Perkawinan anak adalah salah satu bentuk terorisme gender. Sebab, memberangus hak perempuan secara massal dengan cara merampas kesehatan seksual dan reproduksi, masa depan yang layak, serta mimpi meraih pendidikan.
Sepi. Sesekali terdengar suara ayam. Pagi itu anak perempuan yang menggendong bayi keluar dari rumah berdinding kayu dan beratap seng pada pertengahan November 2024. Rumah di daerah Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, itu dikelilingi lahan kosong yang luas. Perempuan itu adalah Nara—bukan nama sebenarnya. Dia penyintas perkawinan anak.
“Usianya,” kata ibu berusia 17 tahun itu menceritakan soal bayinya yang ia gendong, “mau masuk empat bulan, laki-laki.”
Setahun yang lalu, Nara berpacaran dengan seorang laki-laki berusia 20 tahun. Mereka kerap bervakansi, salah satunya di Pantai Impos. Hubungan itu semakin mendalam. Sampai akhirnya terjadi kehamilan yang tak diinginkan. Pernikahan pun akhirnya digelar dengan tergesa-gesa.
Perayaan nyongkolan ala suku Sasak pun digelar awal 2024. Nara dan calon suaminya diarak bak keluarga kerajaan. Namun, bedanya, nyongkolan hanya dilakukan di kampung pengantin laki-laki. Harusnya sebaliknya, iring-iringan mempelai laki-laki mengantarkan pengantin perempuan ke rumah keluarganya.
Selepas pesta dan beragam prosesi pernikahan adat suku Sasak itu, Nara tinggal di rumah orang tua suaminya. Nara putus sekolah dan suaminya tak memiliki pekerjaan tetap. Terkadang suaminya bekerja paruh waktu menjadi laden, semacam kernet yang bertugas membantu tukang bangunan.
Permasalahan bukan hanya soal kebutuhan keuangan rumah tangga. Keluarga suami masih susah menerima Nara. Bahkan cenderung membencinya.
“Sikap orang tuanya tidak support. Dia (mertua) tetap seperti tidak menerima kondisi saya yang sedang hamil. Pas saya di sana (rumah mertua) jadi tidak nyaman,” keluhnya.
Permasalahan bukan hanya soal kebutuhan keuangan rumah tangga. Keluarga suami masih susah menerima Nara. Bahkan cenderung membencinya.
Hingga akhirnya, sepulang Nara dari posyandu dan melakukan ultrasonografi atau USG kehamilan, kabar buruk datang menjemputnya. Mertuanya menyatakan Nara dan suaminya sudah resmi bercerai. Hubungan kekeluargaan mereka yang seumur jagung itu seolah selesai begitu saja.
“Tiga minggu setelah menikah, itu cerainya. Pas cerai itu, dia (suaminya) tidak pernah ungkapkan apa-apa, cuma orang tua dan kakaknya saja,” ujarnya kepada detikX.
Selepas semua yang berjalan begitu cepat itu, Nara justru merasa lega. Dia lebih nyaman dan bahagia tinggal di rumah orang tua kandungnya sendiri. Kini ia tekun belajar dari keluarga serta bidan cara merawat dan mengasuh bayi. Jika anaknya sudah agak besar nanti, Nara akan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
"Semoga nggak ada lagi yang seperti saya ini. Cukup saya saja. Semoga anak saya juga tidak mengikuti cara saya. Semoga dia jauh lebih baik dari ibunya," ungkapnya. Nasib Nara sebenarnya mengulang yang terjadi terhadap orang tuanya: bercerai.
Lelaki yang menikahi dan menceraikan Nara tanpa prosedur resmi negara itu hanya menjenguk anaknya sekali. Bayi itu kini tak memiliki identitas yang legal. Hartiningsih Rukmayanti tengah berupaya mengurus KTP Nara dahulu. Dialah yang mendampingi Nara sebagai penyintas perkawinan anak.
“Akta (anak Nara) belum ada. Nanti akan dibantu buatkan akta dan kartu keluarga. Anak yang begini, anak-ibu jadinya di status kartu keluarga dan dia (Nara) kepala keluarga,” kata Hartiningsih, yang merupakan Ketua Divisi Pengembangan Organisasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Lombok Utara. Kerja pendampingan sosialnya dikoordinasi oleh Sahnan, yang merupakan Ketua LPA NTB.
Apa yang terjadi saat ini di NTB atau Bumi Gora nyaris serupa dengan 28 tahun yang lalu. Salah satu hari pada 1996 merupakan saat yang berbahagia bagi banyak orang. Sara—bukan nama sebenarnya—diarak keliling kampung bersama suami barunya. Namun, di balik perayaan pernikahan itu, Sara memendam kecemasan. Selepas ingar-bingar pesta itu, ia tidak tahu nasibnya akan seperti apa.
“Saat itu belum ada larangan pernikahan dini. Usia suami beda jauh, beda 10 tahun, tamat kuliah S1. Suami usia 26. Saya baru tamat SMP, usia 16 tahun,” kata Sara kepada detikX.
Bahkan saat itu Sara tak tahu sama sekali terkait reproduksi seksual manusia.
Sara kerap iri terhadap rekan-rekan sebayanya yang pergi-pulang sekolah memakai seragam SMA. Sedangkan dirinya saat itu putus sekolah dan harus mengasuh bayinya.
“Karena saya nikah masih kecil, punya anak itu capek ngurus-nya. Anak kecil gendong anak begitu. Anak sehat, gemuk sekali, lahir berat 3,6 (kilogram), saya tidak kuat gendong,” ujarnya.
Mertuanya memberi Sara dan suaminya satu bilik kamar kecil di rumahnya. Di sanalah mereka tinggal. Soal kebutuhan rumah tangga benar-benar paceklik.
“Suami penghasilannya tidak tetap. Miris kehidupan saya dulu itu kalau saya ingat. Ngerilah,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, Sara tak mau anak-anaknya mengikuti jejaknya. Kini dua anaknya sudah lulus kuliah S1 dan tak melakukan perkawinan usia anak. Bahkan Sara kini menjadi penyuluh untuk menghentikan siklus perkawinan anak di Lombok Utara. Dia menjadi fasilitator desa yang mengedukasi masyarakat sekitarnya.
"Jangan sampai kalian mengikuti jejak saya untuk menikah usia anak. Dari faktor kesehatan, reproduksi kita belum siap dibuahi. Rawan penyakit. Saya juga tidak mau anak-anak saya meniru kelakuan saya. Menikahlah saat pacarmu ada pekerjaan dan cukup umur,” tegasnya.
Penyalahgunaan Adat dan Isbat Nikah
Tiga bulan yang lalu, Rona—bukan nama sebenarnya—menikah melalui proses kawin lari atau merarik saat berusia 15 tahun. Dia kawin ‘di bawah tangan’ atau tak resmi diakui oleh negara, hanya berdasarkan adat. Bahkan ada manipulasi soal wali hakim karena ayah Rona masih bekerja sebagai buruh migran di Malaysia, tak bisa hadir dalam pernikahan anaknya. Perkawinan usia anak ini memangkas hak Rona meraih pendidikan.
“Sekarang sudah tidak sekolah, nggak dilanjuti sekolahnya. Terakhir sekolah kelas I SMP,” kata perempuan yang tinggal di salah satu dusun daerah Lombok Timur ini kepada detikX.
Suami Rona masih berusia 18 tahun. Kini ia tinggal di rumah mertua dan suaminya bekerja serabutan alias tidak tetap. Salah satunya menjadi buruh tani semipermanen saat musim panen tembakau. Usia terlalu muda membuat suaminya tak punya skill yang bisa ditukar dengan pekerjaan yang lebih baik.
Permasalahan lainnya, mereka tidak memiliki buku nikah dan kartu keluarga. Sebab, Rona belum bisa mendapatkan KTP. Biasanya, kata Ahmad Zahidun, fasilitator daerah Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) Lombok Timur, dalam permasalahan seperti Rona ini, nanti akan ditunggu sampai berusia 19 tahun. Setelah itu, akan diajukan isbat nikah atau pengesahan perkawinan ke Pengadilan Agama setempat.
Isbat nikah ini cara banyak orang di Nusa Tenggara Barat mengakali aturan negara terkait larangan perkawinan anak. Permohonan pengesahan perkawinan memang tergolong tinggi di Pengadilan Tinggi Agama NTB. Pada 2023, terdapat 4.574 dan hingga awal Desember 2024 terdapat 3.544 pengajuan isbat nikah.
Kebanyakan orang Sasak, kata Zahidun, merasa pamali untuk menerima kembali anak perempuannya yang menjadi korban kawin lari. Sebab, sudah bermalam dengan lelaki yang menculiknya. Di sisi lain, pihak laki-laki akan tetap memaksa melarikan perempuan berusia anak itu.
“Proses nikah Rona ada kawin lari. Ada kebudayaan yang sebenarnya salah diartikan. Memang di Lombok itu bahkan tabu kalau minta seperti melamar istilahnya, bahasa Sasak-nya belakuk. Itu memang ada, tapi di tempat tertentu yang sudah berkembang,” ujar Zahidun.
Di bawah koordinasi Suharti, Direktur Santai NTB, Zahidun kerap berusaha mengintervensi proses kawin lari. Santai meminta agar perempuan yang diculik dikembalikan dan batal dinikahkan, istilahnya ialah pembelasan. Namun risikonya besar.
“Kami pernah sampai dilempar parang. Karena yang laki-laki merasa harga dirinya, sudah ngambil perempuan kok mau diambil lagi. Kebiasaan di sini ada banjar bajang , kalau laki-laki bawa perempuan, mereka bersama teman-temannya langsung sembelih ayam dan sebagainya, pesta-pesta. Kami datang mau ngambil karena perempuannya anak, bersitegang,” kenangnya
Jumlah Permohonan Dispensasi Kawin
Sumber: Badan Peradilan Agama MA, 28 November 2024
Memang pembelasan terhadap Rona tidak berhasil, tetapi bisa mencegah korban perkawinan anak yang lain. Salah satunya Rika—bukan nama sebenarnya. Seorang laki-laki berusia 25 tahun yang baru pulang dari Malaysia sebagai buruh migran merayunya menjadi istri. Awalnya Rika menolak, tetapi entah bagaimana, ia dan keluarganya mendadak menuruti kemauan lelaki itu. Rika merasa lelaki itu menggunakan senggeger, pelet yang merupakan rahasia umum suku Sasak.
“Saya,” kata Rika menghela napas panjang, “dibawa kabur dua malam.”
Setelah malam kedua, Rika mengubah sikap. Yang menguatkannya ialah tim Santai. Ibunya sempat menolak menerimanya kembali Rika di rumahnya. Sebab, sudah terlalu lama lelaki itu melarikan Rika. Namun tim Santai meyakinkan, bagaimanapun, Rika harus lanjut sekolah.
Pemaksaan perkawinan usia anak itu terjadi pada 2022. Saat itu Rika masih berusia 14 tahun. Dia tak pernah menyesal menolak perkawinan waktu itu. Ia yakin keputusannya saat itu tepat.
Alhamdulillah langsung kembali ke sekolah. Soalnya, waktu itu saya masih kelas III SMP, mau semester II, pas Desember libur semester I saya (hampir) nikah,” ujarnya
Kini Rika menjadi bagian dari Forum Anak. Ia kerap mengampanyekan dampak buruk perkawinan anak terhadap sebayanya.
“Saran saya, batasi pergaulan. Utamakan sekolah, belajar, berkegiatan positif. Setop perkawinan anak!” tegasnya.
Mereka Ada di Balik Angka “Darurat”
Angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2021 terdapat 9,23 persen, 2022 turun menjadi 8,06, dan 2023 hanya 6,92 persen. Angka Badan Pusat Statistik tersebut dipakai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
"Hasilnya (6,92) persen dari seluruh anak di Indonesia. Anak adalah 30 persen dari seluruh total jumlah penduduk," kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPA Pribudiarta Nur Sitepu kepada detikX.
Jika mengacu penjelasan Pribudiarta, 30 persen penduduk Indonesia, yang berjumlah 282.477.584, adalah sekitar 84.743.275 jiwa. Sebanyak 6,92 persen dari jumlah itu, alias anak di Indonesia yang melangsungkan perkawinan, adalah sekitar 5.864.234 jiwa. Itu bukan angka yang sedikit, bahkan melebihi jumlah penduduk Jakarta Selatan atau Jakarta Barat.
Di sisi lain, ada masalah yang tersingkap di antara klaim keberhasilan menekan angka perkawinan anak: terjadi peningkatan angka perkawinan anak di beberapa provinsi. Bahkan di beberapa daerah itu angka perkawinan anak hanya turun pada 2022, lalu meningkat kembali pada 2023. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, naik dari 16,23 persen ke 17,32 persen. Kemudian di Sulawesi Barat dari 11,7 persen menjadi 11,25 persen, dan di Papua dari 9,7 persen menjadi 11,9 persen. Selain itu, ada tujuh provinsi lagi yang mengalami kenaikan.
Besar kemungkinan perkawinan anak di NTB terjadi tanpa pengajuan dispensasi kawin atau setidaknya tak melalui Pengadilan Agama. Sebab, tercatat pada 2023 terdapat 12.969 permohonan dispensasi kawin di Jawa Timur, yang tertinggi di Kabupaten Malang (1.768) dan Jember (1.445). Sedangkan di Nusa Tenggara Barat hanya 723. Padahal angka BPS menunjukkan sebaliknya, perkawinan anak di NTB lebih tinggi daripada Jawa Timur. Ini anomali.
Jika dikalkulasi, pada 2023 terdapat 160.387 anak di NTB yang melangsungkan perkawinan. Angka tersebut didapat dari 17,32 persen dari jumlah penduduk NTB berusia 10-19 tahun. Berdasarkan data BPS, pada 2023 terdapat 926.022 penduduk NTB berusia remaja dalam rentang usia 10-19 tahun (definisi remaja sesuai Pasal 1 Ayat (7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014).
Angka Perkawinan Anak di Indonesia
Persentase angka perkawinan anak di 8 provinsi tertinggi per tahun dalam rentang 2015-2023
Di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Mataram, NTB, terdapat 420 alasan perkawinan dikarenakan hamil, 20 telah berhubungan intim, dan 281 orang mengatakan jatuh cinta. Tak ada alasan ekonomi sama sekali. Data ini terkait alasan yang diajukan untuk permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama seluruh Indonesia pada 2022.
Semua data dan temuan liputan mendalam detikX ini senapas dengan angka Rata-rata Lama Sekolah (RTS) di NTB. Sebagian besar remaja NTB putus sekolah di kelas III atau IX SMP. Hal itu berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada Maret 2023, angka RTS di NTB mencapai 8,39 tahun. Ini menunjukkan secara rata-rata pendidikan penduduk umur 15 tahun ke atas baru mencapai jenjang pendidikan kelas II SMP (kelas VIII). RTS di NTB cenderung meningkat sejak 2018 hingga saat ini.
Pada Mei lalu, Penjabat Gubernur NTB Lalu Gita Ariadi menyatakan kondisi perkawinan anak di provinsinya sudah ‘darurat’. Di NTB sebenarnya sudah ada beberapa aturan mencegah perkawinan anak, yaitu Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak, Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026, hingga dibentuknya Satuan Tugas Pencegahan Perkawinan Anak (Satgas PPA).
Risya Kori, Gender Programme Specialist United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, mengungkapkan praktik berbahaya perkawinan anak ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mengancam kesehatan dan kesejahteraan, serta membatasi prospek masa depan. Ketika anak perempuan dinikahkan, ia akan memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk mendapatkan pendidikan, mengejar potensinya, dan menikmati kesetaraan gender.
“Perkawinan anak masih menjadi PR besar kita saat ini. Di Indonesia, 1 dari 14 perempuan menikah di bawah usia 18 tahun (6,92 persen) menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2023. Nusa Tenggara Barat tercatat sebagai provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di 17,32 persen," ujar Risya kepada detikX
Menghapus perkawinan anak, kata Risya, adalah salah satu prioritas UNFPA. Seperti yang tertulis di three transformative results: mengakhiri kebutuhan keluarga berencana (KB) yang tidak terpenuhi, mengakhiri kematian ibu yang bisa dicegah, dan mengakhiri kekerasan berbasis gender dan praktik-praktik berbahaya seperti perkawinan anak dan pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP).
Di Indonesia, UNFPA mendukung Kementerian PPPA dalam program pencegahan perkawinan anak. Ini dilakukan melalui komunikasi perubahan perilaku tentang kesehatan reproduksi untuk kelompok remaja. UNFPA juga mendukung ketersediaan alat monitoring dan evaluasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak melalui pengembangan bersama dashboard Stranas PPA.
"Harapan kami, setiap anak perempuan bisa menikmati hak-haknya secara penuh sehingga sehat, sejahtera, dan mampu mencapai potensi dalam hidupnya," pungkasnya.
Reporter dan Penulis
Dieqy Hasbi Widhana
Redaktur Bahasa
Habib Rifai
Frontend Developer
Dedi Arief Wibisono