Mampukah Jaringan Energi Taiwan Bertahan Jika Diserang China?

21 hours ago 6

Jakarta -

Latihan militer Cina yang semakin sering di sekitar Taiwan telah menimbulkan kekhawatiran di pulau itu tentang keamanan energinya.

Taiwan yang terletak hanya 160 kilometer dari daratan Cina, sangat bergantung pada gas alam cair (LNG) dan impor energi — menjadikannya sangat rentan terhadap blokade laut.

"Energi akan menjadi sasaran pertama Beijing [jika terjadi blokade atau invasi]," papar James Yifan Chen, seorang profesor diplomasi dan hubungan internasional di Universitas Tamkang di Taiwan, kepada DW.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam latihan terbaru pada awal April, militer Cina mensimulasikan operasi blokade di sekitar jalur pelayaran penting dekat pulau itu.

Latihan tersebut juga mensimulasikan serangan tembakan langsung pada pelabuhan dan fasilitas energi.

"Kapal LNG akan kesulitan berlabuh di Taiwan," jelas Chen. "Orang-orang akan kehabisan energi dan air, karena pasokan air bergantung pada listrik. Komunikasi juga bergantung pada listrik dan militer tidak akan dapat berfungsi (tanpa energi)," tambahnya.

Dalam situasi seperti itu, Chen meyakini bahwa Taiwan akan kesulitan mendapatkan bantuan dari luar untuk pasokan energinya karena isolasi geografis dan diplomatiknya.

"Taiwan lebih rentan daripada Ukraina," kata Chen, karena Kyiv setidaknya dapat mengandalkan dukungan dari negara-negara Eropa dan sekutu-sekutunya.

Lokasi Taiwan, di sisi lain — dan kenyataan bahwa Taiwan hanya memiliki hubungan diplomatik resmi dengan 12 negara kecil — berarti pulau itu akan dengan cepat terkepung oleh blokade Cina.

Berapa lama energi Taiwan dapat bertahan jika Cina menyerang?

Beijing menganggap Taiwan sebagai wilayahnya yang memisahkan diri, dan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan kekuatan untuk menguasainya.

Mayoritas orang Taiwan menentang unifikasi dengan daratan Cina, demikian menurut Universitas Nasional Chengchi Taiwan.

Pada tahun 2023, Menteri Pertahanan Nasional saat itu, Chiu Kuo-cheng mengatakan, jika Taiwan dibiarkan tanpa bantuan, pulau itu dapat bertahan dari serangan Cina selama dua minggu jika persiapan yang cukup dilakukan selama masa tenang.

Namun, Chia-wei Chao, dari Taiwan Climate Action Network (TCAN) dan asisten profesor di Universitas Nasional Taiwan, berpendapat bahwa dua minggu "bukan pedoman yang masuk akal."

"Konsumsi energi akan menurun, bahkan mungkin setengahnya, jika terjadi blokade, sehingga cadangan energi dapat bertahan lebih lama," kata Chao kepada DW.

Berdasarkan perkiraan saat ini, "cadangan gas seharusnya dapat bertahan selama 30 hari setelah 2030, dan 28 hari saat ini dengan permintaan konsumsi energi yang lebih rendah," tambah Chao.

Tsaiying Lu dari Taiwan's Research Institute for Democracy, Society, and Emerging Technology (DSET), bahkan lebih optimistis.

Dia memprediksi, cadangan gas alam cair atau LNG pulau itu akan bertahan setidaknya 40 hari di bawah blokade.

Perkiraan itu didasarkan pada pola pasokan energi pulau tersebut selama periode konsumsi rendah, seperti hari kedua Tahun Baru Imlek, yang memberikan perkiraan kondisi paling mendekati kondisi perang.

"Menurut penilaian kami, permintaan [jika terjadi blokade] akan didukung oleh pembangkit listrik tenaga batu bara, dan kemudian turbin gas akan digunakan untuk mendukung ketika tenaga surya mulai menurun pada malam hari," ujar Lu.

Cadangan energi juga dapat diperpanjang lebih lanjut dengan pembatasan pasokan listrik untuk sektor industri tertentu, tambahnya.

Energi terbarukan dapat memastikan keamanan energi

Meskipun Chao menunjukkan bahwa Taiwan tidak memasukkan pasokan energi dalam anggaran pertahanannya, dia menyoroti "pengembangan energi hijau terkait dengan keamanan nasional."

"Tenaga surya dan penyimpanannya harus menjadi yang paling dapat diandalkan jika terjadi perang, karena panel-panel tersebut dapat dipindahkan," tandas Chao. "Transisi energi terbarukan benar-benar dapat memastikan keamanan energi."

Pulau itu berencana untuk menghasilkan 20% dari energi listriknya dari sumber terbarukan pada akhir 2025, sebagai bagian dari tujuan iklim untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, menurut Kementerian Luar Negeri Taiwan.

Namun, pada tahun lalu hanya sekitar 12% dari energi domestik Taiwan yang berasal dari angin, matahari, hidro, metana, dan pembakaran sampah, kata Perusahaan Listrik Negara (PLN) Taiwan.

Apakah tenaga nuklir akan jadi solusi?

Untuk menjembatani kekurangan tersebut, seruan untuk memulai kembali program pembangkit energi nuklir yang kontroversial di pulau itu semakin menguat.

Pada bulan Mei, Taiwan akan menutup reaktor nuklir terakhir yang masih beroperasi sebagai bagian dari kebijakan "tanah air bebas nuklir" yang dipromosikan oleh pemerintahan Presiden Taiwan Lai Ching-te.

Tenaga nuklir menyumbang kurang dari 3% dari pembangkit energi Taiwan, demikian menurut Kementerian Urusan Ekonomi Taiwan.

Namun, Chen dari Universitas Tamkang meyakini tenaga nuklir bisa menjadi kunci bagi pulau itu untuk bertahan dari blokade Cina.

"Taiwan hanya membutuhkan satu hingga dua tahun untuk memulai kembali pembangkit nuklirnya, dan Amerika Serikat bisa membantu kami dalam hal itu," ujarnya.

Awal tahun ini, partai oposisi utama Taiwan, Kuomintang (KMT), mengklaim bahwa 73% responden dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga pemikir ( think-tank) KMT mendukung perpanjangan umur pembangkit nuklir.

Namun, meskipun pembangkit tersebut dihidupkan kembali, mereka tetap rentan dalam masa perang, kata Lu, menyoroti bahwa pembangkit nuklir Ukraina "menjadi salah satu target terbesar" dalam invasi Rusia.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

Editor: Agus Setiawan

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial