Desember, Hujan, dan PPN

4 weeks ago 23

Jakarta -

Desember dan bulan-bulan setelahnya identik dengan hujan. Hujan dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Hujan dapat dilihat sebagai berkah, bisa juga dilihat sebagai musibah. Curah hujan yang terukur tentunya akan memberikan keseimbangan antara alam dan manusia. Demikian halnya dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terukur akan menciptakan keseimbangan antara penerimaan negara dan daya beli masyarakat.

Curah hujan yang tinggi membawa dampak yang buruk. Banjir, kerusakan infrastruktur, hingga bencana alam adalah dampak negatif dari hujan yang terus menerus. Demikian halnya dengan PPN, jika tarif PPN terlalu tinggi dikhawatirkan akan semakin mengurangi daya beli masyarakat yang memang sudah melemah akibat beban-beban ekonomi yang dirasakan khususnya oleh kelas menengah.

Namun, curah hujan yang terlalu rendah mengakibatkan kekurangan pasokan air. Air hujan berguna untuk mengairi sawah dan kebun yang membantu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi pangan. Begitu juga dengan PPN sebagai salah satu komponen penerimaan negara. Jika penerimaan negara tidak mencapai target maka pemerintah akan kesulitan dalam membiayai program-program pemerintah dan belanja perpajakan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

PPN adalah pajak atas kegiatan konsumsi dalam Daerah Pabean. PPN sudah sewajarnya bersinggungan dengan daya beli masyarakat. Karakteristik lain adalah PPN dikenakan pada multi stage dengan metode indirect subtraction method mulai dari mata rantai produsen hingga ke konsumen akhir. PPN juga adalah pajak atas nilai tambah. Nilai tambah di sini dapat berupa margin keuntungan yang ditambahkan oleh pengusaha. Dengan demikian kenaikan PPN sebesar 1% menjadi 12% memang harus dilihat secara zoom out.

Pemerintah sudah berusaha meramu tarif PPN yang terukur agar inflasi tetap rendah dan daya beli tetap terjaga. Menurut hitung-hitungan Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan Keterangan Tertulis nomor KT-04/2024 yang dirilis pada 21 Desember 2024, dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%. Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.

Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang atau jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat. Ternyata dampak kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan. Pada 2022 tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun hal tersebut disebabkan oleh tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19 sedangkan pada rentang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.

Di media sosial, netizen beramai-ramai menghitung dampak kenaikan PPN. Ada yang menghitung persentase kenaikan total harga yang harus yang dibayar, ada yang menghitung dari persentase kenaikan pajaknya saja dan ada juga yang menyarankan menghitung dengan mengedepankan aspek supply chain-nya. Aspirasi yang diberikan menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tentunya tidak berhenti sampai di situ, masyarakat juga diharapkan dapat memahami besarnya peranan PPN. Pada komposisi penerimaan pajak 2023, PPN dan PPnBM adalah pajak dengan kontribusi tertinggi urutan kedua sebesar Rp 764,3 triliun setelah Pajak Penghasilan Non Migas sebesar Rp 993 triliun.

Kebutuhan pokok

Kebijakan pemerintah sudah sedapat mungkin memberikan fasilitas pembebasan pajak atas kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok terdiri dari pangan, sandang, papan. Untuk pangan, pembebasan PPN diberikan kepada beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Untuk papan, pembebasan PPN diberikan kepada rumah sederhana dan rusunami. Jika masyarakat sanggup membayar lebih untuk kebutuhan sekunder dan tersier, tentunya mereka memiliki kemampuan finansial yang lebih untuk membayar pajak dan fungsi pajak untuk redistribusi pendapatan juga akan tercapai.

PPN adalah hasil perkalian antara tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya. Dengan demikian PPN akan berbanding lurus dengan DPP. Semakin tinggi DPP maka semakin tinggi PPN-nya. Contohnya, masyarakat yang memiliki kemampuan finansial untuk menggunakan layanan Youtube Premium tentunya akan membayar PPN yang lebih besar dikarenakan harga jual atau nilai penggantiannya yang juga besar.

Curah hujan yang terukur tentunya mendukung simbiosis mutualisme antara alam dan manusia karena kedua pihak sama-sama diuntungkan. Demikian halnya tarif PPN yang terukur akan mendukung gotong royong antara pemerintah dan Wajib Pajak. Di satu sisi pemerintah dapat mencapai target penerimaan pajak. Di sisi lain Wajib Pajak juga mendapat imbas positif dari penerimaan pajak yakni berjalannya paket insentif ekonomi.

Paket insentif ekonomi 2025 meliputi dukungan untuk rumah tangga dan individu, dukungan untuk pekerja, stimulus untuk UMKM, dukungan untuk sektor industri dan padat karya, stimulus untuk sektor perumahan dan sektor otomotif dengan proyeksi insentif PPN sebesar Rp 265,6 triliun yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan daya beli masyarakat.

Octavianus Somalinggi penyuluh pajak KPP Pratama Jakarta Cengkareng

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial