Jakarta -
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit mempertanyakan realisasi anggaran pendidikan yang tidak sampai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menanyakan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja hari ini.
Dolfie mengatakan telah lama realisasi anggaran pendidikan yang tidak sampai 20% menjadi masalah. Dia menyebut, masalah ini juga pernah masuk dalam gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2007.
Dalam paparannya, pada 2007 realisasi anggaran pendidikan hanya 18%, kemudian 2008 15,6%, lalu 2022 hanya 15%, 2023 16%, hingga 2024 17%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"2025 kalau by design, karena ada cadangan dana pendidikan yang ditaruh pembiayaan, bisa dipastikan itu juga 17%. Tidak bergerak sejak saat MK memutuskan anggaran APBN harus memenuhi 20% APBN. Tidak bergerak," kata Dolfie dalam rapat kerja dengan Kemenkeu, Selasa (22/7/2025).
Dolfie mengungkap, realisasi anggaran pendidikan pada dua periode Presiden ke-7 Joko Widodo tidak berubah, atau tidak sampai 20%. Ia mengatakan, dalam pemerintahan baru ini harus mengalami perubahan.
"Undang-Undang Dasar menurut MK, kalau kita masih menganggap putusan MK final dan mengikat, Undang-Undang Dasar adalah hukum tertinggi yang tidak boleh ditunda-tunda pelaksanaannya. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diabaikan. Nah, kalau melihat ini, Bu, ini kan tidak keadilan yang diabaikan namanya," terangnya.
Ia meminta anggaran pendidikan dimasukkan semuanya dalam belanja tidak juga di pembiayaan. Selain itu, dia meminta anggaran pendidikan juga tidak dialihkan dalam cadangan sehingga meminimalisir tidak terealisasinya 20% anggaran pendidikan.
Penjelasan Sri Mulyani
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menjelaskan, sebenarnya desain realisasi anggaran pendidikan 20% itu dari belanja negara. Ia menekankan, postur anggaran pendidikan telah ditetapkan 20%, namun ada komponen belanja barang modal yang kerap kali meningkat.
"Kalau belanja barang, perjalanan dinas, segala macam, plus program-program, itu pun penyerapannya bisa lebih rendah, bisa lebih tinggi. Waktu terjadi El Nino, kita nambah bansos, itu menjadi belanja barangnya naik, sehingga 20% yang awal menjadi seolah-olah lebih rendah," terangnya.
Sri Mulyani juga mengatakan ada belanja negara yang kerap kali penyerapannya cukup besar, seperti subsidi dan kompensasi. Namun, ia menekankan bahwa desain anggaran pendidikan tetap 20% dari APBN.
"Jadinya adalah tergantung dari beberapa komponen karena pembaginya itu bergerak, ya dia bergerak. Itu satu dulu dari prinsip penghitungannya," terang Sri Mulyani.
Kemudian, Sri Mulyani mengungkap alasan mengapa anggaran pendidikan juga dimasukkan dalam pembiayaan. Langkah itu dilakukan sebagai bagian antisipasi belanja negara yang terus bergerak.
"Kinerja APBN selain memang konstitusi minta 20%, kan APBN tidak melulu hanya untuk yang 20% pendidikan, Pak. Fungsi yang lain saja begitu banyak yang juga harus equally diperhatikan,"jelasnya.
Ia mencontohkan bagaimana desain 20% tetap digunakan pada anggaran pendidikan 2022. Namun, porsi itu seakan menjadi turun karena belanja negara saat itu dari Rp 350 triliun menjadi Rp 600 triliun.
"Pernah waktu itu di tahun 2022, Pak Dolfie ingat kita mencapai hampir Rp 600 triliun. Jadi 20% dari Rp 350 triliun dengan 20% Rp 600 triliun beda banget pak untuk anggaran pendidikan. Itu saja sih Pak, kalau kita bicara tentang percentage, ya memang kesulitan atau dinamika yang harus kelola, di satu sisi APBN-nya harus tetap berjalan terus, itu yang harus kita kelola secara sangat hati-hati," terangnya.
Sri Mulyani menjelaskan, sebenarnya meski dianggarkan 20%, namun menurutnya tidak semua harus dibelanjakan. Ia menekankan pembelanjaan ini harus melihat kapasitas dan kualitas pada belanja.
"Maka waktu itu kemudian dibuatlah sebuah wadah yang disebut dana abadi pendidikan. Supaya jangan sampai, oh karena harus 20%, harus habis, nanti sekolah yang pagernya enggak rusak, diganti pagernya, saya dengar waktu itu. Jadi, fenomena cara membelanjakan," pungkasnya.
(ada/ara)