Pil Pahit Trump Siapa yang Minum?

2 days ago 14

Jakarta -

Untuk menenangkan demo massa di negeri sendiri yang semakin masif dan meluas, Presiden Donald Trump dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan bahwa kebijakan tarif impornya adalah obat yang meskipun pahit pada gilirannya akan menyembuhkan perekonomian dalam negeri dan pada akhirnya akan "Make America Great Again." Namun, benarkah kebijakan tarifnya kali ini menjadi obat yang mujarab atau pil pahit yang mau tidak mau, diakui atau tidak, bakal ditelan rakyatnya sendiri?

Bagi masyarakat Indonesia, apakah pil pahit ini memang pahit tapi menyembuhkan atau justru menyebabkan banyak perusahaan pailit yang berdampak langsung dengan PHK masif yang membuat perut buruh melilit? Paling tidak ada tiga pelajaran penting bagi kita saat merespons perang dagang dan perang tarif yang ditabuh Trump.

Bangun dari comfort zone

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi para ortu yang selama ini memanjakan anak dengan alasan, "Biar kami saja yang menderita" tampaknya harus bangun dari idealisme yang menjerumuskan ini. Ada satu pengalaman menarik yang menyadarkan saya bahwa anak-anak perlu tahu bahwa ortu mereka bersusah payah mencari nafkah.

Suatu kali kami sedang jalan-jalan di sebuah mal bersama anak bungsu. Tiba-tiba dia minta sesuatu --bisa makanan, bisa mainan-- kepada mamanya. Ketika dijawab, "Uang Mama habis," si kecil tanpa dengan santai langsung menggandeng tangan mamanya ke ATM. Meskipun sambil tersenyum, saya berkata, "Memangnya tanpa kerja ada uang di dalam ATM itu?"

Saat menghadapi 'bahaya' semacam ini, jangan lantas menggampangkan masalah dengan berkata, "Belanda masih jauh." Biasanya kalau mendengar alasan seperti itu saya akan menjawab, "Ya, tapi Jepang sudah dekat!" Sudah tidak zamannya lagi bicara tentang Belanda dan Jepang, melainkan Amerika dan China. Saat Eropa dan negara lain bereaksi, bahkan membalas Trump dengan retaliasi tinggi, haruskah kita ikut panik?

Urusi PR kita sendiri

Banyak PR yang belum kita selesaikan. Niat baik saja belum tentu ada. Beberapa yang sangat krusial bisa kita amati dengan mata kita sendiri lewat demo mahasiswa maupun kritik yang berseliweran baik yang resmi via media aras utama maupun yang diunggah dan diteruskan berulangkali di medsos kita. Ketidakdewasaan berdemokrasi ditunjukkan dengan respons yang menggampangkan laporan adanya kiriman kepala babi sampai bangkai tikus ke sebuah media. Dimasak saja?

Penegakan hukum yang belum 'tegak lurus' --frasa yang sering dipakai untuk menyatakan dukungan total kepada seseorang atau partai politik-- faktanya masih seperti pendulum. Arah goyangnya sangat ditentukan oleh seberapa besar uang yang didapatkan. Tampak kasat di mata kita seseorang yang dulu begitu getol mengkritisi apa pun yang dilakukan seorang pejabat, begitu dimasukkan kabinet, daya kritisnya pun ikut masuk filing cabinet.

Orang yang belum berdamai dengan dirinya sendiri punya kecenderungan untuk mencari musuh di luar. Itulah sebabnya kata 'asing' dan 'aseng' selalu digunakan dengan nada negatif di satu sisi, namun di sisi lain bangga memakai produk luar, bahkan mengidolakan tokoh yang 'made in luar negeri' juga. Saya teringat ada seorang dewasa --waktu itu saya masih kecil-- yang berkata, "Ada orang yang menganggap siapa pun, termasuk anjing, ibunya asal dia bisa menyusu kepadanya."

Meskipun terkesan kasar dan vulgar, namun fakta di lapangan membuktikan bahwa ucapan itu benar. Jadi siapa pun yang menguntungkan secara ekonomi, kebijakan lain yang sangat tidak manusiawi pun diterima dengan wajar atau pura-pura tidak dengar.

Bangun rasa percaya diri dengan perbaikan yang terus-menerus

Saat kuliah dulu, seorang dosen sering mengutip kata 'kaizen' untuk menggenjot prestasi mahasiswanya. Kata ini berasal dari filosofi bisnis Jepang yang menggabungkan kata 'kai' (perubahan) dan 'zen' (kebaikan). Perbaikan suatu negara dimulai dari perbaikan pribadi demi pribadi yang tinggal di sana.

Saat mengunjungi Dubai, saya mendengar Uni Emirat Arab bisa maju karena bangun dari keterlenaan sebagai negara penghasil minyak--dengan diversifikasi ekonomi yang menggenjot sektor turisme-- serta antikorupsi dan pembangunan infrastruktur bermodal sendiri. Para petinggi Dubai sadar bahwa pembangunan yang menelan banyak biaya harus dihitung dengan cermat. Faktanya dunia turisme di negara kaya ini begitu maju.

Kepercayaan masyarakat Dubai terhadap 'orang luar' juga layak diacungi jempol. Waktu istri saya melihat etalase di sebuah toko emas --tanpa bermaksud membeli-- seorang pramuniaga dengan senyuman dan profesionalisme tinggi menyerahkan segepok perhiasan untuk dilihat dan ditinggal melayani pembeli lain. Kepercayaan terhadap orang asing ini jelas ditunjukkan oleh pemimpin Uni Emirat Arab di mana Dubai menjadi kota paling terkenal di jazirah ini.

"The sovereignty and security of the UAE will remain a foundational principle that we will abide with, and we will not tolerate anything that could affect it. We extend the hand of friendship to all countries that share our values of peaceful coexistence and mutual respect, to achieve progress and prosperity," ujar Yang Mulia Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan, Presiden UAE.

Jika orang betah untuk sekadar berlibur atau bahkan tinggal di sebuah negara, hal itu pasti disebabkan oleh keramahtamahan penduduk asli yang menjadi tetangganya. "Kebanggaan kami terhadap rakyat kami tidak terbatas. Kami juga sangat menghargai peran penting warga kami yang menganggap negara ini sebagai rumah kedua mereka dan kontribusi berkelanjutan mereka dalam membangun dan mengembangkan UEA sejak penyatuannya," imbuhnya.

"Kami betah di sini karena transportasi mudah, tidak ada gangguan buka usaha, dan aman," ujar Thomas, seorang sahabat yang sudah lama menetap di Sharjah.

Kapan Indonesia menyusul?

Xavier Quentin Pranata kolumnis

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial