Jakarta - Saat ini perekonomian Indonesia tengah dihadapkan kepada fenomena ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara nyata di berbagai sektor ekonomi. Kendati data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka terus menurun ke angka 4,91 persen (%) pada Agustus 2024, namun dampak ancaman PHK sangat terasa terutama di industri manufaktur. Salah satunya adalah pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Jawa Tengah.
Sekitar 50 ribu karyawan Sritex terancam terkena PHK karena persoalan bahan baku sudah menipis. Sebagaimana dikeluhkan Presiden Komisaris Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, bahan baku yang dimiliki Sritex hanya cukup untuk tiga minggu ke depan. Itu sebabnya, manajemen memutuskan untuk meliburkan ribuan karyawannya. Bahan baku yang akan masuk masih terkendala administrasi di tengah proses appraisal atau penghitungan nilai aset oleh kurator. Manajemen menyebut, jika proses itu belum juga selesai dalam waktu dekat, maka akan ada ancaman PHK bagi karyawan yang dirumahkan.
Pailitnya Sritex sudah tentu menjadi pukulan berat terhadap dunia industri manufaktur kita. Apalagi Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil dan garmen terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Kita pun patut mengapresiasi langkah yang diambil Presiden Prabowo untuk membantu Sritex keluar dari jurang kepailitan dengan menugaskan empat kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Keuangan, BUMN, dan Tenaga Kerja.
Ini bisa dikatakan sebagai langkah awal yang baik; namun jika gagal mengatasinya hanya akan mempersulit ruang gerak pemerintah dalam membenahi industri manufaktur dan perekonomian nasional ke depan, terutama dalam mengatasi ancaman PHK.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Ketenagakerjaan (satudata.kemnaker.go.id), jumlah tenaga kerja yang terkena PHK periode Januari - Oktober 2024 telah mencapai 63.947 orang. Sekalipun masih bersifat data sementara, namun angka ini naik 40,31% dibanding periode sama pada 2023 yang tercatat 45.576 orang.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sendiri terus memverifikasi data terkini karena jumlah itu adalah yang dilaporkan perusahaan ke Kemnaker. Barangkali fakta di lapangan bisa jadi lebih besar mengingat tidak semua perusahaan melaporkan PHK yang mereka lakukan. Selain itu, belum semua korban PHK mendapat manfaat jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
Bukan Fenomena Biasa
Perkembangan jumlah PHK yang kian masif tidak bisa dipandang hanya sebagai fenomena biasa dalam konteks makroekonomi. Ancaman PHK yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti saat ini. Salah satu dampak secara langsung adalah penurunan daya beli.
Ketika pekerja terkena PHK, mereka tak lagi memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat kehilangan pekerjaannya. Pada akhirnya menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga. Tak heran bila kemudian muncul istilah 'makan tabungan' dan 'makan utang' bagi pekerja dan buruh yang masuk kelas menengah-bawah akibat pendapatan mereka tergerus.
Hasil Survei Potret Kesejahteraan Karyawan Terdampak PHK yang dilakukan Badan Amil Zakat Nasional pada Agustus 2024, misalnya, menunjukkan bahwa penurunan pendapatan yang dialami oleh 97,35% responden setelah terkena PHK menyebabkan dampak ekonomi yang signifikan. Adapun sebagian besar responden (80,85%) mempertimbangkan atau memulai usaha mandiri. Sementara itu, penggunaan pinjaman online sebagai solusi darurat oleh 37,50% responden mencerminkan kebutuhan mendesak untuk mendapatkan dana tambahan.
Untuk itu, pemerintah dalam mengatasi ancaman PHK ini dapat melakukan beberapa langkah, antara lain perlu mendorong terciptanya program-program jaring pengaman sosial yang lebih efektif bagi para pekerja yang terdampak PHK. Program bantuan sosial dan pelatihan vokasional bagi mereka yang kehilangan pekerjaan bisa membantu para pekerja beradaptasi dengan kondisi baru dan mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor lain yang masih membutuhkan tenaga kerja.
Pemberian insentif fiskal disertai revisi kebijakannya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan segera, sehingga industri nasional bisa tumbuh membaik. Apalagi, selama ini kebijakan impor barang menjadi ancaman bagi industri manufaktur nasional. Pada akhirnya, kita pun hanya bisa berharap sambil menunggu kepastian implementasi salah satu misi Asta Cita pemerintahan baru yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah PHK, yakni meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.
Achmad Ali, SST, M.Agb pemerhati ekonomi, Statistisi Ahli Madya di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali
(mmu/mmu)