Perpustakaan Buka Lebih Malam dan Kemewahan Ilmu Pengetahuan

5 hours ago 6

Jakarta -

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengeluarkan kebijakan untuk memperpanjang jam operasional perpustakaan di Jakarta. Bahkan, Pramono ingin perpustakaan buka hingga pukul 23.00 WIB. Pramono percaya bahwa akses perpustakaan sampai malam ini akan memberikan kesempatan pendidikan bagi mereka--khususnya para pelajar dan mahasiswa--yang membutuhkan.

Wacana ini pun perlahan mulai diterapkan. Salah satu yang sudah menerapkan yakni Perpustakaan Jakarta dan PDS HB Jassin. Perpustakaan tersebut buka sampai pukul 20.00 WIB di hari Jumat, sedangkan untuk Sabtu dan Minggu hingga pukul 22.00 WIB.

Sejumlah pengunjung terlihat membaca dan memilih buku di Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa (6/5/2025). Suasana belajar tampak tetap hidup meski waktu sudah memasuki malam hari.Sejumlah pengunjung terlihat membaca dan memilih buku di Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa (6/5/2025). Suasana belajar tampak tetap hidup meski waktu sudah memasuki malam hari. Foto: Pradita Utama

Kebijakan ini menuai reaksi positif dari warga, khususnya para bookish yang punya kecintaan pada buku. Meskipun begitu, gaung kebijakan ini tidak begitu gegap gempita karena mungkin dinilai tidak 'cukup seksi'. Kebijakan ini barangkali kalah populer dengan kebijakan-kebijakan populis, misalnya bansos atau kebijakan yang langsung berkaitan dengan urusan perut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, jika dilihat lebih seksama, membuka perpustakaan lebih lama itu juga terkait dengan konsumsi warga. Bedanya, ini kebutuhan konsumsi pengetahuan. Makanan bagi jiwa. Kemewahan ini yang kerap terlupakan dari perhatian publik.

Padahal, dulu seorang cendekiawan muslim yang mati muda, Ahmad Wahib pernah mengingatkan bahwa pengetahuan di Indonesia adalah barang lux. Alias barang mewah. Karena memang, pengetahuan yang terpendam dalam buku tampak begitu mewah. Lihat saja hari ini, orang yang memegang buku--entah itu dibaca atau untuk sekadar gaya--akan dianggap sebagai orang intelek.

Tidak terlalu salah. Buku memang bisa meningkatkan kualitas intelektual seseorang. 'Barang mewah' ini bisa meningkatkan kualitas nalar manusia. Dengan kemampuan nalar yang kokoh, manusia bisa cukup punya modal untuk membuat keputusan-keputusan rasional dalam hidupnya.

Demi mencapai tujuan ini, buku-buku harus selalu bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat lewat perpustakaan. Waktu operasionalnya pun mestinya bisa lebih lama. Kita bisa belajar dari Amerika Serikat (AS). Di negara yang sudah sangat maju budayanya itu, perpustakaan adalah fasilitas publik yang sangat digemari warganya.

Sebagai contoh, Butler Library yang ada di Columbia University. Perpustakaan ini membuka ruang baca selama 24 jam nonstop. Pengunjung pun bisa begadang semalaman untuk menyuntuki buku. Selain itu, perpustakaan ini juga punya kafetaria yang buka hingga pukul 2 pagi. Semuanya semata-mata untuk membuat nyaman para pengunjung yang tengah menikmati 'kemewahan' buku.

Untuk Jakarta sendiri, perpustakaan Jakarta dan PDS HB Jassin sejauh ini sudah terbilang sangat nyaman bagi pengunjung. Perpustakaan ini menyediakan kursi dan meja baca yang bikin betah untuk berlama-lama. Belum lagi koleksinya yang lumayan lengkap. Dari sastra Indonesia, novel-novel terjemahan penulis Asia, novel pemenang hadiah Nobel hingga buku-buku nonfiksi terbaru, tersedia di rak-rak perpustakaan.

Rasanya kurang adil jika 'kemewahan' seperti ini hanya dinikmati oleh mereka yang punya waktu luang, yang bisa mengunjungi perpustakaan saat hari kerja di pagi hari. Sedangkan kelas pekerja yang bekerja hingga petang hanya bisa gigit jari. Padahal, para pejuang nafkah ini punya hak untuk menyempatkan diri menikmati kemewahan tersebut. Setelah penat bekerja, mereka tentu akan cukup senang jika bisa membaca buku puisi Joko Pinurbo yang tengil itu. Atau sekadar membuka halaman-halaman novel terbaru Eka Kurniawan.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Gubernur Pramono mestinya juga dilakukan oleh kepala daerah lainnya. Warga tak sekadar membutuhkan bansos. Warga juga perlu diberi akses untuk menikmati kemewahan ilmu pengetahuan. Bukankah ini adalah langkah kecil untuk menuju Indonesia Emas 2045?

Rakhmad Hidayatulloh Permana. Wartawan dan pegiat detikcom Bookclub.

(jat/jat)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial