Jakarta -
Netflix merupakan aplikasi atau situs yang menawarkan layanan streaming film ataupun series dari berbagai negara dan berbasis di Amerika Serikat. Untuk dapat menikmati layanan Netflix, pengguna harus membayar sejumlah uang sebagai biaya berlangganan. Dilansir dari laman Business of Apps, pada 2023 situs ini menghasilkan pendapatan sebesar 33,7 miliar dolar AS, angka yang cukup fantastis dan sebagian dari angka tersebut berasal dari Indonesia. Namun, dengan pendapatan sebegitu besarnya, apakah Netflix membayar Pajak Penghasilan (PPh) atas pendapatan yang diperoleh dari Indonesia?
Untuk dapat dikatakan wajib membayar PPh, suatu pihak harus memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai wajib pajak PPh. Dan, salah satu syarat subjektif bagi perusahaan seperti Netflix adalah memiliki kantor cabang atau perwakilan pihaknya di Indonesia. Hal ini akan membuat Netflix berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan menjadi wajib pajak PPh serta wajib membayar PPh.
Namun, hingga artikel ini dibuat, Netflix belum mendirikan kantor sebagai perwakilannya di Indonesia. Hal ini membuat Netflix belum berstatus BUT dan juga belum menjadi wajib pajak PPh. Oleh karena itu, hingga 2024 Netflix tidak membayar PPh atas pendapatan yang diperoleh dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal seperti ini menjadi tantangan perpajakan yang terjadi di hampir semua negara, di mana perusahaan multinasional tidak mendirikan kantor di negara yang menjadi pangsa pasarnya, sehingga tidak memiliki status BUT yang membuat perusahaan multinasional tadi tidak membayar pajak di negara tersebut. Permasalahan seperti ini terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan cukup menjadi fokus negara-negara besar agar dapat diselesaikan dengan menghadirkan solusi terbaik.
Solusi OECD
Pada 8 Oktober 2021, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengeluarkan pernyataan OECD/G20 yang disebut Two Pillar Solution atau Solusi Dua Pilar yang dianggap sebagai solusi atas permasalahan perpajakan tersebut. Solusi ini dianggap memberikan keadilan perpajakan dalam dunia digital seperti sekarang ini. Lalu, apa solusi yang ditawarkan OECD?
OECD adalah organisasi kerja sama antarnegara yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, dan pembangunan berkelanjutan. OECD juga menjadi organisasi untuk menjalin kerja sama ekonomi dan pembangunan. Organisasi ini aktif dalam membahas solusi atas permasalahan perekonomian yang terjadi secara global, termasuk pada bahasan perpajakan kali ini.
Secara garis besar, Two Pillar Solution berisi dua kebijakan utama yang mengatur perpajakan internasional yang timbul akibat digitalisasi ekonomi. Fokus utamanya adalah membuat perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di tempat mereka beroperasi, bukan hanya di negara dengan tarif pajak rendah.
Pilar satu berlaku bagi perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan global lebih besar dari 20 miliar Euro dengan keuntungan lebih dari 10% dari pendapatan. Pilar ini menegaskan bahwa negara pasar atau tempat produk barang/jasa digunakan mendapatkan hak untuk memungut pajak atas pendapatan perusahaan. Sebesar 25% keuntungan residu, yaitu keuntungan di atas 10% dari pendapatan akan dibagi ke negara pasar. Dengan mekanisme seperti ini tercipta sistem pajak yang berkeadilan bagi segala pihak.
Pilar dua berlaku bagi perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan global lebih besar dari 750 juta Euro. Pilar ini bertujuan agar perusahaan perusahaan multinasional membayar pajak minimum sebesar 15% atas pendapatannya di seluruh dunia dan untuk mencegah perusahaan mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak yang sangat rendah. Aturan yang diberlakukan pada pilar ini yaitu jika suatu perusahaan multinasional dikenakan pajak di bawah 15% di suatu negara, maka induk perusahaan harus membayar top-up tax di negara asalnya untuk mencapai tarif 15%.
Misalnya, jika perusahaan multinasional di suatu negara dikenakan pajak sebesar 10% atas penghasilannya, maka perusahaan tersebut harus membayar tambahan pajak sebesar 5% di negara asalnya agar mencapai tarif minimum global sebesar 15%. Aturan ini juga digunakan untuk mencegah perusahaan mendapatkan keuntungan besar di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.
Two Pillar Solution dianggap menjadi solusi karena mampu menciptakan sistem perpajakan internasional yang adil dan mencegah praktik penghindaran pajak. Namun, hingga artikel ini dibuat, kebijakan tersebut belum benar-benar terlaksana secara internasional. Mengapa demikian?
Meskipun sudah ditandatangani oleh hampir 140 negara, kebijakan ini masih mengalami banyak pertentangan yang terjadi secara terus-menerus oleh beberapa negara. Perdebatan timbul karena kebijakan ini dapat membuat perusahaan multinasional membayar pajak ke negara pangsa pasarnya dan membuat perusahaan-perusahaan tersebut membayar pajak yang lebih sedikit di negara induknya.
Amerika Serikat misalnya, sebagai negara dengan jumlah perusahaan multinasional yang cukup banyak, kebijakan ini berpotensi mengurangi pendapatan perpajakan pemerintah Amerika Serikat. Hal ini juga berlaku di negara lain yang memiliki cukup banyak perusahaan multinasional. Meskipun demikian, ada beberapa negara yang telah mengambil langkah untuk mulai menerapkan solusi dua pilar ini.
Tiga Skema Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara yang mengambil langkah untuk memberlakukan kebijakan ini. Melalui PMK 136 tahun 2024 yang diterbitkan pada 31 Desember 2024, Indonesia secara resmi memberlakukan kebijakan pilar ke-2 OECD mengenai Pajak Minimum Global sebesar 15% dan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Indonesia menerapkan tiga skema dalam pembayaran pajak penghasilan untuk perusahaan multinasional. Pertama, Income Inclusion Rule (IRR) yang membuat negara di perusahaan induk dapat memungut top-up tax dari negara pangsa pasar. Kedua, Undertaxed Payment Rule (UTPR) yang diberlakukan jika negara induk tidak memberlakukan IRR dan membuat top-up tax dialokasikan ke semua entitas dalam grup yang berada di yurisdiksi dengan tarif pajak memadai.
Ketiga, Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT) atau Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) yang akan membuat top-up tax tetap dipungut oleh negara pangsa pasar. Semua skema tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan pengenaan pajak minimum global sebesar 15%, dan masing-masing skema memiliki perbedaan terkait siapa pihak yang berhak memungut top-up tax atas penghasilan perusahaan yang didapat dari negara pangsa pasarnya.
Dengan demikian, perusahaan multinasional seperti Netflix yang sebelumnya tidak membayar pajak penghasilan di Indonesia, akan mulai membayar pajak penghasilan mulai 2025.
M Zakaria Faizal pemerhati masalah perpajakan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu