Jakarta -
Sejumlah negara dilanda kekhawatiran usai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif balasan atau respirokal untuk produk-produk impornya. Trump menerapkan tarif minimal 10% terhadap semua produk yang masuk ke AS.
Pemerintahan sejumlah negara telah buka suara menyangkut hal ini. Tidak sedikit yang memproyeksikan, kebijakan tarif baru Trump ini dapat memicu perang dagang hingga menuju ke arah krisis ekonomi global.
Pandangan ini salah satunya datang dari Perdana Menteri (PM) Singapura, Lawrence Wong. Menurutnya, kini era aturan berbasis globalisasi dan perdagangan bebas telah berakhir. Dunia memasuki fase baru yang lebih proteksionis, arbitrer, dan berbahaya bagi negara kecil dengan ekonomi terbuka seperti Singapura yang sangat rentan terdampak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"AS telah menempatkan Singapura di tingkat dasar terendah dengan tarif sebesar 10%. Jadi dampak langsungnya terhadap kita mungkin terbatas untuk saat ini, tetapi ada konsekuensi yang lebih luas dan lebih mendalam (di masa mendatang)," kata Wong, dikutip dari unggahan pada YouTube pribadinya, Sabtu (5/4/2025).
Wong memperingatkan, apabila negara-negara lainnya mengadopsi pendekatan yang sama seperti AS, meninggalkan sistem World Trade Organization (WTO) dan berdagang hanya dengan ketentuan yang mereka senangi, akan timbul masalah bagi semua negara, terutama negara-negara kecil seperti Singapura.
"Kita berisiko terdesak, terpinggirkan, dan tertinggal," ujarnya.
Di samping itu, Singapura telah memutuskan untuk tidak mengenakan tarif balasan. Meski begitu, belum tentu negara lain berpikir hal yang sama. Ia memperingatkan, ke depan ada risiko terjadinya perang dagang global besar-besaran.
Perdana Menteri (PM) Jepang Shigeru Ishiba juga memberikan respons serupa. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa mendatangkan krisis nasional. Trump sendiri menerapkan tarif balasan sebesar 24% untuk barang-barang dari Negara Sakura tersebut, sedangkan perusahaan-perusahaan Jepang merupakan salah satu investor terbesar di AS.
"Pungutan tersebut dapat disebut sebagai krisis nasional dan pemerintah melakukan yang terbaik dengan semua pihak untuk mengurangi dampaknya," kata Ishiba di Parlemen, dikutip dari The Straits Times.
Meski demikian, Ishiba mengimbau agar dilakukan pendekatan secara 'tenang' untuk negosiasi dengan pemerintahan Trump, yang juga telah mengenakan tarif sebesar 25% pada impor mobil per minggu ini.
Menurutnya, pemerintah harus memutuskan respons yang paling efektif terhadap tarif tersebut. Hal ini salah satunya dengan membuka kemungkinan tindakan pembalasan atau membawa masalah tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Pemimpin Vietnam Telpon Trump
Tidak lama setelah pengumuman kebijakan tarif impor 46% untuk Vietnam, pemimpin Vietnam, To Lam, menghubungi Trump untuk meminta keringanan, tidak lama setelah pengumuman kebijakan tarif impor baru. Keduanya sepakat untuk membahas kesepakatan penghapusan tarif.
"Baru saja melakukan panggilan telepon yang sangat produktif dengan To Lam, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, yang mengatakan kepada saya bahwa Vietnam ingin memangkas Tarif mereka hingga NOL jika mereka dapat membuat kesepakatan dengan AS", tulis Trump di platform sosial Truth miliknya, dikutip dari Reuters.
Beberapa hari sebelum pengumuman Trump tentang tarif timbal balik yang menghantam Vietnam, negara tersebut telah memangkas beberapa bea masuk sebagai bagian dari serangkaian konsesi kepada AS. Ini mencakup janji untuk membeli lebih banyak barang Amerika seperti pesawat dan produk pertanian.
Lam pun telah berjanji untuk memangkas tarif atas barang-barang AS. Atas hal ini, Trump juga menyampaikan rasa terima kasih dan menantikan pertemuan dengan Lam dalam waktu dekat.
"Pada saat yang sama (Lam) mengusulkan agar AS menerapkan tarif pajak yang sama terhadap barang-barang yang diimpor dari Vietnam," bunyi laporan di portal pemerintah Vietnam yang diterbitkan tak lama setelah unggahan Trump.
(shc/ara)