Jakarta -
Indonesia resmi menjadi salah satu mitra BRICS, yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Negara-negara ini membentuk kekuatan ekonomi.
Pendiri lembaga penelitian dan pelatihan Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, mengatakan dengan bergabung sebagai mitra BRICS, Indonesia dapat ikut terlibat dalam skema perdagangan global khususnya dengan negara-negara berkembang.
Sebab selama ini, sejumlah organisasi atau lembaga internasional yang menjadi penghubung perdagangan antara Indonesia dengan negara lain seperti G77 dan WTO belum banyak memberikan hasil. Sehingga penting bagi Indonesia untuk membuka peluang kerja sama baru melalui blok ekonomi ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keuntungannya adalah bahwa Indonesia terlibat dalam skema kerja sama antar negara-negara selatan yang baru dibentuk. Kita tahu bahwa saat ini fungsi pertemuan PBB misalnya G77 untuk negara-negara berkembang, negara-negara global south itu kurang efektif. Demikian pula nggak ada hasil yang menggembirakan bahkan sudah 20 tahunan lebih," kata Dinna kepada detikcom, Jumat kemarin.
"Kemudian dari segi kerja sama dengan WTO, juga negara berkembang dalam posisi yang sulit. Cukup banyak produk-produk negara berkembang yang memang tidak bisa difasilitasi kebutuhannya untuk tetap produksi, kemudian bisa masuk penetrasi ke pasar negara-negara maju, itu sangat sulit dicapai," sambungnya.
Belum lagi menurutnya negara-negara anggota utama BRICS seperti China dan Rusia seringkali dalam posisi yang sulit untuk masuk dalam perdagangan internasional. Sehingga peluang kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan anggota BRICS jadi semakin terealisasi.
"Sehingga mereka butuh betul jalur alternatif untuk tetap bisa berproduksi, berdagang, dan punya valuta asing untuk eksistensi mereka di tingkat ekonomi, makanya ada BRICS. Tapi mereka juga tahu bahwa nggak mungkin mereka dapat kerja sama pasar dari negara lain, kalau nggak dengan menggalang kerja sama yang lebih luas," papar Dinna.
Kemudian ada juga keuntungan dari model kerja sama dalam BRICS ini berbeda dengan sistem yang sudah dibangun oleh negara-negara barat lainnya. Semisal untuk transaksi antar negara, BRICS mengandalkan sistem SWAP daripada SWIFT code.
"Jadi harapannya itu kalau di negara barat, soalnya Indonesia kan relatif sudah nggak dihitung lagi sebagai negara low income, makanya kita kalau pinjam uang pun, berutang, bunganya sudah tinggi," ungkapnya.
Di luar itu, Dinna berpendapat dengan menjadi mitra geng Rusia-China ini akan membuat negara-negara barat dapat memberikan rasa hormat atau pandangan lebih kepada Indonesia. Sebab mereka jadi paham betul bahwa negara-negara barat bukanlah satu-satunya mitra dagang yang bisa diandalkan Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah berpendapat secara umum Indonesia tidak mendapat nilai tambah yang besar dengan menjadi negara mitra BRICS.
Sebab selama ini Indonesia sudah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan negara-negara anggota geng Rusia-China ini.
"Saya kira sih sama aja. Ini kita sebenarnya sebagai mitra BRICS itu kita sebenarnya tidak ada sesuatu yang istimewa karena sebelumnya hubungan kita dengan China, dengan India, dengan Rusia itu ya sudah baik," kata Piter.
Sehingga menurutnya kemitraan ini hanya menjadi salah satu sarana mempererat hubungan diplomatik antara Indonesia dengan negara-negara anggota BRICS saja.
Walaupun langkah ini juga merupakan hal yang penting mengingat para anggota geng Rusia-China ini masih memiliki potensi perdagangan yang besar dengan Indonesia.
"Mungkin yang hanya bisa lebih ditindaklanjuti seharusnya itu adalah misalnya terkait dengan potensi perdagangan dengan Brazil ya, atau termasuk dengan Rusia," ucapnya.
"Rusia kan kita sudah berhubungan baik, tapi kalau secara perdagangan masih kurang ya. Mungkin melalui kemitraan ini bisa dimanfaatkan lebih gitu," sambungnya.
Meski begitu, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana berpendapat dalam bermitra Indonesia tetap harus menjaga 'jarak aman' dengan dengan BRICS. Hal ini menjadi penting mengingat RI juga berencana untuk bergabung dengan OECD.
Sebab menurutnya keberadaan blok ekonomi BRICS ini berada di posisi saling berlawanan dengan OECD, mengingat bagaimana negara-negara anggota blok tersebut kerap bermasalah dengan negara-negara barat yang merupakan anggota OECD.
"Kita tahu bahwa OECD sama BRICS ini sebenarnya agak berhadapan-hadapan. Karena OECD kan Amerika dan negara-negara Eropa gitu kan, sementara kalau BRICS itu lihatlah ada Rusia, ada Cina di situ, ada India, Brazil," kata Hikmahanto.
"Tapi kalau misalnya Presiden Prabowo mengatakan ingin menjaga jarak yang sama dan non blok, berarti kita boleh juga tuh kalau misalnya kita join ke BRICS, kira-kira seperti itu," terangnya.
Untuk itu menurutnya pemerintah harus mengkaji lebih jauh terkait keterlibatan Indonesia dalam kelompok 'anti-barat' yang dikepalai Rusia-China ini sehingga tidak mengganggu hubungan bilateral atau perdagangan dengan negara lain, termasuk blok ekonomi OECD.
"Pertanyaannya adalah apakah kalau kita jadi anggota OECD membuat kita tidak boleh masuk dalam BRICS, atau sebaliknya kalau kita menjadi anggota BRICS kita tidak boleh masuk ke OECD. Karena Indonesia sekarang ini sudah dalam tahap persiapan akan masuk ke OECD," ucapnya.
"Nah kalau misalnya kita ternyata boleh masuk di dua-duanya kenapa nggak untuk kepentingan nasional kita?" tutup Hikmahanto.
(fdl/fdl)