Jakarta -
Dalam sebuah sesi wawancara informal, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan nada bercanda menyatakan kehendaknya untuk menjadi paus: I'd like to be Pope. Tidak berselang lama, akun sosial X milik Gedung Putih me-reposting foto Donald Trump yang menggunakan busana lengkap layaknya seorang paus
Tentu itu adalah foto hasil produksi AI. Ada yang menganggapnya hanya sebagai lelucon ala Trump menjelang pemilihan paus pada 7 Mei 2025.
Tetapi, apakah itu sekedar lelucon jika dipertautkan dengan proses conclave yang tengah berlangsung? Apa yang sebenarnya perlu dicermati dan diwaspadai dari gimmick-gimmick keagamaan di panggung politik (global), seperti yang dilakukan Trump?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekspresi Religius ala Napoleon Bonaparte
Ekspresi religius dan instrumentalisasi simbol-simbol agama bukan hal baru. Pada awal abad ke -19 Napoleon Bonaparte pernah melakukannya. Liberalisme agama dan sekularisasi politik yang menjadi spirit dari gerakan revolusioner Napoleon ternyata tidak mampu menembus benteng kokoh yang dinamakan 'katolik tradisional'.
Meskipun revolusi Perancis telah mengobrak-abrik gereja katolik di negara itu, kekatolikan tetap menjadi basis etika dan perekat sistem sosial di Perancis, terutama bagi masyarakat di desa-desa bersetia menjadi katolik bahkan setelah periode Revolusi (Jean Leflon, 1982).
Di sisi lain, Napoleon berniat untuk memperluas dan mengkonsolidasi kembali otoritasnya atas Perancis. Ia ingin menghidupkan kembali memori kemegahan Karolus Agung dan mengidentifikasikan dirinya sebagai raja. Lantas bagaimana Napoleon merealisasikan cita-citanya itu?
Ia berpura-pura berdamai dengan Gereja Katolik. Melalui berbagai upayanya Napoleon ingin mendekatkan diri dengan Roma, misalnya melalui penandatanganan konkordat pada 1801 yang mengakui Katolik sebagai agama mayoritas di Perancis, serta mengakui kebebasan beragama dan beribadah (Art. I, 1801). Tidak sampai di situ. Napoleon juga ingin agar simbol tertinggi dari Gereja katolik, yakni Paus, menjadi saksi atas pemahkotaanya sebagai Raja.
Melalui berbagai usaha diplomasi yang panjang, yang melibatkan berbagai tokoh penting, seperti Caprara, Consalvi, dan Bernier, Nepoleon berhasil meyakinkan Paus untuk datang ke Paris. Pada 2 desember 1804, Paus Pius VII hadir di Katedral Notre Dame untuk menjadi saksi pemahkotaan Napoleon sebagai Raja Perancis (Giaquinto Pasquale, 2023).
Lantas, apa signifikansi kehadiran seorang Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, pada hari pemahkotaan Napoleone sebagai Raja?
Pada prinsipnya, inisiatif Napoleon untuk membuat Concordat (perjanjian) dengan Roma dan kemudian meminta Paus untuk datang ke Paris dapat diinterpretasi sebagai sebuah bentuk instrumentalisasi simbol agama demi tujuan politik tertentu.
Pertautan Antara Konservatisme Politik dan Agama
Ada dua fenomena yang pertautannya perlu diwaspadai: Yang pertama, konservatisme politik. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi kebangkitan gerakan ideologi konservatif di Barat. Politik sayap kanan dan ekstrem-kanan tampaknya mendapatkan atensi yang terus meningkat.
Fenomena ini mulai menonjol sejak 2024 di mana lanskap politik Barat mengalami pergeseran yang sangat signifikan ke arah 'kanan'. Selain Italia yang sudah sangat lebih awal, gejala ini juga mulai muncul di beberapa negara lain. Misalnya: Perancis, Portugal, Belgia dan Austria.
Menurut Pascal Delwit, seorang profesor ilmu politik di Université libre de Bruxelles (ULB), alasan kemunculan gerakan 'sayap kanan' di Eropa terutama karena kekhawatiran invasi kaum imigran yang tak terbendung di satu sisi. Di sisi lain, masyarakat Eropa bereaksi pada upah yang terlalu rendah (Euronews.com, 24/12/2024).
Fenomena yang kedua adalah konservatisme agama. Pada saat ini sedang berlangsung proses conclave, sebuah tradisi klasik yang berasal dari abad ke-13 untuk memilih seorang Paus di dalam Gereja katolik. Ada satu hipotesis menyatakan, tampaknya Paus yang akan terpilih adalah seorang konservatif (paus tradisionalis). Gereja memerlukan kepemimpinan yang bisa menciptakan titik seimbang atau stabilitas di dalam Gereja Katolik.
Sudah sekian lama Gereja yang dinahkodai Paus Fransiskus yang dianggap 'terlalu' progresif dan liberal. Jika hipotesis ini nantinya terbukti, apakah ini sebuah pertanda angin segar atau kabar baik bagi gerakan konservatisme politik di Barat? Apakah seorang paus konservatif dapat dijadikan alat ideologi bagi gerakan politik 'ekstrem kanan' di Eropa seperti saat ini?
Legitimasi politik para pemimpin negara Barat berhaluan eksrem kanan (kelompok konservatif dan tradisionalis) saat ini sedang mencari afirmasinya dengan cara yang paling radikal, misalnya melalui atribut atau simbol-simbol religious.
Sebagai bangsa yang memiliki latar belakang kultur kristen yang kuat, para pemimpin Eropa bisa saja menggunakan simbol-simbol religius. Figur pemimpin agama bisa menjadi instrumen ideologis dan politik yang efektif.
Napoleon pernah berhasil menggunakan simbol agama untuk mengamplifikasi dan mengkonsolidasikan kekuatan politiknya. Apakah para pemimpin Eropa saat ini juga 'sedang berpikir' menggunakan cara-cara yang sama untuk tujuan politik mereka?
Barangkali 'ekspresi religius' Donald Trump dianggap sebagai lelucon. Tetapi pada titik tertentu kita perlu mencermatinya secara serius. Lelucon Trump merupakan sebuah pesan politik yang kuat: Antusiasme Barat pada konservatisme, baik keagamaan maupun politik.
Sambil menanti hasil conclave 2025, kita tetap berharap agar Gereja (Katolik) dan berbagai simbol serta atributnya tidak dipergunakan sebagai alat politik atau ideologi. Harapan ini juga tertuju pada para pemimpin politik di negara kita, agar menghentikan kebiaasaan memperalat simbol-simbol agama untuk menarik simpati rakyat.
Faris Jebada OFM. Alumnus Pascasarjana STF Driyarkara. Saat ini tengah Studi Sejarah Gereja di Roma.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini