Menakar Imbas Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan

20 hours ago 6

Jakarta -

Wacana pemerintah, melalui menterinya, menjadi sorotan publik hingga saat ini. Pertama Sekolah Rakyat; program ini dipandang sebagai langkah strategis dalam membendung angka putus sekolah atau keterbatasan akses pendidikan, khususnya bagi masyarakat yang tidak sanggup secara materi (finansial). Kedua, Sekolah Unggulan (Garuda), secara spesifik diperuntukkan bagi anak bangsa yang mempunyai kemampuan hebat, katakanlah di atas rata-rata atau orang kaya.

Pertanyaannya, apakah wacana tersebut benar-benar menjadi langkah solutif bagi rakyat Indonesia atau justru memperkuat dikotomi atau fragmentasi di bidang pendidikan?

Penting dipahami bahwa bangsa kita telah cukup lama terfragmentasi dalam tatanan sosial di masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Masyarakat menilai berdasarkan fakta yang tampak, maka tak jarang di diantara mereka memandang bahwa sekolah A untuk orang kaya, sekolah B bagi orang miskin, dan sekolah C khusus anak-anak pintar. Kondisi tersebut harus dihilangkan demi keutuhan nasional.


Belajar dari Sejarah

Saat ini, Sekolah Rakyat dipandang sebagai langkah strategis dalam memutus angka putus sekolah di kalangan masyarakat miskin. Pada periode kolonial, Sekolah Rakyat hanya dipandang sebagai institusi pendidikan pribumi kelas biasa (tidak bangsawan). Namun, di antara mereka berhasil memanfaatkannya sebagai titik berangkat memperoleh alam kemajuan, membentuk sekolah berbasis kesetaraan (tidak membeda-bedakan subjek belajar dari warna kulit, suku, status ekonomi, intelektualitas, dan sejenisnya) kemudian berjuang melawan penindasan bangsa Belanda.

Beberapa di antara mereka sebut saja Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Tjokroaminoto berhasil menjadi motivator bagi kalangan pejuang lainnya pada masa itu. Sekolah bentukan pribumi adalah dapat dipandang sebagai antitesis dari sekolah Belanda yang diskriminatif. Beberapa tahun belakangan, keadaan pendidikan kita cenderung kembali seperti masa kolonial. Memisah-misah subjek belajar berdasarkan kepada sejumlah indikator (ekonomi, intelektual, jarak, dan terkait lainnya).

Pendidikan kita saat ini juga tidak terlepas dari apa yang disebut neoliberalisme. Sejumlah instansi pendidikan menjadi ladang investasi bagi pemilik modal. Maka tak jarang, sekolah-sekolah yang dianggap mahal hanya bagi mereka yang kaya, sementara anak miskin semakin terpinggirkan. Sarana dan prasarana di tempat mereka menimba ilmu terbatas sementara anak orang kaya dimanjakan dengan ketersediaan wadah belajar yang serba lengkap.

Kesenjangan-kesenjangan itu masih tetap ada hingga saat ini, namun dari beberapa tokoh/pemimpin menyuarakan kalimat motivasi bahwa kaum miskin dapat bersaing dengan orang kaya. Tidak salah memang, tetapi berapa persen jumlahnya? Saat ini kalimat motivasi itu dengan gampang muncul tanpa melihat realitas empirik. Optimistis itu perlu, tetapi mengesampingkan fakta di lapangan adalah perbuatan yang keliru. Bagaimana mau belajar jika apa yang dibutuhkan serba tidak ada?

Apakah Bentuk Diskriminasi?

Tindakan-tindakan kolonialis yang berupaya mengkerdilkan keberadaan pribumi (kelas bawah) di jenjang pendidikan pada masa itu patutnya menjadi pembelajaran bagi kita yang hidup saat ini. Sekolah Rakyat yang tampak di atas kertas bagus, justru berpotensi sebagai wadah pemisah (diskriminasi) antara subjek belajar dari berbagai kalangan (kaya, miskin, pintar, dan sejenisnya).

Belum lama ini, Seorang siswi dari Punco Ruyung, Nagari Batu Kalang, Kecamatan VII Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat berhasil lolos ke perguruan tinggi jalur prestasi (SNBP) di Fakultas Kedokteran UI. Siswi tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu dan menamatkan studi di salah satu sekolah negeri di daerahnya. Keberhasilannya itu mendapat dukungan dari sejumlah pihak, namun di lain sisi juga terdengar dari sejumlah orang sekitar, yang dalam hal ini menyatakan bahwa "ia merupakan anak yang tak tahu diri."

Pernyataan tersebut timbul lantaran siswi terkait kurang mampu secara materi (Ayosumbar, 27/3). Berangkat dari kasus siswi di atas, jelas bahwa fragmentasi di tengah masyarakat cenderung berimbas pada sikap pesimistis. Masyarakat takut akan pendidikan yang berkualitas sebab keterbatasan biaya pendidikan. Atas dasar ketidaksanggupan ekonomi, masyarakat memandang bahwa pendidikan di kampus-kampus ternama hanyalah bagi mereka yang cukup secara materil. Jika nekat mengikutinya, dipandang sebagai sosok yang tak sadar diri oleh keterbatasan.

Jika program Sekolah Rakyat dan Unggulan ini berlangsung; Sekolah Rakyat jelas akan dilabelisasi untuk golongan keluarga miskin dan Sekolah Unggulan dilabelisasi sebagai sekolah anak pintar (kaya). Sekolah Rakyat yang digadang-gadang menjadi wadah mobilitas sosial bagi kalangan masyarakat miskin justru membuka pintu diskriminatif dan mereka kian terpinggirkan. Sementara mereka yang di Sekolah Unggulan dipercaya sebagai benih ilmuan, dan sejenisnya yang akan berkompetisi dalam dunia global. Anak-anak dari Sekolah Rakyat dikemanakan?

Pendidikan merupakan wadah untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, membuat mereka peka akan realitas sosial. Jika Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan menjadi wacana yang belum ditetapkan, maka langkah diskusi dengan setiap pihak perlu dilakukan. Sistem pendidikan kita terlalu sering "dikacaukan" dengan ragam kebijakan yang perubahannya belum terukur dengan jelas namun diganti dengan bentuk baru.

Sejumlah kementerian berlomba-lomba mengeluarkan wacana dengan dalil memenuhi kebutuhan dasar (salah satunya pendidikan) warga negara. Tetapi dampak destruktif terhadap sejumlah hal belum dikaji secara komprehensif. Daripada menggelontorkan anggaran terhadap program baru, lebih baik memperbaiki sistem yang kurang, seperti kualitas sarana dan prasarana di sekolah, kualitas SDM (guru dan tenaga kependidikan), kesejahteraan guru, dan aspek sejenis lainnya.

Semoga wacana tersebut bukan kepentingan politik dari sebagian kelompok semata yang dapat menjadi bahan kampanye mereka saat kontestasi lima tahun mendatang. Semoga pendidikan kita terus membaik ke depannya.

Rahfit Syahputra Guru SMAN 1 Rokan IV Koto

Simak juga Video: Mekanisme Rekrutmen Murid Sekolah Rakyat

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial