Tarif Baru Trump Beri Peluang Cuan Ekstra buat RI, Tapi...

10 hours ago 5

Jakarta -

Pemerintah mengklaim bahwa dengan diterapkannya tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia yang sebesar 19% mampu menarik investasi dan mendorong ekspor dalam negeri. Hal ini disinyalir lantaran tarif yang dikenakan ke Indonesia paling rendah dibandingkan negara-negara lain di ASEAN, setidaknya untuk saat ini.

Berkenaan dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, mengamini hal tersebut. Tarif Indonesia yang notebene lebih rendah dibandingkan negara eksportir lainnya menjadi peluang baru.

"Kalau kita, bisa kompetitif. Karena kemarin dari hasil sosialisasi Pak Menko (Airlangga Hartarto), ternyata negara-negara lain itu lebih tinggi (tarifnya) dari Indonesia. Sehingga kita bisa jadi lebih kompetitif, apalagi sektor TPT (tekstil dan produk tekstil) yang 61% ekspor ke Amerika, itu kompetisinya dari Bangladesh, Etiopia, Vietnam. Itu semua lebih tinggi dari Indonesia, jadi kita bisa mengambil peluang ini juga," ujar Shinta saat ditemui selepas acara peluncuran Piagam Wajib Pajak, di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Daya saing Indonesia, menurut Shinta, bahkan masih lebih tinggi kalau dibandingkan dengan Vietnam yang masih kena transhipment tariff sebesar 40%. Shinta mengaku, dengan kondisi ini juga mampu mendorong ekspor dalam negeri yang kini tengah terimpit.

"Kalau untuk Vietnam perbedaannya agak tipis, jadi ini juga lagi diperhatikan. Tapi pihak Vietnam kena transhipment 40%, jadi mestinya juga bisa akan membantu Indonesia. Jadi benar, dengan hasil negosiasi kalau ini memang benar-benar final, itu kita lagi buat perhitungannya juga. Tentunya akan membantu dari para eksportir kita, terutama yang juga saat ini juga banyak tertekan di dalam negeri," beber Shinta.

Namun demikian, pengusaha punya beberapa catatan yang masih menjadi pekerjaan rumah dan harus dibereskan. Salah satunya soal regulasi dan biaya logistik dan produksi yang berpeluang menghambat ekspor pengusaha dalam negeri.

"PR-PR kita yang ada di dalam negeri seperti dari regulasi, ekonomi biaya tinggi seperti logistic cost, labor cost, ini semua juga masih harus kita perbaiki. Dalam satu sisi, ini dari akses untuk pasar Amerika, tarifnya akan sangat membantu dengan tarif yang rendah. Tapi juga kita harus tetap membereskan PR kita di dalam negeri," ujarnya.

Waspada Banjir Produk China

Shinta juga bilang, sudah ada relokasi industri dari China yang merambah ke Indonesia, dan ini bukan dampak langsung dari diterapkannya tarif Trump ke Indonesia. Satu sisi, Shinta menilai ini merupakan hal yang baik, namun pemerintah RI perlu berhati-hati dengan risiko banjirnya produk China ke RI.

"Bukan dampak langsung kepada tarif Trump. Tapi 'kan sudah kelihatan bahwa memang ada beberapa kesempatan untuk relokasi. Tapi satu hal yang kami kemarin sampaikan juga kepada pemerintah, bukan hanya tentu saja bagus kalau ada beberapa relokasi untuk investasi," ujarnya.

"Tetapi, kita juga perlu hati-hati kebanjiran produk, karena ini kami minta pemerintah untuk siapkan measure untuk antidumping, safe guard. Karena banjir produk ini juga bisa ada dengan tarif Trump ini, tentunya China itu juga harus diperhatikan kondisinya. Belum lagi yang impor ilegal. Jadi, itu yang harus jadi perhatian," Shinta menambahkan.

Beberapa contoh relokasi industri China yang sudah masuk ke Indonesia, kata Shinta, antara lain produk tekstil dan kendaraan listrik. Padahal, produk tekstil adalah industri padat karya yang besar di Indonesia.

"Sekarang kalau kita lihat, seperti TPT saja sudah ada yang masuk ke Indonesia. Padahal itu jadi salah satu padat karya Indonesia, kita harus perhatikan hal seperti itu. Kalau memang ini kita sudah sampaikan, banyak yang teknologi tinggi, yang kita harapkan juga dengan konsep hilirisasi dari pemerintah.

"Kita lihat ada EV juga banyak masuk ke Indonesia. Itu positif saja, memberikan lapangan pekerjaan buat pekerja Indonesia. Kami juga sudah bicarakan mengenai pelatihan dan lain-lain. Karena kami ingin ya tentu saja pekerja Indonesia nanti akan mendapatkan kesempatan ini, untuk bekerja di industri-industri yang kita namakan masa depan. Seperti yang hubungannya dengan green industry, EV, ini semua saya rasa berkaitan," tutupnya.

(eds/eds)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial