Rumah Flat Pertama di Jakarta

1 month ago 22

Elisa Sutanudjaja berkali-kali mencuit keriaan-keriaan kecil sejak pindah ke rumah barunya. Bangun pukul 06.00 karena kicau burung, buka pintu balkon mendapati angin semilir, berangkat kerja menempuh perjalanan satu menit. Ya, satu menit, sebab perjalanan itu cukup menuruni tangga. Kantornya, Rujak Center for Urban Studies (RCUS), pindah juga ke bangunan yang sama.

Elisa, suaminya, dan anaknya tinggal di rumah flat bersama enam rumah tangga (12 orang) lainnya. Sebab peruntukannya campur (mixed-use building), di rumah empat lantai yang dibangun di atas tanah seluas 280 meter persegi itu, selain kantor Rujak, ada pula toko buku Komunitas Bambu dan kedai kopi, serta satu ruangan yang disewakan.

Penghuninya lintas generasi, ada Boomer, Gen X, Milenial, dan Gen Z. Meski bukan keluarga sedarah, mereka bisa mewujudkan dan memiliki flat itu bersama-sama dengan membentuk koperasi yang dinamai Koperasi Serba Usaha Flat Menteng. Bagi yang tak cukup uang cash, bisa mengajukan kredit ke koperasi. Apabila ingin melepas unit, itu hanya bisa dilakukan dengan menjual ke koperasi setelah lima tahun.

Ya, flat itu berlokasi di Menteng, salah satu kawasan termahal di Jakarta. Namun, dengan membangun gotong royong, biayanya bisa terjangkau. Harga rumah tapak di Menteng Rp 3-27 milyar, sedangkan untuk flat ini, total biaya yang dikeluarkan masing-masing unit dan organisasi antara Rp 200-800 juta untuk luas 40-90 m2. Tak heran jika proses mendapatkan penghuni cukup mudah. Seluruh unit sudah menemukan pemiliknya bahkan sebelum konstruksi berjalan pada Juli 2023.

“Ini rezeki koperasi kami karena di antara penghuni ada pengacara yang bersentuhan dengan isu pertanahan, landscape architect, dan tanahnya pun milik salah satu penghuni (Marco Kusumawijaya, Co-founder dan Direktur Rujak). Namun, jika ada warga yang memiliki visi serupa, kami siap mendampingi. Kami berharap semakin banyak orang dari berbagai kalangan mengimplementasikan hunian empat lantai,” ujar Elisa yang merupakan Direktur Eksekutif RCUS itu.

Elisa dan kawan-kawan adalah yang pertama memanfaatkan buah advokasi Rujak, yaitu zonasi Rumah Flat dalam Peraturan Gubernur No. 31/2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Bisa dibilang, rumah mereka adalah flat pertama di Jakarta sejak adanya RDTR 2022. Dengan pengakuan zonasi baru itu, masyarakat bisa membangun hunian multi-keluarga di atas tanah seluas 250-800 m2. Sebelumnya, hanya ada zonasi rumah susun yang mensyaratkan luas tanah minimal 3.000 m2.

Rujak menggodok konsep hunian midrise selama lebih dari satu dekade, mulai dari menyelenggarakan sayembara desain pada 2009 hingga melakukan studi dan simulasi. Mereka ingin membuktikan flat empat lantai solusi terbaik bagi Jakarta, yang saat ini masih didominasi bangunan lantai tiga ke bawah (70 persen).

Flat empat lantai, yang lazim ditemukan di kota-kota tradisional Eropa, dirasa mampu menjawab permasalahan ‘missing middle’, kelompok masyarakat kelas menengah yang terabaikan kebijakan perumahan, sehingga sulit mengakses hunian layak dan terjangkau. Pemerintah dan pengembang cenderung memprioritaskan rumah tapak dan apartemen mewah untuk kelas atas, serta rusun dan rumah subsidi untuk yang berpenghasilan rendah. Dengan rumah flat, penggunaan lahan lebih efisien, jarak antara tempat tinggal dengan pusat aktivitas ekonomi bisa lebih dekat, yang efeknya mengurangi kemacetan, polusi, dan meningkatkan kualitas hidup warga perkotaan.

Makanya, pembangunan flat akan optimal jika dilakukan di kawasan transit-oriented development (TOD). Flat Menteng sendiri tepatnya berada di Jalan Rembang, Dukuh Atas. Jalan kaki 3-8 menit saja (300-500 meter) sudah sampai di halte Transjakarta, stasiun KRL, MRT, LRT, atau KA Bandara. Ini juga alasan seluruh penghuni sepakat tak ada parkir mobil dan motor di flat mereka.

Yang tak kalah menarik, aspek ramah lingkungan sangat dipikirkan dalam pembangunan Flat Menteng. Flat ini memiliki banyak bukaan dan sistem ventilasi silang untuk memaksimalkan sirkulasi udara dan cahaya. Alhasil, dapat mengurangi penggunaan AC dan lampu. Bahkan, detail seperti desain anak tangga pun tak luput dari perhatian.

“Itu hal sederhana yang mempengaruhi kenyamanan hidup di flat. Kami enggak pakai lift biar enggak boros listrik, tapi jarak ketinggian antar lantai tidak lebih dari 2,8 meter, supaya jumlah anak tangga tidak terlalu banyak,” jelas Elisa.

“Lalu, anak tangga dibuat ideal dengan tinggi maksimal 18 sentimeter, supaya naiknya enggak capek. Buktinya, orang tua saya yang usia 74 tahun bisa sampai ke lantai paling atas tanpa ngos-ngosan. Selain itu, ada juga dumbwaiter untuk mengangkut barang,” imbuhnya.

Ke depannya, menurut Elisa, implementasi flat multi-keluarga masih akan menemui tantangan, khususnya terkait status tanah dan keinginan mayoritas orang untuk memiliki rumah tapak. Namun, dengan semakin diperluasnya edukasi konsep co-housing dan koperasi perumahan, harapannya, semakin banyak orang berminat mengambil alternatif ini.

Pasalnya, kepemilikan bersama atas satu unit bangunan justru membuat bangunan itu tidak mudah digusur, yang berarti memperkuat keamanan tinggal. Hal itu juga menguatkan rasa memiliki di antara penghuni dan merekatkan komunitas. Dengan begini pula, hunian tidak semudah itu jadi komoditas yang diperjualbelikan.

Manfaat lain dari tinggal secara komunal adalah dimungkinkannya penggunaan perabot level industrial. Alat-alat yang rasanya berlebihan jika dipakai sendiri, tetapi sepadan jika dipakai bersama, seperti chest freezer, komposter, dan mesin cuci berkapasitas besar yang bisa menampung bed cover hingga karpet.

Meski rumah flat punya segudang tawaran kelebihan, pada akhirnya, dukungan pemerintah berupa kebijakan insentif juga amat diperlukan untuk meningkatkan hunian jenis ini. “Misalnya, subsidi pembangunan atau pengurangan pajak bagi pengembang yang berkomitmen pada hunian inklusif. Kita bisa membangun masa depan perkotaan yang lebih berkelanjutan jika melakukannya bersama-sama,” tegas Elisa.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial