Ilustrasi : Nama ilustrator
Jumat, 13 Desember 2024
Orang kaya dan berpengaruh di Hindia Belanda (kini Indonesia) sering berkumpul di gedung Societeit Harmoni, Batavia di era 1900-an. Mereka semua mengenal sosok Meneer Sonneveld. Karena pria asal Belanda yang memiliki kulit putih sedikit kecokelatan, kumis baplang, dan luka di pipi kanannya itu sering datang untuk pesta.
Nama lengkapnya Arnaud Marinus Sonneveld (A.M Sonneveld). Ia lahir di pedesaan Aarle-Rixtel, Laarbeek, Brabant, Belanda, 6 Januari 1868. Gaya hidup Sonneveld yang mewah bak crazy rich terlihat menonjol setelah dia bekerja di bank swasta Batavia (kini Jakarta), yakni Nederlandsch Indie Escompto Maatschappij (NIEM) pada 1907.
Bank rintisan Paulus Tiedeman dan Carel Wiggers van Kerchem pada 1857 adalah lembaga keuangan terbesar kedua setelah De Javasche Bank (Bank of Java). Di kemudian hari, bank itu dinasionalisasi pemerintah Indonesia menjadi Bank Dagang Negara (BDN) pada 1960. Setelah merger dengan Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Ekspor Impor Indonesia (Eksim) jadilah Bank Mandiri yang didirikan pada 1999.
Sejatinya Sonneveld bukan berlatarbelakang dari keluarga orang kaya. Ayahnya, Hermanus Jacobus Sonneveld, dan ibunya, Anna Antonia van Vuuren, berasal dari keluarga kelas menengah-bawah. Ayahnya seorang tukang kayu sekaligus pedagang biji-bijian di kawasan Waalwijk, Belanda bagian selatan.
Tidak ada catatan perjalanan hidup Sonneveld saat kanak-kanak hingga remaja. Namun, berdasarkan data yang dikutip dari laman Brabants Historisch Informatie Centrum (BHIC), jejak A.M Sonneveld ditemukan saat berdinas sebagai tentara Kerajaan Belanda, Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL), di Hindia Belanda.
Kantor Bank Nederlandsch Indie Escompto Maatschappij (NIEM) di Batavia pada 1937.
Foto : Repro Buku Rendezvous Batavia, Aankomst in Koloniaal Jakarta
Sonneveld terlibat dalam operasi militer melawan pemberontakan rakyat di Sumatera. Sonneveld yang saat itu diberi pangkat Sersan Mayor Infanteri mendapatkan tugas melawan pemberontakan di wilayah Palembang dan Jambi. Dia di antaranya ikut dalam peperangan di Desa Jati Belarik, Desa Lubuk Napal, Desa Batanghari, dan Desa Muara Tebo di Jambi.
Karena jasanya itu, Sonneveld diangkat menjadi Ksatria Kelas 4 Ordo Willem dengan disematkan bintang jasa Militaire Willemsorde Darde Klasse dari Ratu Belanda pada 7 Maret 1904. Sebagai ksatria atau pahlawan, Sonneveld menyandang gelar panggilan Weledelgestrenge Heer atau Tuan yang Terhormat.
Saat berdinas di militer, Sonneveld diangkat menjadi pengawas sementara di Departemen Bea dan Cukai Impor dan Ekspor pada akhir 1904 dengan gaji 75 gulden per bulan. Sayangnya, karir militer selanjutnya terhenti begitu saja. Dia dikabarkan mengundurkan diri, tapi versi lainnya dia dipecat karena melakukan pelanggaran.
“Rupanya kelakuannya tidak senonoh. Pangkat terakhirnya Sersan Mayor. Ia di-onslag (diberhentikan) kata orang dulu,” tulis Abdul Hakim dalam buku ‘Jakarta Tempo Doeloe’ (1989), terjemahan dari buku ‘Jaarboek van Batavia en Omstreken, Batavia’ karya J.J. de Vries tahun 1927.
Sonneveld orang Eropa berkulit putih tentu dengan mudah mendapatkan perkerjaan baru di Hindia Belanda. Dia langsung diterima bekerja di bank Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij, yang berkantor di Weltervreden, Batavia. Saat berusia 38 tahun, Sonneveld menikahi perempuan pribumi berusia 26 tahun bernama Caritas Regensburg pada 1907.
Karena pekerjaan Sonneveld diaggap baik, dia dipromosikan menjadi Kepala Kasir dengan gaji 400 gulden. Nilai gaji itu terbilang cukup besar saat itu. Hampir setiap hari Sonneveld dan istrinya bolak-balik ke tempat hiburan malam di pusat kota Batavia, Societet Harmoni.
Di tempat itu, Sonneveld dan istrinya pesta, berdansa, dan sering memesan sajian makanan yang mahal. Semahal apapun harganya, dengan mudah uang keluar dari kocek Sonneveld. Temannya yang menjadi pembesar, pengusaha dan pejabat pemerintah Hindia Belanda tidak ada yang curiga dengan gaya hidup mewah dan foya-foya Sonneveld.
A.M. Sonneveld dan istrinya.
Foto : Repro Buku Jakarta Tempo Doeloe
Mereka hanya tahu bahwa Meneer Sonneveld orang kaya, apalagi melihat riwayat pekerjaannya, juga seorang mantan tentara KNIL yang menerima tanda jasa dari Kerajaan Belanda. Sampai akhirnya, sikap mereka berubah usai membaca pemberitaan sejumlah koran pada awal September 1913.
Hampir semua koran yang ada di Hindia Belanda melaporkan tentang kasus pencurian uang nasabah di Bank Escompto, Batavia. Koran Deli Courant (edisi 5 September 1913) dan de Sumatra Post (edisi 6 September 1913) melaporkan, Sonneveld telah mencuri atau menggelapkan uang nasabah sebesar 122.000 gulden. Tapi versi lain melaporkan uang yang digelapkan mencapai total 220.000 gulden.
Pada 1913, nilai 122 ribu gulden mungkin bisa membeli emas seberat 73 kilogram. Saat itu, untuk 1 gram emas dihargai 1,67 gulden. Bila dikonversi ke masa sekarang, 1 gram emas seharga Rp 1,366 juta atau 1 kilogram seharga Rp 1,366 miliar. Maka jumlah 73 kilogram emas nilainya bisa mencapai Rp 99,718 miliar. Nilai cukup fantastis di masa itu.
Karena cara kotor menggelapkan uang nasabah diketahui oleh pihak Bank Escompto (NIEM), Sonneveld dan istrinya kabur ke luar kota. Polisi Batavia lalu menetapkan pasangan suami-istri itu sebagai buronan dan menyebarluaskan deskripsi fisiknya di sejumlah koran dan tempat umum.
De Sumatra Post pada 6 September 1913 mewartakan ciri-ciri fisik Sonneveld, yakni berusia 45 tahun, berkulit cokelat, berdarah Belanda, ada bekas luka di pipi kanan dan lutut. Sonneveld dan istrinya Caritas diketahui pergi dari Batavia menuju Bandung menggunakan kereta api dari Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur).
Di Bandung mereka sempat menginap di sebuah hotel selama beberapa hari. Lalu melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Koran Bataviaasch Nieuswblas pada 7 September 1913 melaporkan, selama perjalanan di kereta api, Sonneveld sempat bertemu dengan seorang temannya, yaitu Williemse, seorang pemilik rumah makan di Batavia.
Kepada temannya itu Sonneveld mengatakan dirinya akan pergi menuju Hongkong dari Surabaya. Alasannya akan studi banding ke kantor Bank Escompto cabang Hongkong. Williemse melaporkan apa yang diceritakan Sonneveld kepada polisi. Namun Sonneveld dan istrinya sudah pergi dengan menumpang kapal berbendera Jepang, Banri Maru.
Dikutip dari koran Pinang Gazette and Straits Chronicle, 16 September 1913, otoritas di Singapura menerima telegram dari Batavia tentang pelarian Sonneveld dan Caritas menggunakan kapal Banri Maru. Beberapa hari kemudian, Sonneveld dan istrinya ditangkap setelah kapal berbendera Jepang itu berlabuh di pelabuhan Hongkong.
