Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengatakan demokrasi yang dijalankan perlu dilakukan perbaikan. Yakni, memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dinilai terlalu mahal. Puluhan triliun habis dalam satu-dua hari. Dan, cara untuk melakukan perbaikan pilkada di antaranya adalah mengembalikan pemilihan daerah melalui DPRD.
Pilkada adalah peristiwa kolosal; kegiatannya memfasilitasi hak individu setiap orang. Tingginya biaya pilkada disebabkan proyeksi melibatkan semua pemilih. Sepanjang warga negara memenuhi syarat sebagai pemilih, penyelenggara pemilu wajib mendaftar, memberikan sosialisasi, mengundang hadir, dan memfasilitasinya saat menggunakan hak suaranya.
Mengapa? Karena memilih adalah satu-satunya kesempatan bagi warga negara merasakan sebagai penguasa --memiliki kuasa untuk menentukan siapa yang akan diperintah dalam mengurusi urusan bersama; memberikan suaranya kepada siapa yang akan menjadi pelayan urusan publik dan pemerintahan. Berkuasa lima menit untuk menentukan masa depan lima tahun.
Di samping itu, sepertiga lebih biaya pilkada digunakan untuk honor panitia ad hoc yang bekerja pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Honor ini tentu membantu dapur para penyelenggara untuk tetap mengepul. Terdapat distribusi anggaran negara untuk membantu kelangsungan hidup warganya. Sepertiganya lagi digunakan untuk memfasilitasi hak pilih yaitu pengadaan surat suara, formulir, dan pembuatan TPS. Sisanya digunakan untuk sosialisasi, bimbingan teknis, dan keperluan sekretariat.
Maka berapapun biaya pilkada, sesungguhnya tidak besar karena menjadi titik pijak untuk menentukan pemerintahan yang demokratis, sesuai dengan kehendak pemilih; membentuk akuntabilitas pemerintahan dengan mempertanggungjawabkan langsung kepada rakyat. Jika pilkada tidak diikuti oleh semua komponen dan mayoritas pemilih, di situlah kerugiannya. Sudah dibiayai untuk memberikan kesempatan semua pihak, tetapi tidak semua kesempatan digunakan secara maksimal.
Peluang untuk berpartisipasi bukan hanya memilih, tetapi juga untuk dipilih. Antara pihak yang memilih dengan calon yang dipilih wajib saling terwakili dan mewakili. Yang menjadi calon mewakili pihak yang akan memilih. Sebaliknya, yang akan memilih merasa terwakili dengan yang dicalonkan. Begitulah prinsip representasi dalam demokrasi.
Menjadi Mahal
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa setelah pilkada wajah lesu terlihat dari pihak yang menang, apalagi yang kalah sesungguhnya sekaligus menjadi jawaban mengapa pilkada menjadi mahal.
Partai politik sebagai organisasi yang bertanggung jawab dan memiliki kewenangan menjadi pihak yang dipilih atau dicalonkan, nyatanya tidak cukup baik dalam mewujudkan perwakilan. Buktinya, bahkan pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan syarat mengusung pencalonan, jumlah pasangan calon di mayoritas daerah masih terbatas. Saking terbatasnya terdapat 37 daerah yang bercalon tunggal.
Keinginan partai politik untuk menang mudah dengan cara mengumpulkan dukungan kursi sebanyak mungkin adalah praktik paling banal menurunkan keterwakilan. Setiap daerah yang semestinya minimal bisa menghadirkan empat pasangan calon, diwujudkan dengan jumlah pasangan calon yang minim.
Calon yang ingin maju sebagai kepala daerah perlu menyiapkan dana besar. Tidak hanya memberikan kontribusi kepada partai politik sebagai sarana sewa perahu tetapi juga bertanggung jawab dalam pembiayaan kampanye. Biaya politik mahal karena partai politik sebagai aktor penghubung memiliki kelemahan dasar yaitu kurang memiliki kas organisasi sehingga mengandalkan kesediaan calon untuk menutupi kebutuhannya.
Situasi ini menyebabkan para calon yang diusung partai politik adalah para calon yang memiliki kekayaan, wewenang, atau relasi kuasa untuk mengakses dana-dana lainnya dalam proses pemenangan pilkada. Kekuatan untuk mengumpulkan biaya politik dari semakin banyak pihak adalah faktor pertama pembuktian istilah tidak ada makan siang gratis.
Faktor berikutnya mengapa pilkada menjadi mahal adalah pendekatan partai politik kepada pemilih. Dalam mendekati pemilih, partai politik hadir di masyarakat hanya pada saat momentum elektoral saja. Kantor partai politik dibuka, media sosial diaktifkan dan datang ke rumah-rumah atau ke kelompok masyarakat sebagian besar dilakukan pada tahapan kampanye hingga jelang pemungutan suara.
Pendekatan yang dibatasi hanya pada momentum elektoral inilah yang kemudian menjadikan partai politik mengambil jalan pintas, yaitu pendekatan transaksional. Tawaran agar calon dipilih oleh pemilih dijalankan dengan pemberian uang atau barang dengan berbagai cara, metode, dan variasinya. Baik secara individu, kelompok, atau organisasi melalui sarana langsung maupun tidak langsung dengan metode tunai atau non-tunai.
Partai politik dan calon tidak pernah sepakat untuk secara bersama-sama menolak politik transaksional sebagai kunci utama untuk menghapuskan politik uang. Karena sekuat-kuatnya permintaan pemilih, jika partai politik dan calon sepakat untuk tidak memberinya, maka politik transaksional tidak akan terjadi. Cukup menggunakan biaya kampanye yang sudah diatur oleh penyelenggara pemilu saja.
Faktanya, partai politik, calon, dan tim kampanye berlomba-lomba untuk mendekati pemilih dengan cara transaksional karena dianggap efektif dalam waktu yang terbatas. Semakin kuat sebuah persaingan, semakin tinggi potensi politik transaksional. Dan, semakin besar juga biaya politik yang dikeluarkan.
Kondisi inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab pilkada mahal. Aktor utamanya adalah partai politik sendiri sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengelola proses pencalonan dan mendekati pemilih dengan cara yang transaksional. Pilkada yang hanya dijadikan sarana perebutan sumber daya lokal diraih dengan mengandalkan kekuatan uang dan relasi kekuasaan.
Oleh karena itu, jangan buru-buru mengganti sistem pilkada langsung ke pemilihan melalui DPRD. Cari dulu penyebab utama pilkada mahal dan akar persoalan yang melingkupinya. Apakah karena sistem pilkadanya yang langsung oleh rakyat, atau perbuatan aktor politiknya yang tidak sesuai dengan tujuan tata kelola pemerintahan daerah.
Karena, mengembalikan pilkada ke DPRD juga tidak menjamin bebas dari politik transaksional dan praktik korupsi yang sedang dilawan oleh Presiden Prabowo sendiri.
Masykurudin Hafidz Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
(mmu/mmu)