Jakarta -
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mendukung sikap MUI Jawa Barat maupun MUI Pusat yang menolak wacana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait kewajiban vasektomi bagi laki-laki miskin sebagai syarat penerimaan Bansos.
Adapun isu tersebut sudah menimbulkan kegaduhan dan memantik polemik dan penolakan, baik dari MUI, para dokter maupun aktivis HAM. HNW menilai wacana tersebut tidak solutif karena mengatasi masalah kemiskinan merupakan kewajiban negara.
Selain itu, wacana tersebut juga dinilai diskriminatif dan melanggar HAM karena hanya berlaku bagi warga miskin. Di sisi lain, warga yang kaya dan punya banyak anak tidak diharuskan melakukan vasektomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyikapi hal ini, HNW pun meminta agar Dedi Mulyadi segera mengakhiri mencabut wacananya dan fokus mengatasi masalah kemiskinan dan efektivitas bansos, tanpa membuat masalah baru.
Ia pun mengingatkan bansos merupakan kebijakan nasional sebagai pelaksanaan Konstitusi sehingga perlu ada aturan yang berlaku pada skala nasional. Dalam hal ini, pemerintah pusat yang berkewenangan terkait bansos bukanlah Menteri Desa, melainkan Menteri Sosial.
HNW menegaskan Menteri Sosial dengan jajarannya tidak pernah menambahkan syarat tambahan baru untuk penerima bansos. Selain itu, Komisi VIII DPR yang merupakan mitra kerja Kementerian Sosial terkait peraturan perundangan dan pengawasan pelaksanaannya, pun belum pernah mendapat usulan dari Mensos untuk membahas syarat baru penerima bansos, yaitu kewajiban vasektomi.
"Saat ini, pemerintah via Kemensos menyalurkan bansos melalui mekanisme legal antara lain pendataan dan pemeringkatan kesejahteraan warga. Jika memang seseorang memenuhi syarat dan masuk pada pendataan maka yang bersangkutan layak menerima bansos. Tidak ada syarat kewajiban vasektomi, apalagi juga tidak ada data empiris kaitan vasektomi dengan ketidakmiskinan," ujar HNW dalam keterangannya, Senin (5/5/2025).
HNW menjelaskan memang sudah seharusnya gubernur ikut mencari kebijakan yang efektif dalam mengatasi kemiskinan. Namun, sebaiknya kebijakan tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah, bukan justru menimbulkan masalah, seperti halnya usulan wajib vasektomi bagi penerima bansos.
Menurut HNW, pemberian bansos mestinya tidak dikaitkan dengan kewajiban vasektomi. Pasalnya, bansos merupakan ketentuan konstitusional yang wajib dilaksanakan oleh negara.
Kemudian, tidak ada fakta vasektomi adalah jaminan menjadi tidak miskin, dan banyaknya anak (tidak bervasektomi) identik dengan menjadi miskin. HNW pun menyoroti saat ini banyak keluarga muda yang kaya dan tidak menerima bansos, justru orientasinya mempunyai anak banyak.
"Kebijakan perlindungan sosial yang berlaku nasional saat ini adalah menyeluruh. Jika satu keluarga miskin, maka orang tuanya mendapatkan bansos, termasuk Rutilahu (Rumah Tinggal Layak Huni), anaknya dibantu pendidikannya, dan jika sakit bisa berobat gratis," katanya.
"Penyempurnaan implementasi kebijakan nasional, termasuk aktualisasi pendataan warga yang berhak menerima bansos, serta terobosan-terobosan menciptakan lapangan kerja, inilah yang seharusnya serius dilaksanakan dan dikuatkan, termasuk oleh Gubernur Jabar, bukan justru membuat wacana baru yang tidak solutif dan malah menambah kegaduhan seperti wacana kewajiban vasektomi yang akan membatasi hak orang tua untuk mempunyai anak," sambungnya.
Anggota DPR-RI Fraksi ini menambahkan, MUI bahkan telah memberikan fatwa haram vasektomi sesuai ijtima mereka pada tahun 2012. Hal ini pun sudah disampaikan ke publik oleh MUI Jawa Barat maupun MUI Pusat.
Adapun pembatasan reproduksi melalui vasektomi, menurut MUI, hanya boleh dilakukan untuk kondisi tertentu yang berkaitan dengan kesehatan seseorang, bukan untuk dijadikan sebagai kewajiban umum yang diselenggarakan secara massal dan permanen.
"Alasan Gubernur Jawa Barat bahwa vasektomi bisa berlaku sementara juga sudah dibantah dan ditolak oleh MUI. Selain karena bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, juga karena rekanalisasi tidak sesederhana yang dibayangkan gubernur. Keberhasilan rekanalisasi tidak bisa dijamin 100 persen, juga biaya rekanalisasi bagi yg terlanjur melakukan vasektomi, tidak murah sehingga tidak mampu dilakukan oleh warga penerima bansos itu. Warga Jabar khususnya dan Indonesia umumnya, mayoritas mutlaknya beragama Islam dan mereka menghormati fatwa para ulama," jelasnya.
HNW pun mendorong agar Dedi dan pihak lainnya menghormati fatwa MUI, bukan justru mengabaikannya. Para kepala daerah, lanjutnya, seharusnya fokus mendukung program Astacita, bukan membuat kegaduhan baru.
"Maka mestinya Gubernur Jawa Barat dan lainnya menghormati fatwa para ulama dan mengajak para ulama untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan yang juga menjadi kepedulian para ulama. Tidak malah mengabaikan para ulama dan ngotot melempar wacana yang tidak mengatasi masalah malah menambah masalah. Kepala daerah sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat, semestinya juga hanya membuat kebijakan yang mengimplementasikan dan menguatkan pelaksanaan program pemerintah pusat," ucapnya.
"Dalam hal ini, Presiden Prabowo jelas mempunyai kebijakan nasional Asta Cita, seperti Asta Cita 4, yakni memperkuat pembangunan SDM. Bukan malah melempar wacana yang melemahkan harmoni nasional, dan sikap gotong royong melakukan pembangunan SDM secara nasional. Ketika ia malah menambah masalah yang tidak menjadi solusi bagi rakyat. Apalagi polemik itu malah membuat tidak fokus melaksanakan program Asta Cita yang dipentingkan itu," pungkasnya.
(anl/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini