Jakarta -
Kata 'goblok' akhir-akhir ini menjadi sangat populer di media sosial. Hal ini terjadi lantaran kata tersebut dianggap sebagai suatu bentuk abusive yang dilakukan oleh seorang pemuka agama kepada pedagang es teh dalam sebuah acara pengajian. Peristiwa ini kian viral karena penceramah tersebut menjadi bagian dari kabinet kerja yang belum lama diresmikan oleh pemerintah. Konteks tersebut menjadi penyebab tajamnya tingkat sensitivitas dan sinisme netizen. Bahkan hingga yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan, pembicaraan mengenai masalah ini belum juga berakhir.
Sebetulnya, kata 'goblok' dapat ditafsirkan secara ambivalensi jika menanggalkan kontekstual. Di satu sisi, 'goblok' seringkali menjadi instrumen keakraban yang ditunjukkan oleh pemakai bahasa dan interlokutornya. Namun, di sisi lain, goblok juga merupakan bentuk makian yang mampu melukai dan menyinggung perasaan lawan tutur yang menjadi objek referensi ucapan. Untuk itu, menjadi penting memandang kata 'goblok' melalui pandangan linguistik sekaligus melihat secara kontekstual mengapa kata tersebut menjadi begitu sensitif seperti sekarang.
Variasi Bahasa
Secara referensial, makian dapat dikategorisasikan menjadi tujuh macam, yaitu referensi keadaan, binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, dan referensi profesi. Adapun makian 'goblok' yang sedang santer beredar termasuk dalam bentuk makian berdasarkan keadaan, yang menyatakan suatu kondisi lawan tutur tidak memahami dan tidak mampu melakukan sesuatu, cacat logika, tidak berpendidikan, dan semacamnya. Dari situasi tersebut, lantas terjadilah makian untuk mengungkapkan perasaan, "Goblok!"
Pertanyaannya, apakah makian 'goblok' memiliki preferensi negatif hingga mampu membuat gaduh jagad media maya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kajian sosiolingistik, makian merupakan bagian variasi bahasa yang muncul ditinjau dari segi penuturnya. Abdul Chaer dan Agustina dalam Sosiolinguistik (2004) menjabarkan bahwa variasi bahasa dari segi penutur berkaitan erat dengan tingkat golongan, status, dan kelas sosial penuturnya. Dengan demikian, idiolek individu dan dialek komunal sangat ditentukan si penutur dengan berbagai latar belakang dan tujuan yang beragam.
Sejalan dengan argumentasi itu, dalam buku Sosiolinguistik (2022) misalnya, I Dewa Putu Wijana menyebutkan bahwa kata makian dapat muncul dalam berbagai kesempatan. Namun secara spesifik, makian sering muncul dalam situasi penutur yang sedang berselisih paham, berbeda pendapat, bahkan sindiran terhadap penutur lainnya. Dalam situasi demikian itu, makian merupakan respons atas bentuk ekspresi seseorang apabila mengalami ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau bahkan kebencian.
Namun demikian, makian juga acap hadir dalam situasi humor di antara berbagai peserta tutur yang memiliki hubungan kedekatan dan keakraban. Dengan kata lain, makian dapat mengakomodasi ekspresi yang timbul dari segala bentuk dan situasi lain semacam keheranan, pujian, serta keakraban. Tengok misalnya, dalam situasi ketika Si A mampu berprestasi, seorang interlokutor bisa saja menggunakan ungkapan makian tanpa merugikan dan menyakiti perasaan siapapun. Ia bisa saja mengatakan, "Anjing, ternyata kau pintar juga ya," atau bisa jadi, "Gila bener, bisa-bisanya kau mengalahkan ranking Si Fulan."
Hal ini menunjukkan dalam situasi yang tepat, informal, dan akrab, ungkapan makian tidak akan mengalami rasa 'disakiti', justru mampu mendekatkan dan merekatkan komunikasi peserta tutur. Nah, dalam situasi demikianlah, pemakaian makian 'goblok' menduduki kondisi yang debatable. Makian goblok bisa jadi suatu serangan dan penghinaan, namun sebaliknya, 'goblok' juga mampu menjadi bagian dari ungkapan humor dan kedekatan penurutnya.
Dengan demikian, posisi 'goblok' yang dilontarkan Gus Miftah ada di mana?
Fungsi yang Beragam
Meskipun dikenal negatif dan kasar, makian ternyata memiliki fungsi yang beragam. Sebagaimana Andersson dan Hirsch dalam Perspectives on Swearing (1985), kata makian dapat diklasifikasikan dalam lima fungsi yang berbeda; pertama, expletive yang berarti untuk mengekspresikan emosi dan sikap dalam bentuk seruan atau lontaran. Kedua, abusive yang digunakan secara sengaja untuk menyakiti, menghina, atau memfitnah orang lain.
Ketiga, humoristic, yang bertujuan untuk melawak atau sebagai candaan. Keempat, euphemistic, ketika makian diubah bentuknya menjadi kata yang dapat dibilang lebih halus dari bentuk yang sebenarnya. Kelima, habitual, berarti penggunaan makian yang sudah menjadi kebiasaan.
Dari berbagai bentuk makian tersebut, kasus yang melibatkan pemuka agama Gus Miftah sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk candaan atau humoristik. Hal itu linear dengan klarifikasi yang disampaikan dan tayangan video yang memperlihatkan gelak tawa oleh peserta tutur. Namun, ketika melibatkan peserta tutur yang lebih luas, yaitu netizen di dunia maya, ternyata makian 'goblok' tersebut telah melampaui maksud si penutur, bahkan telah diinterpretasi sebagai bentuk abusive.
Dengan demikian, siapa yang salah?
Memahami persoalan makian 'goblok', kita tak bisa menghilangkan unsur peristiwa tutur yang mengikat berbagai subjek di dalamnya. Peristiwa tutur (speech event) terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur, satu pokok tuturan, waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Menurut Dell Hymes (1972), peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen SPEAKING (setting, participant, ends, act sequence, key, instrumentalitis, norms, genre), yang menunjukkan bahwa suatu mekanisme tutur selalu melibatkan konteks situasi saat tuturan terjadi. Dengan demikian, sebagai gejala sosial, peristiwa tutur menghendaki kesadaran individu untuk memahami dan menempatkan semuanya dalam sekala yang layak dan 'tahu diri'.
Dalam kondisi demikianlah, aktivitas kesadaran tersebut dapat dinamakan dengan verbal repertoire.
Verbal repertoire dikenal sebagai kemampuan seseorang menguasai bahasa beserta ragam-ragamnya. Verbal repertoire individu adalah alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur termasuk memilih norma sosial yang sesuai dengan situasi dan fungsinya. Jika dikaitkan dengan delapan komponen Dell Hymes, maka situasi Gus Miftah telah melanggar ketentuan peristiwa tutur yang ada.
Perspektif ini ditandai dengan posisi dia dalam participant sebagai pemuka agama yang secara normalitas sosial tidak linear dengan makian. Sekaligus, setting yang terjadi merupakan acara pengajian yang bagi sebagian netizen merupakan tempat untuk menimba ilmu keagamaan dan memupuk hasrat religiositas. Apalagi ungkapan 'goblok' dilontarkan dengan lantang, lantas diikuti gelak tawa beberapa subjek tutur lainnya. Padahal, saat itu pula, suatu ironi terjadi. Wajah pedagang yang menjadi tujuan makian justru menunjukkan ekspresi yang melas dan padam, tanpa sungging senyuman. Saat itulah, humoristik tidak secara menyeluruh terjadi.
Dalam kondisi inilah, kita dapat mengatakan bahwa verbal repertoire Gus Miftah telah gagal menyesuaikan terhadap kondisi peristiwa tutur yang ada. Akibatnya, bentuk makian yang bertujuan candaan atau humoristik, telah dianggap netizen sebagai penghinaan atau abusive.
Angga T. Sanjaya dosen Linguistik Terapan Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Tonton Video: Viral Gus Miftah Mengumpat Penjual Bakul Es Teh
(mmu/mmu)