Suasana pesta di Societet Harmonie, Batavia tempo dulu.
Foto : Common Wikimedia
Polisi baru mengetahui bahwa sebelumnya Sonneveld dan Caritas berencana akan pergi ke Manila (Filipina). Saat kapal itu berlayar menuju Hongkong, Sonneveld mengubah rencana akan pergi ke Jepang dengan alasan negara Sakura tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hindia Belanda. Untuk memulangkan Sonneveld dan Caritas ke Batavia prosesnya panjang.
Sonneveld dan Caritas menghadapi persidangan terlebih dahulu sebelum diekstradisi. Akhirnya, pada 30 Oktober 1913, Sonneveld dan Caritas diputuskan pengadilan dipulangkan ke Batavia dengan menumpang Kapal Tjibodas dari Hongkong. Setibanya di Batavia, Sonneveld dan Caritas diadili di Raad van Justitie, tepatnya Desember 1913.
Dikutip dari koran Warna Warta yang terbit di Semarang, 12 Februari 1914, sidang di Raad van Justitie dipimpin oleh Mr. Luijke Roskott dengan hakim anggota Mres Filet dan Taytelbaum. Sedangkan Sonneveld dan Caritas didampingi pengacara bernama Mr. Vyan Dijk Jr. Sementara jaksa penuntutnya, Mr. Hesselink, sebagai perwakilan dari Kementerian Publik.
Di dalam persidangan, Sonneveld bersikeras bahwa dia tidak bersalah. Dia mengklaim memiliki banyak uang dari hasil spekulasi memenangkan judi. Sonneveld dituduh telah menyembunyikan surat dokumen pencatatan dan kunci brankas uang atau kluis (peti besi), penyimpanan uang.
Seorang saksi mengatakan, sebelum Sonneveld menghilang pada 30 Agustus 1913, telah menerima surat bukti penerimaan uang nasabah sebesar 104 ribu rupiah. Saksinya adalah seorang kasir keturunan warga Tionghoa dan seorang Bumiputera. Keesokan harinya, saat dicek kunci peti besi dan surat dokumen hilang. Penerimaan uang nasabah juga tak dicatat dalam buku besar Bank Escompto.
Sonneveld bersikeras tidak bersalah atas tuduhan tersebut. Dia mengklaim memiliki uang dari spekulasi dan memenangkan lotre dan judi. Dia juga mengaku memang membutuhkan banyak uang untuk membiayai operasi yang mahal, karena istrinya tengah menderita kanker payudara.
Hakim Raad van Justitie memutuskan vonis penjara 5 tahun kepada Sonneveld. Sementara istrinya, Caritas, menerima ganjaran penjara selama 3 bulan. Sonneveld sempat mengajukan banding sebanyak dua kali, tapi sia-sia. Sonneveld sempat menerima pengurangan masa tahanan selama tiga bulan pada 24 Juli 1917.
Kantor Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij di Batavia pada 1915.
Foto : Wereldmuseum Amsterdam
Hakim Raad van Justitie memutuskan vonis penjara 5 tahun kepada Sonneveld. Sementara istrinya, Caritas menerima ganjaran penjara selama 3 bulan. Sonneveld sempat mengajukan banding sebanyak dua kali, tapi sia-sia. Sonneveld sempat menerima pengurangan masa tahanan selama tiga bulan pada 24 Juli 1917.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad, 21 November 1916, memuat berita kecil tentang pencabutan gelar Kesatria Kelas 4 Militaire Willemsorde, telah diterimanya pada 7 Maret 1907. Setelah bebas, Sonneveld meninggalkan kota Batavia.
Sonneveld dikabarkan meninggal dunia diusia 65 tahun di Salatiga, Jawa Tengah, pada 3 September 1933. Sementara Caritas, istrinya sudah berpisah lama sejak Sonneveld masih berada di tahanan. Bagaimana nasib Caritas selanjutnya, tidak ada yang mengetahuinya lagi.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban