Mitigasi Risiko Kenaikan PPN

4 weeks ago 33

Jakarta -

Terhitung mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara resmi akan mengalami kenaikan menjadi 12% atau naik 1% dari tarif yang berlaku saat ini. Kabar baiknya, pemerintah tetap memperhatikan aspek keadilan dalam penerapannya dengan memberikan berbagai fasilitas dan insentif perpajakan, termasuk insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas berbagai barang yang sangat dibutuhkan masyarakat luas.

Rencana kenaikan ini sempat memicu kritik dan protes masyarakat luas termasuk pengusaha, asosiasi bahkan anggota DPR. Desakan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN terus menggema di media massa dan media sosial. Di berbagai platform media sosial, masyarakat mengunggah konten video penolakan tarif PPN disertai kritik terhadap Kementerian Keuangan yang dianggap paling bertanggung jawab atas kebijakan ini.

Di media sosial X, suara penolakan bahkan pernah menjadi trending topic dengan tagar #tolakppn12%. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) termasuk yang menolak rencana kenaikan PPN menjadi 12% tahun depan. YLKI menganggap kebijakan kenaikan tarif PPN akan menambah beban masyarakat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi.

Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal menjadi salah satu wakil rakyat yang meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan kenaikan tarif PPN. Dikutip dari detikcom, Cucun mengemukakan tiga alasan kenaikan PPN perlu dikaji ulang, yakni dampak langsung terhadap daya beli masyarakat, memperlambat pemulihan ekonomi nasional, dan penurunan sektor ritel, pariwisata dan industri.

Kenaikan PPN juga banyak ditanggapi skeptis oleh para pengamat ekonomi dan pengusaha yang intinya menilai kebijakan ini berdampak negatif pada perekonomian, mendorong inflasi serta multiplier effect kenaikan PPN terhadap biaya produksi dan distribusi barang dan jasa.

Kebijakan ini harus diakui mempengaruhi berbagai aspek ekonomi, terutama dampak langsung terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Menyikapi kenaikan ini, beberapa pihak sampai menyuarakan frugal living di tahun depan, di mana mereka akan menahan diri belanja kebutuhan sekunder dan hanya melakukan pengeluaran untuk kebutuhan primer.


Bukan Kebijakan Pemerintahan Baru

Banyak pihak yang mengaitkan kebijakan kenaikan PPN 2025 sebagai konsekuensi pembiayaan berbagai program pemerintahan baru, khususnya program makan bergizi gratis yang digagas Presiden Prabowo. Sayangnya, terlalu banyak analisis dan argumen yang bias manakala kebijakan kenaikan PPN selalu dilihat dari kacamata politik praktis dan tak lagi bertumpu pada kebijakan ekonomi.

Perlu dipahami bahwa kenaikan tarif PPN 2025 adalah amanat konstitusi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR empat tahun lalu, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU ini mengamanatkan kenaikan tarif PPN menjadi sebesar 11% mulai 1 April 2022 dan paling lambat 1 Januari 2025 menjadi 12%.

Dengan demikian jelas bahwa saat kebijakan kenaikan tarif PPN diputuskan, belum diketahui siapa presiden terpilih dan menteri keuangan setelah masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berakhir. Kenaikan PPN sama sekali tidak relevan bila dikaitkan dengan program pemerintahan baru saat ini.

Sangat wajar bila banyak pihak meminta penundaan kenaikan tarif PPN dengan dalih menambah beban masyarakat dan dunia usaha. Sekalipun UU HPP memberi ruang bagi perubahan tarif PPN berdasarkan Peraturan Pemerintah, namun perubahan tersebut harus tetap mendapat persetujuan DPR.

Perlu dipahami bahwa penundaan kenaikan bukan tanpa risiko. RAPBN 2025 disusun dan ditetapkan dengan berbagai asumsi, salah satunya jumlah penerimaan pajak. Penundaan kenaikan tarif PPN otomatis mengharuskan pemerintah melakukan penyesuaian, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran (belanja) yang akan berpengaruh pada target output yang sudah ditetapkan.

Sebenarnya, sejak reformasi UU perpajakan digulirkan pada 1983, tarif PPN adalah serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Meskipun UU memberi kewenangan kepada pemerintah mengubah tarif PPN sampai dengan 15% berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, kita ketahui bersama bahwa selama hampir 40 tahun, pemerintah hanya menerapkan tarif 10%.


Kenaikan PPN pada 2022

Kita dapat melihat gambaran umum bagaimana kenaikan PPN tahun depan dengan membandingkan dampaknya ketika tarif PPN mengalami kenaikan menjadi 11% pada 2022. Saat itu, dampak kenaikan PPN terhadap total penerimaan pajak tidak terlalu signifikan. Hal ini terjadi karena pada saat bersamaan, pemerintah memberikan berbagai insentif dan fasilitas yang tercermin dari jumlah belanja perpajakan pemerintah dalam APBN.

Meskipun ada kenaikan tarif PPN, ekonomi Indonesia 2022 tetap menunjukkan tren positif yang ditandai dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, menurunnya tingkat kemiskinan, peningkatan PDB dan pertumbuhan ekonomi 5,31%. Memang laju inflasi meningkat menjadi 5,51%, tetapi pada tahun berikutnya (2023) kembali turun menjadi 2,61% dan tahun ini diperkirakan 2,70%.

Beberapa indikator ekonomi menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN 1% pada 2022 sebenarnya tidak menimbulkan dampak negatif pada perekonomian. Berpijak pada fakta ini, kenaikan tarif PPN 1% pada 2025 seharusnya tidak perlu menimbulkan kekhawatiran dan kepanikan secara berlebihan.


Barang Kebutuhan Pokok Bebas PPN

Dalam RAPBN 2025, pemerintah sudah mempersiapkan mitigasi risiko kenaikan dalam bentuk belanja perpajakan (tax expenditures). Secara sederhana, belanja perpajakan adalah berkurangnya pendapatan negara dari pajak akibat pemberian aneka insentif dan fasilitas perpajakan di berbagai sektor. Pada 2022, ketika tarif PPN naik 1%, belanja perpajakan mencapai Rp 341,1 Triliun. Merujuk pada Nota Keuangan beserta RAPBN 2025, belanja perpajakan tahun depan mencapai Rp 445,5 Triliun di mana 60% ditujukan untuk PPN dan PPnBM (Rp 265,6 Triliun).

Berdasarkan sektor perekonomian, belanja perpajakan terutama ditujukan untuk sektor industri pengolahan (Rp 122,3 Triliun), sementara berdasarkan tujuan kebijakan, hampir separuhnya (47%) difokuskan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan jumlah Rp 209,5 Triliun.

Meskipun tahun depan ada kenaikan tarif PPN sesuai amanat UU HPP, pemerintah telah merumuskan langkah-langkah mitigasi risiko agar kenaikan tersebut tidak berpengaruh terhadap harga barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat. Berbagai fasilitas dan insentif perpajakan yang sudah disiapkan Presiden Prabowo menunjukkan tekad pemerintahan baru yang tetap memperhatikan beban masyarakat luas di tengah tantangan memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Irwan Harefa, S.E, M.Ak pegawai Kementerian Keuangan; artikel ini pendapat pribadi

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial