Jakarta -
Beberapa waktu terakhir, publik kembali dikejutkan oleh mutasi besar-besaran di salah satu institusi penegak hukum. Langkah cepat itu dilakukan setelah muncul temuan uang tunai dalam jumlah fantastis di lingkungan internal lembaga tersebut. Respons organisasi memang tampak tegas. Namun dalam situasi seperti ini, kita perlu jujur bertanya: apakah cukup hanya dengan mengganti orang, atau kah sesungguhnya sedang menghadapi persoalan sistemik yang jauh lebih dalam?
Sebagai bangsa yang menjunjung prinsip negara hukum, kita menaruh harapan besar pada lembaga penegak hukum sebagai tiang utama keadilan. Harapan itu tentu tidak akan bisa diwujudkan jika proses pembinaan dan promosi di dalamnya masih berjalan di luar prinsip meritokrasi. Padahal, semestinya setiap jabatan diberikan kepada mereka yang memiliki rekam jejak bersih, kompetensi baik, serta integritas. Namun yang terjadi, kita masih sering melihat praktik di mana jabatan strategis didistribusikan bukan karena kualitas, tetapi karena kedekatan ataupun kepentingan. Inilah pangkal masalah yang perlu kiranya dipertimbangkan untuk didiskusikan secara terbuka.
Lebih jauh, banyak pihak memandang pengaruh biaya politik yang tinggi. Biaya pilkada yang tinggi dapat menjadi "potensi" kandidat kepala daerah untuk mencari dukungan finansial. Setelah terpilih, hubungan kekuasaan yang terbentuk di masa kampanye dapat berlanjut dalam bentuk kompromi dan balas jasa, meskipun tidak semuanya. Namun apabila hal ini terjadi, maka jabatan publik dapat menjadi alat tukar dan posisi sehingga dapat rentan terseret dalam berbagai kepentingan yang tidak netral, sehingga oleh karenanya diatur lebih lanjut dalam UU ASN sebagai langkah solutif yang disebutkan sebagai Asas Netralitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Letak persoalan paling fundamental, jika jabatan tidak lagi diberikan kepada mereka yang paling layak secara merit berdasarkan kualifikasi etika integritas, kompetensi dan kinerja, maka kita sedang merusak sendi paling dasar dari negara hukum. Lebih jauh lagi, dapat dianggap sedang mengingkari jati diri ASN sebagai pelayan publik.
Potensi persoalan lain yang dapat terjadi adalah pihak dekat dengan kekuasaan tertentu dapat diberi keistimewaan namun mereka yang menjaga prinsip integritas justru dapat tersingkir pelan-pelan, maka sebagai penjebatan untuk memberikan perlindungan dan keadilan negara terhadap proses mutasi rotasi, perlu sistem mutasi promosi yang adil/tidak diskriminasi sesuai Meritokrasi Asas Keadilan dan Kesetaraan dalam UU ASN. Salah satu indikator tidak berjalannya sistem Meritokrasi adalah ditandai adanya diskriminasi perlakuan dan perlindungan bagi para ASN nya. Tidak diberikan perlindungannya oleh negara dalam hal ini, akan dapat membuat dampak para ASN antipati atau mencari perlidungan kerja ke tempat lain demi alasan kenyamanan dan kepastian kesinambungan jenjang karir.
Sebagai mantan bagian dari lembaga independen pengawas ASN, melihat pentingnya mengembalikan marwah ASN sebagai pelayan publik. ASN bukan alat kekuasaan. Mereka digaji oleh negara untuk melayani publik, bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau mempertahankan kelompok politik tertentu. Pasal demi pasal dalam Undang-Undang ASN sebenarnya sudah sangat jelas mengatur "netralitas" dan akuntabilitas aparatur. Namun implementasinya kerap masih jauh dari ideal, terlebih dengan dibubarkannya lembaga independen Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang dalam tugasnya menjaga, mengawal, dan mengawasi marwah meritokrasi.
Tentu tak bisa terus-menerus menyalahkan individu. Yang perlu dibenahi adalah sistemnya. Khusus terhadap instansi penegak hukum, sudah waktunya asesmen jabatan tidak hanya mengukur kecakapan teknis, tetapi juga menempatkan "integritas" sebagai indikator penilaian utama. Penilaian terhadap moralitas, keterbukaan terhadap pengawasan, serta rekam jejak integritas dalam bekerja harus diberi bobot yang lebih besar dibanding nilai angka-angka lain, bahkan dapat menjadi penentu lolos tidaknya promosi. Dan setiap proses seharusnya tidak lagi dilakukan secara tertutup. Instrumen pengawas harus diberi ruang yang lebih nyata dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi stempel atau tamu undangan atau pelengkap.
Seperti yang kita tahu, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membawa visi besar "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045." Visi ini dijabarkan ke dalam delapan misi strategis yang dikenal dengan nama Asta Cita. Dua di antaranya secara langsung menyentuh isu penting soal reformasi birokrasi dan penegakan hukum, yaitu: pertama, memperkuat reformasi di bidang politik, hukum, dan birokrasi serta mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba; kedua, memperkuat nilai-nilai Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Misi-misi ini menunjukkan bahwa pemerintah punya komitmen serius untuk membangun birokrasi dan sistem penegakan hukum yang bersih, terbuka, dan berintegritas. Dalam konteks ini, reformasi aparatur sipil negara (ASN) tak cukup hanya dengan mengganti atau memutasi pejabat. Perubahan yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh, mulai dari penerapan sistem meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi, pengawasan yang kuat dari dalam dan luar, sampai pembentukan budaya kerja yang menjunjung tinggi etika dan integritas.
Dengan menjadikan Asta Cita sebagai landasan strategi reformasi ASN dan penegakan hukum, harapannya bisa terbentuk birokrasi yang profesional dan lembaga hukum yang benar-benar dipercaya oleh masyarakat.
ASN, termasuk di dalamnya para penegak hukum, memegang amanah untuk melayani seluruh rakyat Indonesia. Dalam kerangka inilah, ASN bukan hanya pelaksana tugas administratif, melainkan juga penjaga moral bangsa. Mereka adalah garda terdepan dalam memastikan bahwa keadilan sosial benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat, bukan hanya sebagai jargon dalam konstitusi. Ketika masyarakat kecil diperlakukan adil, ketika hukum tidak tumpul ke atas, maka itulah saat kehadiran negara benar-benar dirasakan oleh rakyat.
Di sisi lain, perubahan besar selalu dimulai dari contoh kecil. Pemimpin-pemimpin khususnya di lembaga penegak hukum harus mampu menjadi teladan. Dalam budaya kita, pepatah lama masih sangat relevan: "Ing ngarso sung tulodo." Ketika yang di atas bekerja jujur, dan menjunjung tinggi integritas dan etika, maka semangat itu akan turun ke bawah. Namun jika yang di atas permisif terhadap pelanggaran, maka ke bawah pun akan ikut longgar. Itulah mengapa keteladanan pemimpin tidak bisa digantikan dengan aturan tertulis seketat apa pun.
Sudah waktunya menanamkan kembali mindset ASN sebagai pelayan publik dalam arti yang utuh. Bekerja sebagai ASN adalah bentuk pengabdian, bukan tempat mencari keuntungan pribadi. Etika, integritas, empati, dan pelayanan dengan tulus kepada rakyat harus menjadi napas dari setiap tindakan, bukan sekadar catatan dalam kode etik. Dan hal ini tidak cukup diajarkan lewat pelatihan, tapi harus dicontohkan dari atas oleh mereka yang memimpin lembaga-lembaga strategis.
Pengawasan berjenjang dan pembinaan yang aktif juga tidak kalah penting. Banyak pelanggaran yang sebenarnya bisa dicegah jika ada sistem peringatan dini (early warning system) yang berjalan. Atasan langsung harus berani bersikap secara obyektif sesuai praturan perundang-undangan, tidak tipis kuping semata, penyimpangan yang faktual jangan menunggu sampai kasus mencuat ke publik. Dan dalam banyak kasus, pelanggaran besar akan mempengaruhi sistem dan biasanya berawal dari pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil yang terus menerus dalam kata lain pola pembinaan yang diharapkan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Perlu diingat kembali tujuan dasar bernegara, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan...". Maka, keberadaan ASN dan lembaga penegak hukum bukanlah untuk melindungi kepentingan kelompok, melainkan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, dalam pelayanan penegakan hukum, yang dibutuhkan bukan sekadar pengetahuan prosedural, melainkan pikiran positif dan hati nurani yang bersih. Keputusan-keputusan yang menyangkut nasib orang lain harus lahir dari kesadaran untuk menegakkan kebenaran secara hakiki, bukan karena tekanan jabatan, iming-iming kekuasaan dan jabatan, atau kepentingan uang. Selama penegakan hukum masih ditentukan hanya oleh kepentingan subyektif tanpa mempertimbangkan kejujuran dari hati nurani yang bersih akan kebenaran dan keadilan, maka penegakan hukum tidak akan pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat.
Mindset pelayan publik harus ditanamkan kembali. ASN adalah instrumen negara untuk memenuhi mandat konstitusi dan nilai pelaksanaan kebijakan publik. Jika ASN kehilangan kepekaan terhadap nilai keadilan sosial yang diperjuangkan rakyat, maka kegagalan sistem reformasi birokrasi yang dicanangkan hanya tinggal menunggu waktu atau hanya sebatas simbol formalitas.
Disisi lain, "sumpah jabatan" yang diucapkan setiap ASN, pejabat, dan/atau penyelenggara negara bukanlah formalitas belaka. Sumpah itu disaksikan bukan hanya oleh atasan dan rekan kerja, tetapi juga oleh masyarakat, dan lebih dari itu oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui. Ia adalah janji moral dan spiritual yang melekat selama seseorang menyandang amanah tugas negara. Bila sumpah itu dijalani dengan kesadaran penuh, maka setiap tindakan akan dipertimbangkan secara etis dan bijaksana, dalam makna akan melewati ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas kepentingan dan kemanfaatan sesama ciptaan Nya, namun jika sumpah dianggap simbol seremonial, maka tak akan ada lagi pembatas antara kehormatan dan penyimpangan.
Di ujung semua ini, yang diperjuangkan bukan sekadar bersih-bersih institusi. Tapi memulihkan kepercayaan rakyat bahwa hukum memang ditegakkan tanpa pandang bulu. Bahwa aparat penegak hukum memang layak dihormati, karena mereka bekerja bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan yang benar-benar beritikad baik.
Mutasi yang terjadi mungkin bisa menjadi titik awal, namun seyogyanya tidak boleh berhenti sampai di sana. Perlu ada reformasi menyeluruh, mulai dari sistem rekrutmen, asesmen integritas, pengawasan, keteladanan hingga pembenahan budaya kerja. Dan untuk mewujudkan itu, kiranya semua harus sepakat: bahwa setiap penyimpangan yang rusak bukan hanya orang, tapi sistem secara menyeluruh. Dan membenahi sistem adalah tugas bersama karena reformasi membutuhkan dukungan politik dan segenap komponen bangsa, tanpanya cita-cita reformasi birokrasi mewujudkan SDM dan Pemerintahan yang berkualitas hanya menjadi lip service, Komitmen saja belum tentu terwujud tanpa adanya konsistensi dalam pelaksanaannnya.
Mantan Direktur Kebijakan Bakamla, Asisten Komisioner KASN, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik, IGN Agung Y. Endrawan
(whn/whn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini