Partisipasi Pilkada di Titik Nadir

1 month ago 25

Jakarta -

Pada 27 November lalu, bangsa Indonesia baru saja selesai melaksanakan perhelatan pemilihan kepala daerah. Pilkada 2024 ini adalah pilkada yang pertama kali digelar secara serentak di seluruh wilayah di Indonesia. Total yang telah melaksanakan pemilihan kepala daerah sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Meski saat ini sedang dilaksanakan penghitungan suara secara manual berjenjang, namun beberapa lembaga survei telah merilis hasil penghitungan sementara pemilihan kepala daerah (quick count); dari hasil tersebut telah terlihat kandidat yang berhasil meraih suara tertinggi. Hal yang menarik selain melihat siapa kandidat yang unggul dalam pemilihan, tingkat partisipasi juga tak kalah menarik untuk dilihat.

Berdasarkan laman resmi Komisi Pemilihan Umum tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah 2024 secara keseluruhan hanya berkisar 60-an persen. Di banyak daerah seperti di Jakarta dan Sumatera Utara partisipasi pemilih menurun dibanding pemilu sebelumnya. Beberapa pakar pemilihan umum menilai rendahnya partisipasi Pilkada 2024 adalah terendah sepanjang sejarah.


Sebab Turunnya Partisipasi

Ada banyak sebab turunnya partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah. Beberapa di antaranya yang banyak menjadi alasan masyarakat tidak memilih adalah waktu dan tempat pemilihan yang terbatas. Pada pilkada lalu bertepatan dengan hari Rabu dan pemerintah telah menetapkan satu hari sebagai hari libur nasional. Namun masyarakat yang merantau dari daerah asal seperti pelajar, pekerja, dan mahasiswa merasa tidak cukup waktu untuk kembali ke daerah asal hanya sekadar untuk ikut memilih.

Karena banyaknya masyarakat yang merantau di Indonesia, hal yang demikian harus menjadi catatan yang serius untuk setiap stakeholder penyelenggara pemilu maupun pemerintah. Alasan selanjutnya adalah kelelahan dan kejenuhan masyarakat dengan hiruk pikuk politik 2024. Pilkada 2024 adalah pilkada pertama yang dilaksanakan pada tahun yang sama dengan pemilu nasional (pilpres dan pileg). Masyarakat sejatinya belum selesai dengan hiruk pikuk pilpres yang lalu, namun sudah harus dihadapkan dengan pilkada. Residu dari pemilihan presiden tidak terelakkan akan terbawa ke dalam suasana pemilihan kepala daerah.

Kelelahan dan kejenuhan ini terjadi bukan hanya pada masyarakat tetapi juga pada penyelenggara pemilu dan partai politik. Alasan ini cukup menjadi dasar bagi stakeholder penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk mengevaluasi jadwal waktu pilkada dengan pemilu nasional. Beberapa pakar telah memberikan rekomendasi agar pilkada tidak dilaksanakan pada tahun yang sama dengan pemilu nasional; idealnya pilkada dilaksanakan dua tahun setelah pemilihan presiden dan pemilu legislatif.

Munculnya calon-calon kepala daerah juga tidak lepas dari sebab turunnya partisipasi pemilih. Bisa jadi calon-calon kepala daerah yang dihadirkan oleh partai politik tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya di daerah. Ini menjadi catatan bagi partai politik untuk mendemokratisasi rekrutmen calon kepala daerah dengan melibatkan secara bermakna masyarakat di daerah untuk menentukan kandidat kepala daerah yang dikehendaki.


Pentingnya Partisipasi

Adanya pemilihan umum adalah bentuk manifestasi dari dianutnya negara demokrasi. Arti penting dari demokrasi yakni kedaulatan rakyat sejatinya harus tercermin dalam pelaksanaan pemilihan umum. Artinya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum adalah suatu hal yang penting karena cerminan dari kedaulatan rakyat. Ketika partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum rendah, hanya sebagian yang menentukan hasil pemilihan umum, maka hasil pemilihan umum tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat secara kolektif. Dan hal ini akan berdampak pada lemahnya legitimasi calon terpilih yang akan memimpin nantinya.

Lemahnya legitimasi seorang pemimpin memiliki dampak langsung terhadap kualitas kinerjanya dalam pemerintahan. Ketika pemimpin terpilih tidak memiliki dukungan mayoritas dari masyarakat, ia sering menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan publik. Legitimasi yang lemah dapat mengurangi otoritas moral dan politik seorang pemimpin, membuatnya sulit untuk mengambil keputusan yang berani atau menjalankan kebijakan yang efektif.

Begitu juga sebaliknya, tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pemilihan umum menunjukkan bahwa pemimpin terpilih memiliki dukungan luas dari masyarakat. Hal ini memperkuat legitimasi mereka untuk menjalankan tugas dan kebijakan yang diamanatkan. Dengan legitimasi yang tinggi, pemimpin cenderung lebih fokus pada kepentingan publik secara luas daripada kepentingan kelompok tertentu. Kepercayaan rakyat memberinya ruang untuk mengambil keputusan yang tegas dan berani, bahkan dalam situasi sulit, karena masyarakat yakin bahwa kebijakan tersebut diambil demi kebaikan bersama.

Melihat pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, maka segala usaha untuk meningkatkan partisipasi masyarakat harus terus dilakukan oleh setiap stakeholder penyelenggara pemilu, termasuk pemerintah dan partai politik. Tingginya partisipasi masyarakat tidak hanya menjadi indikator keberhasilan pemilu, tetapi juga mencerminkan kualitas demokrasi dalam suatu negara. Dengan begitu, tingkat partisipasi yang tinggi akan memastikan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi kuat untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dan responsif terhadap aspirasi rakyat.

Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial