai berhitung dengan dikeluarkannya Keputusan KPU.

Keputusan KPU terkait rekapitulasi hasil itulah objek utama yang akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika dianggap tidak 'menyenangkan' pasangan calon yang suaranya tertinggal. Hingga kini, sudah hampir mencapai 300 permohonan perselisihan hasil Pilkada (PHPKada). Meski demikian, dalam pengajuan permohonan PHPKada ke MK, tidak semua pihak dapat mengajukan permohonan.


Regulasi Ambang Batas

Aturan mengenai permohonan PHPKada di MK tersebut setidaknya diatur ke dalam dua peraturan. Pertama, Pasal 158 UU Pilkada (UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang mengalami perubahan melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 dan UU Nomor 10 Tahun 2016) dan Pasal 4 Peraturan MK tentang Hukum Acara PHPKada yang terbaru, yaitu Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (PMK 3 Tahun 2024).

Pasal 158 UU Pilkada mengatur ambang batas perbedaan suara yang bisa diajukan sebagai perselisihan hasil di MK. Ambang batas ini ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk di wilayah yang bersangkutan, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, ambang batas perbedaan suara yang dapat diajukan sebagai perselisihan adalah maksimal 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara.

Sementara itu, untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari dua juta jiwa hingga enam juta jiwa, ambang batas perbedaan suara yang dapat diajukan adalah maksimal 1,5%. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari enam juta jiwa hingga 12 juta jiwa, ambang batasnya adalah 1%, dan untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa, ambang batas perbedaan suara yang bisa diajukan adalah 0,5%.

Di tingkat kabupaten/kota, ambang batas juga diatur sesuai dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. Untuk kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk hingga 250.000 jiwa, perbedaan suara yang dapat diajukan sebagai perselisihan hasil Pilkada adalah maksimal 2%. Sementara untuk kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa hingga 500.000 jiwa, ambang batasnya adalah 1,5%. Terakhir, untuk kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa hingga 1 juta jiwa, ambang batas yang dapat diajukan adalah 1%.

Hitung-hitungan yang demikian, kini oleh MK dimaknai secara opsional saja. Pasal 4 PMK 3 Tahun 2024 hanya memuat mengenai siapa yang dapat menjadi pemohon, yaitu pemohon yang dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada adalah pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota, atau pemantau pemilihan, dalam hal hanya terdapat satu paslon yang ikut serta dalam pemilihan.

Ambang batas yang diatur rigid oleh UU Pilkada itu hanya disebutkan pada lampiran PMK 3 Tahun 2024 dalam Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon di poin kedudukan hukum pemohon selain yang disebutkan Pasal 4 PMK tersebut, yakni dengan frasa "Alasan-alasan lain yang terkait dengan syarat formil lainnya (misalnya: jika diperlukan, antara lain ketentuan Pasal 158 UU 10/2016)."


Perkembangan Pola Ambang Batas

Jika dirunut, penerapan ambang batas ini sempat diuji melalui judicial review di MK. Dalam putusan Nomor 51/PUU-XIII/2015 dan Nomor 58/PUU-XIII/2015, MK menegaskan bahwa ketentuan mengenai ambang batas ini adalah tetap konstitusional dan sah untuk diterapkan.

MK berpendapat bahwa ambang batas dalam UU Pilkada dibuat dengan tujuan untuk membangun struktur dan substansi politik yang lebih matang serta mendorong etika politik yang lebih baik. Dengan demikian, penerapan ambang batas diharapkan dapat menciptakan budaya politik yang lebih dewasa di Indonesia. Dalam praktiknya, penerapan ambang batas ini oleh MK tidak selalu konsisten.

Berdasarkan analisis terhadap putusan-putusan MK, ada tiga pola penerapan Pasal 158 yang mengatur ambang batas dalam perselisihan hasil Pilkada. Pertama, Pasal 158 diterapkan sepenuhnya pada awal proses perselisihan, yang berarti bahwa MK langsung menerapkan ambang batas untuk menilai apakah perselisihan tersebut dapat diterima atau tidak. Pola ini diterapkan pada penyelesaian sengketa PHPKada pada tahun 2015 dan beberapa perkara lainnya, terutama jika dalam sidang pendahuluan terdapat dalil-dalil yang sangat tidak meyakinkan.

Kedua, MK mengesampingkan penerapan Pasal 158 dengan alasan kasuistik, yaitu jika terdapat pelanggaran Pilkada yang belum diselesaikan oleh penyelenggara Pemilu. Dalam hal ini, MK menunda penerapan ambang batas karena penerapannya bisa membatasi proses pemeriksaan pelanggaran yang terjadi. Hal ini terjadi pada putusan MK di 2017 yaitu Pilkada Kabupaten Tolikara, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Yapen, dan di 2021 antara lain, Kabupaten Boven Digoel, Kota Banjarmasin, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Sabu Raijua.

Ketiga, penerapan Pasal 158 ditunda, artinya MK memberikan waktu bagi pemohon untuk membuktikan dalil atau dugaan pelanggaran Pilkada sebelum ambang batas diterapkan. Setelah bukti-bukti pelanggaran diklarifikasi dan hasil Pilkada sudah dianggap sah, maka MK baru menerapkan Pasal 158 untuk menilai apakah perselisihan dapat diterima berdasarkan ambang batas yang ditentukan. Penerapan ini terjadi pada Putusan MK di 2018, yaitu Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, dan tahun 2021, yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Samosir, Kabupaten Nias Selatan, dan Kabupaten Pesisir Barat.

Alasan-alasan di balik pengesampingan atau penundaan penerapan ambang batas ini sangat bervariasi, tergantung pada kondisi yang terjadi dalam setiap perselisihan. Sebagai contoh, MK dapat mengesampingkan penerapan Pasal 158 jika ada rekomendasi dari Panwaslih atau Bawaslu yang tidak dijalankan oleh KPU, atau jika ada kejadian luar biasa (force majeure) yang mengganggu proses rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Selain itu, MK juga dapat mengesampingkan atau menunda penerapan ambang batas jika ditemukan pelanggaran dalam proses pemungutan suara, seperti adanya mobilisasi pemilih yang tidak sah atau manipulasi dalam penghitungan suara. Sebaliknya, apabila dalil atau tuduhan pelanggaran tersebut terbukti tidak terbukti, maka MK akan melanjutkan penerapan Pasal 158 dan menetapkan bahwa perselisihan tidak memenuhi ambang batas dan tidak akan diperiksa lebih lanjut.


Fleksibilitas Ambang Batas?

Secara keseluruhan, penerapan ambang batas pengajuan permohonan perselisihan hasil Pilkada di MK menunjukkan adanya pendekatan yang fleksibel dan responsif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi dalam setiap Pilkada. Meskipun ada ketentuan yang jelas mengenai ambang batas, MK tetap mempertimbangkan faktor-faktor lain yang lebih bersifat kasuistik, seperti pelanggaran pemilu dan permasalahan administratif lainnya, dalam memutuskan apakah ambang batas dapat diterapkan atau tidak.

Oleh karena itu, meskipun ambang batas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan efisiensi dalam penyelesaian perselisihan Pilkada, penerapannya tetap bergantung pada kondisi konkret dari setiap kasus yang dihadapi. Penerapan ambang batas yang fleksibel ini mencerminkan upaya untuk menciptakan keadilan yang tidak hanya formal, tetapi juga substantif, dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil Pilkada.

Selain itu, dengan adanya fleksibilitas ambang batas, permohonan sengketa PHPKada dikhawatirkan akan "membludak" di MK. Hal ini tidak sesuai dengan semangat awal dari keberadaan ambang batas yang diatur Pasal 158 UU Pilkada, yakni untuk membatasi perkara PHPKada di MK. Setidaknya, substansi ini harus menjadi perhatian pembentuk peraturan perundang-undangan, yakni DPR dan Pemerintah, untuk dirumuskan baik ke dalam perbaikan regulasi hukum acara MK dan juga desain perselisihan Pemilu/Pilkada ke depan.

Retno Widiastuti dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti PSHK Fakultas Hukum UII

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial