Membantu Gaza dan Catatan Kritis untuk Prabowo

2 days ago 11

Jakarta -

Presiden Prabowo Subianto bermain api dengan wacana evakuasi warga Gaza ke Indonesia. Di balik bungkus humanisme, terselip bahaya diplomasi yang ceroboh dan pengabaian terhadap masalah dalam negeri. Ketika 1 dari 10 orang Indonesia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, bukankah lebih bijak membenahi rumah sendiri sebelum menjadi pahlawan bagi dunia?

Presiden Prabowo Subianto kembali membuat pernyataan yang mengejutkan publik. Dalam pidatonya beberapa hari lalu, ia menyatakan kesediaan Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza yang menjadi korban perang ke tanah air. Gagasan ini, meski terlihat mulia di permukaan, memantik sejumlah pertanyaan kritis: seberapa realistis rencana ini, dan apa implikasi strategisnya bagi Indonesia?
Prabowo menyampaikan wacana ini dengan semangat kemanusiaan dan mengutip amanat konstitusi: bahwa Indonesia harus aktif dalam menciptakan ketertiban dunia.

Namun, niat baik saja tidak cukup. Realitas geopolitik Gaza jauh dari sederhana. Wilayah ini dikepung ketat oleh Israel, baik dari sisi darat, laut, maupun udara, dengan kontrol perbatasan yang sebagian besar berada di tangan Mesir dan Israel. Tanpa koordinasi dan kesepakatan diplomatik yang matang, evakuasi semacam ini sulit diwujudkan, bahkan terkesan utopis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertanyaannya: apakah Indonesia telah menjalin negosiasi konkret dengan otoritas terkait, terutama Mesir dan Israel? Jika tidak, gagasan ini berisiko jatuh ke dalam ranah retorika belaka. Bahkan negara-negara Arab sekalipun-yang memiliki kedekatan budaya dan historis dengan Palestina-tidak serta merta bersedia menerima pengungsi Gaza.

Respon masyarakat pun terbelah. Ada yang mengapresiasi semangat solidaritas yang ditunjukkan Prabowo, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan urgensi, relevansi, dan motif politik di baliknya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, menolak secara tegas. Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim, menyebut bahwa relokasi massal warga Gaza justru dapat menjadi bentuk pengusiran halus dan membuka celah bagi Israel untuk menguasai sepenuhnya wilayah Gaza yang ditinggalkan penduduknya. Dalam perspektif ini, relokasi bukan lagi bentuk solidaritas, melainkan berpotensi menjadi bagian dari strategi pemutihan wilayah oleh kekuatan pendudukan-sebuah praktik yang dalam hukum internasional bisa dikategorikan sebagai genosida.

Dalam konteks kemanusiaan global, gagasan tersebut memang terdengar mulia. Namun jika ditelusuri lebih jauh, banyak aspek yang luput dari pertimbangan matang, baik secara diplomatik, legal, sosial, maupun politik domestik.

Pertama-tama, gagasan ini patut diuji dari sisi konstitusional dan legal. Indonesia bukanlah negara yang memiliki tradisi menerima pengungsi secara massal dari zona perang luar negeri, apalagi dalam skala ribuan orang. Hingga kini, pengelolaan pengungsi di Indonesia masih bersifat terbatas, lebih sebagai negara transit, bukan negara tujuan. Sistem hukum dan administrasi imigrasi Indonesia belum disiapkan untuk menampung eksodus pengungsi secara besar-besaran dan permanen.

Kedua, dalam dimensi geopolitik, evakuasi warga Gaza ke Indonesia dapat menimbulkan implikasi serius. Palestina-dengan segala kerumitan sejarah dan politiknya-bukan sekadar isu kemanusiaan. Ia adalah konflik multidimensional dengan pertaruhan kekuasaan global. Ketika Indonesia menawarkan diri sebagai negara penerima warga Gaza, maka posisi diplomatik Indonesia akan berubah drastis. Alih-alih menjadi juru damai netral, Indonesia dapat dianggap condong ke satu sisi dalam konflik yang sangat sensitif secara geopolitik.

Indonesia selama ini dikenal sebagai pendukung kuat kemerdekaan Palestina di berbagai forum internasional, namun tetap menjaga posisi hati-hati dan tidak turut campur dalam urusan teritorial. Langkah evakuasi bisa menabrak prinsip non-intervensi dan memicu ketegangan baru, baik di kawasan Timur Tengah maupun dalam hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara besar.

Ketiga, dan ini yang paling penting, gagasan evakuasi ini perlu ditakar dengan jujur dalam konteks domestik: sejauh mana negara ini telah berhasil menyejahterakan rakyatnya sendiri? Ketika angka kemiskinan, ketimpangan sosial, dan akses layanan publik di berbagai daerah masih menjadi persoalan nyata, mengimpor masalah kemanusiaan dari luar negeri tentu menimbulkan pertanyaan besar. Apakah negara telah begitu surplus dalam kapasitas anggaran, logistik, dan sistem sosial sehingga merasa mampu menampung beban tambahan?

Gagasan ini juga dapat menimbulkan resistensi sosial dalam negeri. Bayangkan jika ribuan warga Gaza tiba dan ditempatkan di daerah-daerah tertentu.

Sentimen identitas, stigma terhadap pendatang, dan potensi konflik horizontal bisa muncul sewaktu-waktu. Kita belum lupa bagaimana respons terhadap pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh beberapa tahun lalu. Solidaritas warga memang menyentuh, namun di sisi lain, ada juga suara-suara penolakan karena kekhawatiran terhadap beban sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.

Keempat, tak bisa diabaikan pula dimensi politis dari gagasan ini. Prabowo Subianto adalah seorang politisi ulung yang memahami pentingnya narasi besar dalam membangun legitimasi. Di tengah transisi kekuasaan dan sorotan publik terhadap konfigurasi kabinet barunya, isu Palestina dapat menjadi panggung simbolik untuk menegaskan posisi moral dan memperkuat citra pemimpin berjiwa humanis di mata dunia. Namun, jika tidak disertai kesiapan struktural dan dukungan masyarakat luas, niat baik itu bisa menjadi bumerang.

Kemanusiaan memang tak mengenal batas negara. Namun kebijakan luar negeri tidak dapat dibangun semata atas dasar simpati dan moralitas. Ia menuntut ketelitian, rasionalitas, serta kesiapan institusional. Jika Prabowo benar-benar ingin menunjukkan komitmen pada rakyat Palestina, jalur yang lebih strategis adalah memperkuat diplomasi internasional, meningkatkan dukungan kemanusiaan konkret-seperti bantuan medis, logistik, dan pembangunan infrastruktur-serta menjadi pelopor gencatan senjata dan rekonsiliasi damai melalui forum-forum multilateral.

Menjadi pemimpin yang peduli terhadap penderitaan sesama manusia adalah nilai luhur yang patut diapresiasi. Tetapi menjadi pemimpin yang bijak dan cermat dalam menakar kapasitas serta risiko adalah kualitas kenegarawanan yang sejati. Jangan sampai, dalam semangat menolong yang lain, kita justru mengabaikan tugas besar menyejahterakan rakyat sendiri-yang masih menanti "evakuasi" dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan di negeri ini.

Pieter C Zulkifli, Pengamat hukum dan politik, Mantan Ketua Komisi III DPR

(ygs/ygs)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial