Jakarta -
Ketika kabar tentang insiden keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencuat, respons yang muncul dari sebagian masyarakat cukup ekstrem: menghentikan programnya secara total. Kekhawatiran ini tentu wajar--tidak ada satu pun dari kita yang ingin melihat anak-anak sakit karena makanan yang seharusnya menyehatkan mereka. Namun, jika kita menanggapi masalah ini hanya dengan rasa panik, tanpa melihat data dan konteks secara utuh, maka kita berisiko mengorbankan sebuah program besar yang manfaatnya jauh melampaui insidennya.
Mari kita belajar dari dunia penerbangan, salah satu industri dengan standar keselamatan tertinggi di dunia. Pesawat terbang adalah moda transportasi paling aman yang kita miliki saat ini, bukan karena bebas dari risiko, tetapi karena industri ini membangun sistem yang memungkinkan setiap kesalahan menjadi pelajaran. Setiap kecelakaan, sekecil apa pun, dipelajari secara mendalam, dicatat, dan dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki sistem. Bukan untuk mencari kambing hitam, tapi untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi.
Sebagai gambaran, menurut data tahun 2023, hanya terjadi satu kecelakaan fatal dari lebih dari 37 juta penerbangan terjadwal di seluruh dunia. Itu berarti, tingkat kecelakaan hanya sekitar 0,0027% - atau satu insiden per 1,26 juta penerbangan. Ini adalah hasil dari sistem yang terus disempurnakan, bukan sistem yang pernah bebas dari masalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang mari kita lihat program MBG. Di tengah distribusi lebih dari 3 juta porsi makanan setiap hari, data awal menunjukkan bahwa kasus keracunan hanya terjadi pada sekitar 0,005% dari total makanan yang dibagikan. Angka ini sangat kecil--bahkan tidak jauh berbeda dari tingkat kecelakaan di industri penerbangan. Tentu saja, setiap kasus tetap harus ditangani dengan serius. Tapi alih-alih menyerukan penghentian program, kita justru harus melihat pencapaian ini sebagai awal yang baik.
Menghentikan program hanya karena satu-dua insiden, sama halnya seperti menutup seluruh sistem transportasi udara hanya karena satu kecelakaan. Tidak masuk akal, dan jelas merugikan jauh lebih banyak orang. Sebaliknya, kita harus meniru cara dunia penerbangan mengelola risiko: dengan sistem audit berkala, pelatihan ketat, dan budaya pelaporan yang terbuka.
Dalam konteks MBG, itu berarti para petugas lapangan--mulai dari tim dapur, petugas logistik, hingga guru dan kepala sekolah--harus merasa aman untuk melaporkan potensi masalah, tanpa takut dihukum. Dalam istilah dunia penerbangan, ini disebut just culture--sebuah budaya organisasi yang mendorong keterbukaan dan pembelajaran, bukan saling menyalahkan.
Selain itu, sistem pengawasan perlu terus diperkuat, termasuk penggunaan teknologi untuk monitoring suhu, kualitas bahan pangan, dan distribusi. Pelatihan standar keamanan pangan bagi penyedia makanan lokal perlu ditingkatkan. Bahkan, bisa dipertimbangkan pembentukan unit respons cepat di setiap wilayah untuk menangani keluhan atau insiden secara langsung di lapangan.
Belajar dari Negara Lain: Sekolah, Makanan, dan Kemajuan Bangsa
Indonesia bukan negara pertama yang menggelar program makan gratis berskala besar. India memiliki Mid-Day Meal Scheme, salah satu program makan sekolah terbesar di dunia, yang memberi makan lebih dari 100 juta anak setiap hari. Meski pernah terjadi insiden keracunan di Bihar tahun 2013, India tidak menghentikan programnya. Sebaliknya, mereka memperbaiki sistem pengadaan makanan, memperkuat pengawasan, dan memperluas jangkauan program.
Di Brasil, Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) bahkan mewajibkan 30% bahan makanan program dibeli langsung dari petani lokal. Hasilnya, bukan hanya anak-anak yang sehat, tapi ekonomi desa ikut terangkat. Di Jepang, makanan sekolah disiapkan dengan standar gizi dan kebersihan yang sangat tinggi, dan seluruh siswa dididik untuk ikut menjaga kebersihan alat makan dan lingkungan.
Indonesia bisa belajar dari semua itu. Kita punya peluang untuk menjadikan MBG sebagai salah satu warisan terbesar bagi generasi mendatang - jika kita konsisten memperbaiki diri.
Program MBG bukan sekadar soal makan siang. Ini adalah intervensi sosial besar yang menyasar akar persoalan bangsa: gizi buruk, stunting, rendahnya konsentrasi belajar, dan bahkan pengangguran. Program ini membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian, logistik, dan kuliner. Memberi makan anak sekolah secara gratis bukan hanya tindakan sosial, tapi investasi masa depan bangsa.
Oleh karena itu, mari kita lihat insiden sebagai bagian dari proses. Bukan alasan untuk mundur, tapi kesempatan untuk belajar dan memperbaiki. Seperti dunia penerbangan yang terus mengudara meski pernah jatuh, Indonesia juga bisa terus melangkah dengan kepala tegak, membangun MBG yang lebih aman, lebih canggih, dan lebih adil.
Karena pada akhirnya, kemajuan tidak dibangun dari kesempurnaan, tapi dari kesungguhan untuk terus memperbaiki diri.
Program MBG sebagai solusi strategis membangun peradaban bangsa Indonesia yang berdaulat untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang sehat dan berprestasi, sejajar dengan bangsa lain yang maju. Kemajuan bangsa sesungguhnya terletak pada kapasitas dan dedikasi masyarakatnya dalam berjuang meraih impiannya, dan program MBG menjadi satu-satunya strategi untuk mewujudkan ekspektasi bangsa.
Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini