Bagaimana mungkin seseorang dengan disabilitas yang tidak memiliki kedua tangan bisa terlibat dalam kekerasan seksual? Pertanyaan ini muncul seiring dengan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Agus, seorang penyandang disabilitas yang tak memiliki kedua tangan. Kasus ini bahkan melibatkan 15 korban hingga saat ini. Namun, kasus ini justru mengingatkan kita bahwa siapa pun, tanpa memandang latar belakang atau kondisi fisiknya, bisa saja menjadi korban atau bahkan terlibat sebagai pelaku kekerasan seksual. Tentu saja risiko setiap kelompok berbeda-beda tergantung pada kerentanannya.
Kerentanan tidak muncul begitu saja. Dalam banyak kasus, kerentanan seseorang terkait erat dengan eksklusi yang terjadi secara struktural maupun kultural. Ketidakmampuan untuk mendapatkan edukasi seksual yang memadai, terbatasnya kesempatan untuk membangun interaksi sosial yang sehat, atau bahkan diskriminasi yang sistematis, semuanya berkontribusi pada meningkatnya potensi risiko. Penyandang disabilitas sering menghadapi eksklusi ini, baik dalam bentuk ketidaksetaraan akses maupun stereotip yang melekat. Hal ini dapat mempengaruhi pemahaman mereka tentang perilaku yang sehat dan tidak sehat dalam hubungan sosial maupun seksual.
Dalam konteks kasus pelecehan seksual yang melibatkan Agus, para korban berada dalam posisi yang lebih berisiko. Risiko ini muncul akibat adanya dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dan stereotip yang berkembang di masyarakat mengenai penyandang disabilitas. Pandangan bahwa individu dengan disabilitas seperti Agus dianggap tidak berbahaya atau tidak mampu melakukan tindakan kekerasan. Hal ini dapat menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menutupi niat jahatnya. Stereotip semacam ini bisa mengarah pada pengabaian terhadap tanda-tanda peringatan atau perasaan tidak aman yang dialami korban, karena mereka tidak dianggap sebagai ancaman.
Memanipulasi Korban
Agus "memanfaatkan" kondisi fisiknya untuk memanipulasi korbannya. Modus ini dapat dilihat sebagai bagian dari eksploitasi terhadap ketidakmampuan korban untuk mengidentifikasi pelaku dari kelompok penyandang disabilitas. Adanya anggapan bahwa penyandang disabilitas, terutama dengan keterbatasan fisik sebagai individu yang "tak berdaya" atau "tidak berbahaya" menjadi celah bagi Agus untuk melancarkan aksinya. Stereotip semacam ini digunakan untuk mengecoh korbannya dan berada dalam kuasa dirinya.
Agus memanfaatkan ketidaktahuan atau kurangnya kesadaran para korban terhadap dinamika ini untuk melakukan kekerasan seksual tanpa terdeteksi. Korban bahkan bisa merasa terjebak dalam hubungan dengan pelaku tanpa mengenali tanda-tanda bahaya sejak awal. Situasi ini terjadi karena korban tidak memperkirakan kemungkinan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari kelompok penyandang disabilitas. Akibatnya, korban dapat terperangkap dalam siasat jahat pelaku, yang dilakukan melalui manipulasi kedekatan emosional serta eksploitasi rasa belas kasih atau empati terhadap pelaku.
Dari beberapa informasi diketahui bahwa Agus melakukan modus operandinya dengan mendekati korban yang sedang duduk sendiri di tempat umum, seperti di Taman Udayana, Taman Sangkareang, dan tempat lainnya. Ia memanfaatkan situasi di mana korban merasa aman dan tidak menaruh curiga, lalu membangun kedekatan dengan mereka sebelum melancarkan aksi jahatnya. Dalam beberapa kasus pelaku memanfaatkan kerentanannya sebagai penyandang disabilitas, yang sering tidak dianggap berbahaya oleh para korban tanpa menimbulkan kecurigaan. Dengan memanfaatkan ketidaktahuan korban terhadap potensinya, Agus berhasil mengeksploitasi situasi tersebut untuk melakukan tindakannya tanpa terdeteksi.
Selain melakukan grooming terhadap korbannya, Agus juga melakukan ancaman dan intimidasi jika korban tidak mengikuti kehendaknya. Pada titik ini, kekerasan seksual terjadi karena pelaku telah sepenuhnya menguasai korban. Dalam kondisi tersebut, korban sering merasa terjebak, tidak memiliki keberanian dan kemampuan untuk melawan atau melaporkan tindakan pelaku. Akibatnya, korban merasa terpaksa untuk mengikuti kemauan pelaku. Termasuk melakukan hubungan seksual, karena takut terhadap ancaman dan intimidasi yang diberikan.
Membentuk Ruang Sosial
Secara sosial, penyandang disabilitas sering ditempatkan dalam posisi yang terpinggirkan dan diasumsikan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pelaku kekerasan. Stereotip ini membentuk ruang sosial di mana mereka dianggap "tak berbahaya" dan lebih sering dilihat sebagai objek belas kasihan daripada sebagai individu yang memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.
Henri Lefebvre, seorang sosiolog asal Prancis, menjelaskan bahwa ruang merupakan produk dari relasi sosial, simbol, dan struktur kekuasaan yang saling berinteraksi. Ruang seperti taman kota, yang dirancang sedemikian rupa, dapat dipahami sebagai ruang sosial yang mencerminkan hierarki kekuasaan dan eksklusi kultural dalam masyarakat. Namun, ruang ini tidaklah netral. Padahal, ruang publik seperti ini seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua orang.
Agus memanfaatkan stereotip sosial yang menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang "tak berdaya" atau "tidak berbahaya" untuk melancarkan niat jahatnya. Stereotip tersebut digunakan Agus untuk mengeksploitasi ruang sosial ini, mendekati korban, dan menjalankan aksinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Taman kota hanyalah permulaan. Berdasarkan beberapa informasi, diketahui bahwa Agus melakukan kekerasan seksual di sebuah homestay.
Bahkan, menurut pengakuan pemilik homestay yang sering digunakan Agus untuk melancarkan aksinya, ia kerap membawa perempuan yang berbeda-beda beberapa kali. Meskipun diketahui bahwa Agus sering membawa perempuan ke tempat yang sama, penjaga homestay tersebut tidak menaruh kecurigaan. Hal ini disebabkan oleh stereotip yang menganggap penyandang disabilitas, seperti Agus, sebagai individu yang "tak berbahaya" atau "tidak mungkin melakukan kekerasan", yang membuat mereka gagal melihat potensi bahaya yang ada.
Rekonstruksi Ruang Publik
Belajar dari beberapa kasus serupa yang terjadi di ruang publik menunjukkan pentingnya merekonstruksi ruang publik agar menjadi lebih inklusif, aman, dan responsif terhadap kebutuhan semua kelompok. Lefebvre mengusulkan konsep ruang absolut, yang mencerminkan kebutuhan dan pengalaman manusia sehari-hari. Ruang semacam ini dirancang untuk melibatkan semua individu secara setara dan menghapus eksklusi yang sering bersifat struktural maupun kultural.
Dengan memahami ruang sebagai produk dari relasi sosial dan kekuasaan, kita dapat melihat bahwa ruang publik tidaklah netral, melainkan penuh dengan dinamika yang memungkinkan kekerasan terjadi. Untuk menciptakan ruang yang benar-benar inklusif dan aman, perlu ada upaya untuk menghilangkan stereotip dan ketidaksetaraan yang ada. Selain itu, perlu untuk memastikan ruang tersebut dapat digunakan dengan aman oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Produksi ulang ruang yang lebih adil dan berkeadilan menjadi langkah penting dalam menjamin bahwa ruang publik tidak hanya aman, tetapi juga dapat mendorong partisipasi aktif dari semua individu, tanpa memandang latar belakang atau kondisi fisik mereka.
Isnan Nursalim mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM
Simak juga Video 'Hati-hati! Taktik Manipulasi Emosi Berujung Pelecehan Seksual':